Jawa Pos, 7/7/2019
BAHASA jadi masalah bagi teater modern Indonesia. Bahasa Indonesia yang lahir dari wacana nasionalisme beroperasi sebagai bahasa politik dan kerap tak bisa diserap oleh tubuh pelakon yang tumbuh dengan bahasa ibu.
Ketika terucapkan oleh pelakon, bahasa Indonesia seperti benda mati yang tak punya kaitan genetik maupun kultur dengan tubuh pengucapnya. Pada situasi semacam itu, pesan yang terkandung dalam bahasa seperti tak memiliki sumber dan ketika diresepsi penonton sebagai komunikan, pesan itu pun kehilangan bobot pengalaman dan emosinya.
Alih-alih sebagai peristiwa, pertunjukan teater hadir sebagai tontonan semata ketika sistem transmisi dari pertunjukan ke penonton membawa beban pesan yang tak bersumber dari keduanya. Padahal, karena pertunjukan dan penonton berada dalam ruang dan waktu yang sama, teater sejatinya adalah peristiwa.
Pertunjukan Aidah Sumbawa yang berlangsung pada 28 Juni 2019 di Lapangan Sering Atas, Unter Iwes, Sumbawa, tampaknya menyadari persoalan itu. Teater Garasi/Garasi Performance Institute menginisiatori pertunjukan itu sebagai bagian dari Seri Pentas Antar Ragam dan dipresentasikan sebagai penutup Festival Pesona Olat Ojong II. Sutradara Dendi Madiya membiarkan para pelakonnya, yang semuanya adalah mahasiswa/pelajar setempat, mengembangkan sendiri materi dari hasil riset atas persoalan-persoalan di sekitar mereka.
Peran bahasa menjadi krusial dalam upaya mengartikulasikan lagi persoalan-persoalan tersebut. Semula, Dendi, yang aktivitas keseniannya berlangsung di Jakarta, hendak menulis naskah dalam bahasa Indonesia. Tetapi, menimbang para mahasiswa/pelajar setempat tidak tumbuh dalam tradisi (proses) teater, bahasa Indonesia sangat mungkin menjadi kendala yang solusinya tidak bisa cepat.
Karena itu, dia kemudian memilih ”hanya” membangun motif dan merancang struktur adegan. Sementara teks (dialog atau polilog) dikembangkan sendiri oleh para pelakon dengan menggunakan nyaris seratus persen bahasa Sumbawa.
Sebagai basis cerita, Aidah Sumbawa menyerap tiga persoalan utama masyarakat Sumbawa. Persoalan-persoalan itu adalah kerusakan lingkungan, buruh migran, dan dekadensi moral generasi muda. Tiga persoalan tersebut muncul silih berganti di panggung dengan irisan dari kehadiran sastra lisan Sakeco dan kampanye lingkungan hidup. Dalam durasi dua jam, terlihat bagaimana bahasa ibu bisa dengan mudah beroperasi sehingga sebagai komunikator, para pelakon lebih ringan melibatkan tubuhnya sebagai bagian dari perangkat komunikasi. Penonton tidak melihat akting, melainkan artikulasi sosial yang dibingkai dramaturgi pertunjukan.
Tiga persoalan yang menjadi basis cerita dalam dunia faktual Sumbawa sudah nyaris menjadi laten dan bila dibicarakan dalam karya seni bisa jatuh menjadi klise. Tetapi, soalnya adalah ketiganya belum bisa diselesaikan sehingga tetap hadir sebagai persoalan.
Melalui Aidah Sumbawa, terbaca bahwa tiga persoalan itu tidaklah berdiri sendiri-sendiri, bahwa kerusakan lingkungan berhubungan dengan akses ekonomi dan akses ekonomi berhubungan pula dengan perubahan perilaku.
Penggunaan bahasa Sumbawa mengartikulasikan persoalan-persoalan sosial itu dengan lebih tegas dan sisipan-sisipan bahasa Indonesia di tengah-tengah bahasa ibu para pelakon tersebut seperti jargon-jargon hampa dari negara. Melalui tatapan atas penggunaaan bahasa itu, Aidah Sumbawa hadir sebagai peristiwa yang ironis.
Keironisan itu bahkan bisa dipindai dari syair yang dinyanyikan oleh pemain Sakeco. Di bagian awal syair, digambarkan nasib masyarakat yang harus mencari nafkah sampai luar negeri dengan menjadi pekerja migran. Tetapi, di bagian berikutnya, syair bergeser ke kampanye pajak, lengkap dengan diksi dan jargon-jargon dalam bahasa Indonesia seperti ”pembangunan” dan ”orang bijak taat pajak”. Syair Sakeco jadi terasa satire, suatu sindiran atas minimnya peran negara dalam mengatasi persoalan-persoalan tersebut.
Dalam penciptaan Aidah Sumbawa, Teater Garasi/Garasi Performance Institute melibatkan sejumlah komunitas setempat seperti Sumbawa Visual Art, Komunitas Nagaru, Korps Mahasiswa Seni dan Budaya Universitas Teknologi Sumbawa, serta Komunitas Bileng Bineng. Set artistik yang berupa gerbang, awan, dan rangkaian replika rumah adalah hasil pengolahan sampah plastik, kardus bekas, dan ecobrick. Sebagian adalah hasil lokakarya yang dibuat anak-anak SD.
Dengan begitu, transmisi pesan dari pertunjukan ke penonton dipancarkan tidak cuma melalui teks, tapi juga set artistik. Metode penciptaan bersama memberi ruang egaliter bagi semua yang terlibat, serupa musyawarah untuk membaca persoalan dan secara bersama-sama mencari solusi. Bahasa sebagai perangkat komunikasi dalam proses tersebut tentu punya peran besar untuk membangun kedekatan emosi tanpa terjebak dalam perangkap primordial.
Teater modern lahir di kota, suatu wilayah baru yang membutuhkan bahasa yang bisa menghubungkan siapa saja yang datang dari mana saja. Semangat kelahirannya pun berjalan seiring perkembangan intelektual. Ketika teater modern menyebar ke pelbagai wilayah di luar kota, ada semacam ”resistansi genetis” dari masyarakat. Sebab, teater sebagai pertunjukan tumbuh di Nusantara sebagai (bagian dari) peristiwa; bentuk-bentuk performatif yang tidak terlepas dari kegiatan keseharian atau musiman.
Teater modern, melalui naskah tertulis, kemudian memanggul bahasa Indonesia ke atas panggung. Ketika tubuh-tubuh pelakon yang tidak tumbuh dengan bahasa Indonesia mencoba melakoninya, tubuh-tubuh itu berubah menjadi kaku, formal, tanpa emosi. Mirip tubuh negara yang cenderung menghasilkan diksi, narasi, dan jargon-jargon hampa.
*) Penyair dan peminat seni pertunjukan. http://sastra-indonesia.com/2019/09/bahasa-ibu-dan-tubuh-negara-dalam-teater-modern/
Aucun commentaire:
Publier un commentaire