jeudi 14 janvier 2021

Warung Kopi sebagai Alternatif Akses Koran di Kota Kecil

Ahmad Farid Yahya *
 
Empat tahun lalu sekitar akhir semester satu atau awal semester dua, atau entah sejak kapan saya sudah mulai lupa, saya mulai mengirim tulisan ke Jawa Pos. Sebenarnya sudah sejak SMP ingin mengirim tulisan ke koran. Tapi tak pernah tahu dan tak pernah mencari tahu caranya sampai akhirnya kuliah.
 
Mengapa Jawa Pos? Sederhana saja: Lamongan bisa dibilang terpencil. Koran yang paling mudah ditemukan memang cuma Jawa Pos (beserta Radar Bojonegoro satu paket). Koran tersebut bisa ditemukan di mana? Ya di warung kopi. Di kota terpencil ini siapa yang pada pagi hari duduk sederhana di beranda rumah dan menikmati teh hangat sambil baca koran? Sangat sedikit. Maka dari sedikitnya itu, orang-orang yang lebih kampung dan terpencil dari Lamongan seperti saya ini (desa terpencil di pedalaman Lamongan) mana pernah tahu di mana bisa membeli koran. Saya baru tahu tempat beli koran menjelang lulus kuliah. Barangkali jarak yang begitu jauh antara penjual koran dan orang yang ingin membeli koran itulah yang menyebabkan koran yang akrab di telinga saya cuma Jawa Pos. Selain koran lain yang juga saya dengar seperti Kompas dan Tempo. Saya mengirim tulisan ke Jawa Pos agar bisa memantaunya jika suatu hari tulisan saya dimuat.
 
Entah semester berapa dulu saya mulai menulis esai. Jenjang menulis saya dimulai dari puisi-puisi SMA, lalu esai sastra, baru kemudian cerpen. Beberapa kali saya kirim ke Jawa Pos dan tak pernah dimuat sampai akhirnya menyerah. Pada tahun 2019 akhir saya mulai mengirim tulisan lagi ke koran. Pada saat itu, kolom Lembar Budaya di Radar Bojonegoro telah ada, sedangkan dulu sewaktu saya sering mengirim ke Jawa Pos di Radar Bojonegoro belum ada kolom sastra. Maka saya kirimlah puisi-puisi sederhana saya di Radar Bojonegoro. Setelah tiga kali mengirim, dimuat. Sejak saat itu saya berpikir bahwa tulisan saya dimuat di koran adalah suatu hal yang mungkin.
 
Setelahnya saya jadi rajin mengirim puisi ke Radar Bojonegoro, dan cerpen ke Jawa Pos. Hanya saja saya sedikit ngawur dengan jumlah kata yang sering sekali tak sesuai ketentuan. Dari 21 cerpen yang saya kirim (dan semuanya ditolak) mungkin cuma 2 cerpen yang jumlah katanya mendekati pas, yang pertama karena kebetulan, dan yang kedua karena sudah ada pengumuman jumlah kata di korannya.
 
Pada suatu siang ketika saya ngopi di warkop sebelah kampus, saya membaca cerpen karya S. Jai di Jawa Pos. Saya ingat waktu itu judulnya "GIR". Saya foto dan saya kirimkan ke Pak Tardi kemudian Pak Tardi bilang, "Semoga besok cerpen kamu yang dimuat Jawa Pos." Tapi hal itu tak pernah terjadi.
 
Sampai beberapa waktu lalu saat saya pusing mengerjakan skripsi, saya membaca dua buku yang juga cukup memusingkan; Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu, dan Burung Kayu. Yang pertama membuat saya belajar banyak tentang kritik sastra, dan yang kedua benar-benar membuat pusing karena banyak sekali bahasa Mentawai yang tak saya pahami dan tidak dijelaskan dalam catatan kaki maupun glosarium.
 
Diskusi Chandrakirana, sewaktu saya kebagian mengulas karya Mas Geger Gendroyono, tanggapan para penulis senior di Lamongan lebih bagus daripada ketika saya menulis cerpen. Padahal kritik tersebut adalah kritik pertama saya sedangkan saya sudah berkali-kali menulis cerpen. Padahal juga referensi saya belajar menulis kritik cuma Dari Belinyu ke Jalan Lain ke Rumbuk Randu, dan metode-metode yang saya gunakan untuk menulis skripsi.
 
Ketika grup Facebook Apresiasi Sastra mengangkat tokoh Niduparas Erlang, saya menanyakan ihwal bahasa Mentawai dalam novel tersebut. Usai diskusi itu saya jadi semakin ingin menulis kritik untuk novel itu. Beberapa waktu setelah diskusi itu, Burung Kayu kemudian memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa 2020. Beberapa waktu lagi saya baru tergerak untuk benar-benar menulis resensinya. Padahal niat nulis kritik dan resensinya sudah lama.
 
Resensi tersebut saya kirim ke koran Jawa Pos. Dua minggu kemudian saya sempat kaget dan sedikit gemetar karena resensi saya dimuat. Bukan saja karena resensi yang saya tulis dimuat, tapi juga karena sudah bertahun-tahun saya mengirim tulisan di Jawa Pos dan tak pernah dimuat. Dua puluh satu cerpen ditolak, dan pertama kali mengirim resensi dimuat—yang saya pikir bukan karena tulisan saya yang bagus, melainkan karena novel yang saya resensi yang bagus.
 
Sepertinya saya memang tidak berbakat menulis sastra. Buku-buku di rak saya juga komposisinya 25% buku sastra, 30% filsafat & sospol, 25% buku kuliah yang tak tersentuh, 20% buku-buku tentang agama dan musik. Saya jadi ingat wawancara panitia FKY dengan Cak Nun di Youtube. Cak Nun menyebut bahwa ia diarahkan oleh Umbu untuk menulis esai, dan Linus Suryadi AG diarahkan oleh Umbu untuk menulis puisi.
 
Setelah bertahun-tahun berusaha dan akhirnya dimuat Jawa Pos, senang. Tetapi saya pikir saya belum merasa puas. Karena "resensi" adalah pembaca yang menulis. Saya juga tak membesar-besarkan Jawa Pos atau koran lain. Saya mengirim tulisan ke Jawa Pos pun karena itu satu-satunya koran yang bisa saya temukan di warung kopi. Catatan di atas sekadar menuliskan ingatan. Saya pikir grup facebook Sastra Minggu sangat membantu bagi orang-orang yang susah akses terhadap koran seperti saya ini.
 
12 Jan 2021

*) Ahmad Farid Yahya, penulis asal Lamongan. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media: Amanah, Gelanggang, Radar Bojonegoro, dan Jawa Pos. Bukunya yang sudah terbit: Seorang Bocah yang Menyaksikan Kematian (2020), dan Upacara Penyeretan Jiwa (2020). Aktif pada Komunitas SAMUDRA, FP2L, KOSTELA, dan Guneman Sastra di Lamongan. http://sastra-indonesia.com/2021/01/warung-kopi-sebagai-alternatif-akses-koran-di-kota-kecil/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria