mardi 19 janvier 2021

W.S. Rendra, Legenda yang Selalu Hidup

 Judul Buku: Stanza dan Blues
Penulis: W.S. Rendra
Penyunting: Edi Haryono
Penerbit: Bentang Pustaka Yogyakarta
Cetakan: Pertama, Mei 2010
Tebal Buku: vii + 125 Halaman
Peresensi: Satmoko Budi Santoso *
lampungpost.com
 
BULAN Agustus adalah bulan penyair W.S. Rendra. Demikian seloroh yang bisa saja dimunculkan. Setahun yang silam, di bulan Agustus pula, penyair Rendra menjemput kematian. Kiranya penerbitan buku antologi puisi Stanza dan Blues ini pun menemukan momentumnya sekarang, yang juga sama di bulan Agustus.
 
Ikhtiar memunculkan antologi puisi ini memang lebih pada merekonstruksi ingatan sebagian proses kreatif Rendra. Ternyata, sepanjang karier kepenyairannya ada dua hal yang cukup menyolok, yang menjadi semacam penanda penting bagi tonggak kepenyairannya. Yang pertama adalah buku kumpulan puisi Malam Stanza yang terbit pada 1961, sedangkan yang kedua buku kumpulan puisi Blues untuk Bonnie yang terbit pada 1971.
 
Kenapa dua buku tersebut dianggap penting? Karena pada dua buku itulah terlihat kontras perjalanan proses kreatif kepenyairan Rendra. Pada buku yang pertama, Malam Stanza, lebih pekat dengan tema cinta yang universal, sedangkan pada buku kedua, yakni Blues untuk Bonnie sudah lebih menyuruk masuk tema sosial. Maka, adanya penerbitan buku ini dimaksudkan untuk membaca dua kutub kontras yang amat berseberangan tersebut, sekaligus membaca jejak-jejak penyelaman pemilihan komitmen terhadap pengembangan estetika berpuisi yang diimani Rendra.
 
Oleh sebab itu, adanya buku ini jelas memberikan pengayaan informasi yang menarik, yang mungkin belum dimiliki oleh para penyair yang hidup pada era sekarang. Betapa Rendra di dalam proses kreatif kepenyairannya pun terjadi lompatan keberpihakan estetika berpuisi. Meskipun hal semacam ini merupakan kewajaran di dalam proses kreatif tapi toh harus tetap ditandai sebagai bagian catatan perjalanan yang bernilai urgen.
 
Kita tahu, banyak puisi Rendra yang cukup monumental dan bahkan diajarkan di sekolah maupun perguruan tinggi sebagai bagian kurikulum. Bahkan ditelaah menjadi bahan kajian skripsi, tesis, atau disertasi. Buku ini pun mengingatkan kembali pada puisi-puisi Rendra yang monumental, yang masuk di dalam kurikulum pengajaran sekolah dan perguruan tinggi. Misalnya, Nyanyian Suto untuk Fatima, Nyanyian Fatima untuk Suto, Blues untuk Bonnie, Rick dari Corona, Kesaksian Tahun 1967, Nyanyian Angsa, dan Khotbah.
 
Melalui puisi-puisi itu pula, setidaknya, publik menjadi mengenal tradisi estetika balada. Ciri khas yang melekat erat pada Rendra ini memang begitu berhasil secara kukuh karena secara personal penyairnya sendiri mampu membawakan secara baik jika berada di atas panggung. Bandingkan dengan banyak penyair lain, misalnya, yang mempunyai karakter puisi tertentu, tapi ketika ia membawakan sendiri puisinya di atas panggung, karakter di dalam puisinya justru menghilang. Tentu, hal itu diakibatkan karena kegagalan si penyair dalam mengomunikasikan puisinya sendiri di atas panggung.
 
Memang, ada persoalan sosiologis yang membedakan antara era kini dan sekarang. Dulu jumlah penyair yang visioner (baca: berani melawan kebijakan negara dan sejenisnya) boleh dikata hanya sedikit. Tentu, kemunculan Rendra pun bagai tak ada saingan. Itulah yang membuatnya “tak bisa dikalahkan”. Tak pelak, sebagaimana telah dicatat penyair Binhad Nurohmat di dalam pengantar buku ini, kemunculan Rendra pada masanya dulu memang mengundang takjub, terutama dari para pengamat sastra yang kemudian memberikan pernyataan. Kritikus sastra dari Australia Harry Aveling, misalnya, menyatakan bahwa puisi-puisi Rendra yang merupakan “periode sosial” sebenarnya jumlahnya sedikit. “Tetapi puisi-puisi itu sungguh mengherankan, banyak variasinya dan ada yang luar biasa baiknya,” demikian pernyataan Harry Aveling. Atau, dalam versi lain, penyair Binhad Nurrohmat sendiri merumuskan bahwa puisi Rendra menjelma aksi dan peristiwa yang penting. Kepenyairannya tak hanya berbekal fakta personal yang subjektif, tapi juga fakta sosial yang objektif. Rendra telah memasuki ruang-ruang sosial yang nyata yang sebelumnya tabu bagi citra romantisme kepenyairan.
 
Bagi saya sendiri, puisi-puisi Rendra yang memang berkomitmen kuat pada persoalan sosial tetap saja tak dapat menghindar dari verbalitas. Terutama pada periode Blues untuk Bonnie. Atau, barangkali, pada masa itu, memang tak perlu mengekspresikan dengan cara yang lebih metaforis? Entah mengapa, setidaknya bagi saya, Rendra justru berhasil dengan puisi-puisinya pada era Malam Stanza. Puisi-puisi yang pendek, ringkas, metaforis, cenderung berpantun, yang justru merangkum kompleksitas maksud. Atau memang, kita harus percaya pada verbalitas untuk sebuah keutuhan maksud dan di situlah esensi nilai pemberontakan di dalam puisi dalam konstelasi respons masalah sosial telah terwujud?
 
Terlepas dari segala kemungkinan kontroversi persepsi dan pendapat, karya Rendra tetaplah harus diakui sebagai spirit jiwa zaman pada kurun waktu tertentu sehingga menjadikannya legenda yang selalu hidup. Ini yang sulit dihindari dari keberadaan puisi-puisinya yang sekaligus membuatnya bernilai abadi. Baiklah, untuk menutup tulisan ini, saya kutipkan sebagian puisi Rendra guna mengingatkan totalitas perjalanan kepenyairannya. Berikut ini adalah puisi Rendra yang berjudul Batu Hitam. Batu hitam di kali berdiri tanpa mimpi/ arus merintih oleh anak tak berhati/ Betapa tegar tanpa rindu dan damba./ Betapa sukar hancur anak tak berbunda./ Angin Agustus tiba dan bulan senyum padanya/ tapi anak tak berhati tak berjantung pula./ Angkuh dan dingin si batu hitam./ Beku dan lumutan dendamnya terpendam.//
 
*) Penikmat sastra, tinggal di Yogyakarta.
http://sastra-indonesia.com/2010/08/buku-legenda-yang-selalu-hidup/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria