vendredi 15 janvier 2021

Bahasa Ibu dan Tubuh Negara dalam Teater Modern

Kiki Sulistyo *
Jawa Pos, 7/7/2019
 
BAHASA jadi masalah bagi teater modern Indonesia. Bahasa Indonesia yang lahir dari wacana nasionalisme beroperasi sebagai bahasa politik dan kerap tak bisa diserap oleh tubuh pelakon yang tumbuh dengan bahasa ibu.
 
Ketika terucapkan oleh pelakon, bahasa Indonesia seperti benda mati yang tak punya kaitan genetik maupun kultur dengan tubuh pengucapnya. Pada situasi semacam itu, pesan yang terkandung dalam bahasa seperti tak memiliki sumber dan ketika diresepsi penonton sebagai komunikan, pesan itu pun kehilangan bobot pengalaman dan emosinya.
 
Alih-alih sebagai peristiwa, pertunjukan teater hadir sebagai tontonan semata ketika sistem transmisi dari pertunjukan ke penonton membawa beban pesan yang tak bersumber dari keduanya. Padahal, karena pertunjukan dan penonton berada dalam ruang dan waktu yang sama, teater sejatinya adalah peristiwa.
 
Pertunjukan Aidah Sumbawa yang berlangsung pada 28 Juni 2019 di Lapangan Sering Atas, Unter Iwes, Sumbawa, tampaknya menyadari persoalan itu. Teater Garasi/Garasi Performance Institute menginisiatori pertunjukan itu sebagai bagian dari Seri Pentas Antar Ragam dan dipresentasikan sebagai penutup Festival Pesona Olat Ojong II. Sutradara Dendi Madiya membiarkan para pelakonnya, yang semuanya adalah mahasiswa/pelajar setempat, mengembangkan sendiri materi dari hasil riset atas persoalan-persoalan di sekitar mereka.
 
Peran bahasa menjadi krusial dalam upaya mengartikulasikan lagi persoalan-persoalan tersebut. Semula, Dendi, yang aktivitas keseniannya berlangsung di Jakarta, hendak menulis naskah dalam bahasa Indonesia. Tetapi, menimbang para mahasiswa/pelajar setempat tidak tumbuh dalam tradisi (proses) teater, bahasa Indonesia sangat mungkin menjadi kendala yang solusinya tidak bisa cepat.
 
Karena itu, dia kemudian memilih ”hanya” membangun motif dan merancang struktur adegan. Sementara teks (dialog atau polilog) dikembangkan sendiri oleh para pelakon dengan menggunakan nyaris seratus persen bahasa Sumbawa.
 
Sebagai basis cerita, Aidah Sumbawa menyerap tiga persoalan utama masyarakat Sumbawa. Persoalan-persoalan itu adalah kerusakan lingkungan, buruh migran, dan dekadensi moral generasi muda. Tiga persoalan tersebut muncul silih berganti di panggung dengan irisan dari kehadiran sastra lisan Sakeco dan kampanye lingkungan hidup. Dalam durasi dua jam, terlihat bagaimana bahasa ibu bisa dengan mudah beroperasi sehingga sebagai komunikator, para pelakon lebih ringan melibatkan tubuhnya sebagai bagian dari perangkat komunikasi. Penonton tidak melihat akting, melainkan artikulasi sosial yang dibingkai dramaturgi pertunjukan.
 
Tiga persoalan yang menjadi basis cerita dalam dunia faktual Sumbawa sudah nyaris menjadi laten dan bila dibicarakan dalam karya seni bisa jatuh menjadi klise. Tetapi, soalnya adalah ketiganya belum bisa diselesaikan sehingga tetap hadir sebagai persoalan.
 
Melalui Aidah Sumbawa, terbaca bahwa tiga persoalan itu tidaklah berdiri sendiri-sendiri, bahwa kerusakan lingkungan berhubungan dengan akses ekonomi dan akses ekonomi berhubungan pula dengan perubahan perilaku.
 
Penggunaan bahasa Sumbawa mengartikulasikan persoalan-persoalan sosial itu dengan lebih tegas dan sisipan-sisipan bahasa Indonesia di tengah-tengah bahasa ibu para pelakon tersebut seperti jargon-jargon hampa dari negara. Melalui tatapan atas penggunaaan bahasa itu, Aidah Sumbawa hadir sebagai peristiwa yang ironis.
 
Keironisan itu bahkan bisa dipindai dari syair yang dinyanyikan oleh pemain Sakeco. Di bagian awal syair, digambarkan nasib masyarakat yang harus mencari nafkah sampai luar negeri dengan menjadi pekerja migran. Tetapi, di bagian berikutnya, syair bergeser ke kampanye pajak, lengkap dengan diksi dan jargon-jargon dalam bahasa Indonesia seperti ”pembangunan” dan ”orang bijak taat pajak”. Syair Sakeco jadi terasa satire, suatu sindiran atas minimnya peran negara dalam mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
 
Dalam penciptaan Aidah Sumbawa, Teater Garasi/Garasi Performance Institute melibatkan sejumlah komunitas setempat seperti Sumbawa Visual Art, Komunitas Nagaru, Korps Mahasiswa Seni dan Budaya Universitas Teknologi Sumbawa, serta Komunitas Bileng Bineng. Set artistik yang berupa gerbang, awan, dan rangkaian replika rumah adalah hasil pengolahan sampah plastik, kardus bekas, dan ecobrick. Sebagian adalah hasil lokakarya yang dibuat anak-anak SD.
 
Dengan begitu, transmisi pesan dari pertunjukan ke penonton dipancarkan tidak cuma melalui teks, tapi juga set artistik. Metode penciptaan bersama memberi ruang egaliter bagi semua yang terlibat, serupa musyawarah untuk membaca persoalan dan secara bersama-sama mencari solusi. Bahasa sebagai perangkat komunikasi dalam proses tersebut tentu punya peran besar untuk membangun kedekatan emosi tanpa terjebak dalam perangkap primordial.
 
Teater modern lahir di kota, suatu wilayah baru yang membutuhkan bahasa yang bisa menghubungkan siapa saja yang datang dari mana saja. Semangat kelahirannya pun berjalan seiring perkembangan intelektual. Ketika teater modern menyebar ke pelbagai wilayah di luar kota, ada semacam ”resistansi genetis” dari masyarakat. Sebab, teater sebagai pertunjukan tumbuh di Nusantara sebagai (bagian dari) peristiwa; bentuk-bentuk performatif yang tidak terlepas dari kegiatan keseharian atau musiman.
 
Teater modern, melalui naskah tertulis, kemudian memanggul bahasa Indonesia ke atas panggung. Ketika tubuh-tubuh pelakon yang tidak tumbuh dengan bahasa Indonesia mencoba melakoninya, tubuh-tubuh itu berubah menjadi kaku, formal, tanpa emosi. Mirip tubuh negara yang cenderung menghasilkan diksi, narasi, dan jargon-jargon hampa.
 

*) Penyair dan peminat seni pertunjukan. http://sastra-indonesia.com/2019/09/bahasa-ibu-dan-tubuh-negara-dalam-teater-modern/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria