vendredi 15 janvier 2021

Waktunya Menulis Esai Teater

Reporter: Ribut Wijoto
beritajatim.com 2 Agu 2017
 
SAMPAI kini, salah satu problem teater kita tetaplah pada sepinya penulisan apresiasi pementasan. Drama dipentaskan, sudah itu, selesai. Selebihnya, kesunyian.
 
Tidak bisa tidak, sedikitnya apresiasi membuat teater jadi marginal. Tulisan ini, secara sengaja dan terus terang, merupakan provokasi didaktis agar insan teater mau menulis esai tentang drama (baca: teater).
 
Teater. Ya, dalam bentuk verbalnya, teater adalah sebuah dunia yang luar biasa. Ia sekaligus menyandang bentuk sastra, lukis, musik, arsitektur, pencahayaan, keaktoran. Maka menjadi aneh bila didapati kenyataan bahwa pembicaraan teater dalam dunia seni maupun sastra lebih sepi dibanding perbicangan bentuk-bentuk seni lain, terutama puisi.
 
Menulis esai tentang teater, kita bisa berpijak pada kebebasan aras. Dengan kebebasan kriterium. Kita bisa memakai kriterium sastra, seni rupa, maupun seni musik. Parsial atau sekaligus. Semua boleh, asal mengacu kepada panggung.
 
Panggung, memang di sinilah inti dari teater. Peristiwa dalam durasi terbatas dengan jadwal terbatas.
 
Panggung adalah aktualitas. Menempati ruang tertentu, waktu tertentu. Kerapkali, panggung tidak mudah untuk diulang. Dua pementasan dari naskah serupa oleh kelompok teater serupa, sangat mungkin memiliki signifikansi perbedaan yang tajam.
 
Maka, peristiwa di atas panggung, itulah tanda. Butuh penafsiran, bisa ditafsirkan, dan perlu diseret dalam ranah permainan tafsir.
 
Kita tahu, tafsir tanda tidak selalu berhubungan dengan maksud penulis naskah atau sutradara. Kerja tafsir adalah kerja logika. Sejauh ia memiliki sandaran logika, apapun klaim yang disodorkan adalah logis, masuk akal, menjadi jawaban atas peristiwa pangung.
 
Sekali lagi: Esai teater berpijak pada peristiwa panggung. Karena panggung adalah tanda. Sedang esai adalah tafsir.
 
Menulis esai teater, idealnya mengungkapkan keseluruhan aspek dari panggung. Ya musiknya, keaktorannya, settingnya, lampu, penyutradaraan, naskah, teknik vokal, ritme permainan, durasi, blocking. Kesemuanya ditafsirkan sebagai suatu keutuhan makna. Pengejawantahan kompleksitas kehidupan.
 
Tapi, sungguh, itu amat susah.
 
Kemutlakkan amatlah mustahil. Toh, penulis esai adalah orang biasa, orang-orang terbatas. Yang lebih mungkin adalah konsentrasi, fokus, pada aspek tertentu. Dari aspek tertentu, kita olah-bangkitkan, kita tafsir-maknakan, kita klaim baik-buruknya, dan kita catat dalam bentuk tulisan. Tulisan esai teater.
 
Semisal olah lampu. Sebuah teater tentu tidak memakai lampu sebatas menerangi panggung. Lebih dari itu, peran lampu adalah peran artistik. Ia mengkombinasikan aspek ruang dan lukis. Lebih dari itu, kerapkali panggung menyuguhkan demonstrasi lampu yang menggugah imajinasi, fantasi, kekosongan, dan metafor. Maka, itu layak ditulis.
 
Begitu pula setting. Tumpukan benda-benda pada panggung merupakan tumpukan tanda. Ia butuh ditafsirkan. Dimaknai. Pasalnya, dia mewakili suatu bentuk seni. Paling dekat, kita bisa pergunakan prinsip-prinsip dalam seni rupa maupun arsitektural. Tapi tentu saja berbeda, karena peristiwa panggung lebih kompleks dibanding seni rupa maupun seni arsitektur.
 
Yang tidak kalah penting adalah keaktoran. Kerapkali, evaluasi panggung hanya terbatas pada keberhasilan para aktor dalam menjalani adegan. Semisal, aktor bernama ini, vokalnya kurang bagus. Tiap kali berkata-kata, suku kata terakhirnya hilang. Atau, ada aktor lain, -agar suaranya terdengar lantang- dia lebih tampak berteriak-teriak daripada menampilkan kesan berbincang-bincang.
 
Pada esai, catatan evaluasi keaktoran tersebut sah-sah saja. Jika dikemas secara apik dan kematangan teoretis, akan menghasilkan esai bermutu. Yang pasti, esai teater bisa berpijak pada fokus apa saja. Asal menarik.
 
Yah, sebuah esai musti menarik. Mengapa. Pasalnya esai adalah tulisan pendek. Semisal di koran, mungkin antara 3 sampai 7 halaman A4 spasi 2. Tulisan sependek itu, mana cukup untuk kompleksitas peristiwa panggung dengan paduan kompleksitas teori. Makanya, esai musti menarik.
 
Lebih dari menarik, esai musti nakal, cerdas, menggoda, terkesan gawat, sekaligus bertanggung jawab, terkesan penting –mungkin juga memang amat penting. Tentang gaya penulisan esai yang menurut saya layak dijadikan acuan pertimbangan adalah esai-esai Goenawan Mohamad di Catatan Pinggir. Semuanya pendek-pendek tapi amat inspiratif, nakal, enak dibaca, dan perlu.
 
Agar bisa menulis esai yang nakal, kita setidak-tidaknya membutuhkan tiga modal. Data, wacana, dan perspektif.
 
Data, jelas, yakni peristiwa panggung. Segala hal yang ada di panggung adalah data. Menulis esai teater tanpa data peristiwa panggung, sepertinya kurang berpijak. Bagi yang kerap melihat pertunjukan teater, tentu data-data akan berlimpah. Semisal membahas pertunjukkan tertentu, dia bisa mengkomparasikan dengan pertunjukkan-pertunjukkan lain yang mungkin sama atau mungkin malah bertentangan. Kesemuanya menentukan kekayaan tulisan esai teater.
 
Tapi, satu peristiwa panggung juga tidak apa. Yang terpenting, berlepotan dengan tafsir. Satu adegan, semisal aktor mengkerutkan kening, dibaca dengan beragam tafsir. Kesejarahan kerutan manusia, model-model kerutan antarbenua, antarkultur, antarkepentingan. Itu cukup berbobot. Asal wacananya tebal.
 
Juga perspektif. Penulis esai teater itu memiliki pandangan yang lebih tajam dibanding mata penonton biasa. Lebih tajam dibanding sutradara. Suatu adegan yang dibidik oleh kerja tafsir dari penulis esai, bisa jadi, bukanlah fokus utama dari kerja kreatif sutradara. Namun begitu, ketika operasional kerja tafsir telah menunjukkan ketajamannya, adegan yang semula tampak sepele tersebut menjadi seakan menentukan keseluruhan peristiwa panggung. Karena mata penulis esai adalah mata yang tajam, kadangkala, nakal. Anda tentu tahu, kenakalan yang dibumbui oleh proporsionalitas teori dan wacana, adalah kenakalan yang inspiratif. Menarik untuk dibaca. Dan, itulah dunia esai.
 
Sebuah dunia yang tidak berusaha mengukuhkan kebenaran paten. Lebih sering, esai menggulirkan kebenaran-kebenaran sementara. Kebenaran yang mengundang perdebatan. Ini berbeda dengan makalah tugas kuliah ataupun laporan penelitian. Esai itu, yang terpenting menarik untuk dibaca. Semakin nakal, menggoda, akan semakin baik.
 
Banyak yang luput dari tulisan saya. Salah satunya adalah peristiwa di luar panggung. Esai teater juga boleh menuliskan hal ihwal luar panggung. Mungkin, peristiwa luar panggung sama pentingnya dengan peristiwa di atas panggung. Toh, panggung hanyalah satu kala yang amat terbatas. Waktu yang lebih lama dan membutuhkan keringat lebih banyak ada pada saat latihan, yang sering musti berulang-ulang, diulang-ulang, berlarat-larat, macet, bentrok antaraktor, gonta-ganti casting.
 
Ada banyak luar panggung yang bisa ditulis. Ada perihal naskah, peta teater kampus, gosip proses kreatif, kemandegan dewan kesenian, perihal lebih majunya teater kampus dibanding teater umum, perihal sponsor, workshop teater yang sia-sia, persoalan rendahnya minat mahasiswa terhadap teater, perihal kebiasaan menentang arus politik, arus agama, perihal aliran-aliran teater, teori-teori keaktoran. Kesemuanya layak untuk ditulis dalam bentuk esai teater.
 
***

http://sastra-indonesia.com/2017/10/waktunya-menulis-esai-teater/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria