Arafat Nur *
Jawa Pos, 6 Des 2020
Radio sedang menyiarkan
iklan membesarkan dan memanjangkan alat kelamin pria ketika Misdi mendengar
kabar bahwa istrinya yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya
telah dinikahi lelaki lain.
Tiba-tiba saja kepala
Misdi pening, pandangannya berkunang-kunang, dan kupingnya sumbat seperti berada
di puncak Bukit Semaur yang bertekanan udara rendah.
“Aku juga sangat kaget,
kenapa Poniyem sampai bisa kepincut lelaki lain. Padahal, kalian sudah punya
anak dan akur-akur saja. Aku tidak habis pikir. Kalau dulu aku ketemu dia,
pasti sudah aku nasihati. Tapi, aku tidak pernah ketemu dia karena tempat kerja
kami berjauhan. Lagi pula, sekarang apa gunanya. Dia sudah kawin,” kata
perempuan paro baya yang baru pulang sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya.
Kata-kata perempuan tetangga itu tidak bisa lagi dicerna Misdi yang mendadak
wajahnya berubah sangat pucat.
“Mas, kamu kenapa?” tanya
perempuan itu kebingungan karena melihat wajah Misdi sangat tegang. Dengan
hati-hati dia pun berujar, “Sabar ya, Mas. Maaf, aku balik dulu…”
Dengan langkah gontai, Misdi
masuk kamar, merebahkan diri di ranjang. Tercium bau apek. Dia memejamkan mata,
kemudian membukanya lagi. Pandangannya menerawang ke atap rumah yang tanpa ada
langit-langit. Dinding tanpa plester, lantai semen kasar berdebu, demikian juga
lemari kayu yang dibuat sekadarnya agar pakaian mereka tidak berserakan dan
disangkutkan di mana-mana.
Dari radio yang masih
menyala, terdengar sebuah lagu dangdut yang tidak begitu selaras dengan musik.
Seperti lagu rekaman ulang dari penyanyi amatiran. Namun, lagu-lagu semacam itu
tetap enak di pendengaran orang-orang Desa Semaur yang tidak tahu apa-apa
tentang musik. Seusai lagu itu diputar, langsung terdengar lagi siaran iklan
memperbesar dan memperpanjang alat kelamin pria…
***
Sebelumnya, seminggu
sekali atau dua minggu sekali, Misdi menelepon istrinya dari puncak Bukit
Semaur—hanya di situ sinyal telepon di desanya paling bagus—di antara bayangan
pohon pinus dan tanaman kunyit yang merana, menanyakan kabar istrinya, kapan
istrinya pulang.
Poniyem selalu menjawab,
“Aku belum bisa pulang, Mas. Majikan bilang, kalau aku pulang, aku tidak bisa
balik kemari lagi. Dia akan mencarikan pembantu lain. Mas kan tahu mencari
pekerjaan itu sulit sekali.”
Misdi langsung percaya
dan tidak pernah memikirkan yang bukan-bukan. Sudah setahun lebih istrinya
tidak pulang dan selalu saja mengutarakan alasan yang masuk akal. Memang
kebanyakan perempuan yang bekerja sebagai pembantu ataupun pekerja pabrik
jarang-jarang pulang ke kampung halaman. Setidaknya paling cepat tiga bulan
sekali. Itu pun cuma sebentar. Paling lama seminggu, kemudian mereka harus
balik lagi. Kebanyakan enam bulan sekali baru pulang. Ada yang setahun, dua
tahun, bahkan lima tahun sekali baru pulang kampung, terutama mereka yang
bekerja di luar negeri seperti di Malaysia dan Hongkong.
Kebanyakan penduduk di
sini harus mengadu nasib ke luar desa untuk bisa bertahan hidup, buat biaya
makan dan biaya sekolah anak-anak. Desa ini seperti kena kutuk Tuhan dan
penduduknya tetap memanjatkan doa walaupun jarang sembahyang, meminta kepada
arwah leluhur, menaruh sesajen di kamar, di kali, di alas atau ladang, dan di
sawah-sawah, berharap hasil panen melimpah. Nyatanya, hasil panen tidak pernah
bagus. Jahe yang ditanam di bawah lahan pinus milik pemerintah terserang hama yang
menyebabkan umbinya busuk, kunyit hanya bisa dipanen dua tahun sekali, dan
banyak gabah yang kopong.
Makanya, setiap orang
yang sudah menikah dan dikaruniai seorang anak, salah satu di antaranya harus
pergi mencari kerja ke kota. Kebanyakan yang pergi bekerja dan harus
meninggalkan keluarga adalah istri karena pekerjaan menjadi pembantu atau
pekerja pabrik adalah perempuan. Kaum perempuan lebih mudah mendapatkan
pekerjaan di kota dibandingkan lelaki yang hanya menamatkan sekolah dasar dan
tidak memiliki keterampilan apa-apa.
Jika tidak ada salah
seorang anggota keluarga yang bekerja di kota, hidup mereka akan miskin,
terpaksa tinggal di rumah orang tua tanpa pernah bisa membangun rumah sendiri,
makan berlauk tahu-tempe, tidak bisa membeli barang apa-apa, pakaian
sekadarnya, tidak bisa beli HP pintar, tidak bisa beli perabotan, tidak bisa
beli televisi, dan tidak ada biaya untuk pendidikan anak-anak mereka. Lantas,
mereka harus terus menumpang hidup di rumah orang tua sambil mendengarkan
siaran radio yang tidak henti-hentinya memutar iklan memperbesar dan memperpanjang
alat kelamin pria…
***
Mungkinkah Poniyem
mengkhianatinya? Misdi membatin dan sulit untuk bisa percaya. Sebab, dia masih
istrinya, belum bercerai, dan selama ini Poniyem tidak pernah mengeluh meminta
cerai. Mereka baik-baik saja, hampir tidak pernah cekcok.
Poniyem adalah gadis desa
tetangga, berparas biasa saja, tetapi suka dandan dan memakai pakaian menurut
gaya masa kini. Penampilannya itulah yang membuat mata Misdi tidak berkutik dan
langsung jatuh hati saat kali pertama mereka bertemu di Pasar Ngrayun. Misdi
memberanikan diri menegurnya yang dibalas dengan keramahan berlebihan, kalau
tidak bisa dibilang genit.
Misdi, sekalipun
penampilannya agak kumal, memiliki paras yang lumayan tampan dan menyenangkan.
Hal itu pula yang membuat pandangan Poniyem gelap. Singkat kata, mereka pun
menikah sampai kemudian dikaruniai seorang anak perempuan dan hidup mereka
semakin terimpit sulitnya keuangan. Demikian pun mereka jarang cekcok, apalagi
bertengkar.
Kesulitan keuangan mereka
segera teratasi saat Poniyem menerima ajakan seorang perempuan tetangga yang
menawarinya pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga di Surabaya. Meskipun
jarang pulang, setiap bulan Poniyem mengirimkan uang gajinya kepada Misdi yang
tinggal bersama ibunya yang turut membantu mengasuh putri mereka.
Sejauh ini tidak ada
tanda-tanda bahwa mereka tidak cocok, apalagi bertengkar. Mungkinkah Poniyem
sampai hati mengkhianatinya? Pertanyaan itulah yang selalu mengiang-ngiang di
telinga Misdi.
***
Siang itu, saat Misdi
keluar rumah, berlari-lari ke Bukit Semaur untuk menelepon istrinya, dia sempat
mendengarkan kembali iklan radio memperbesar dan memperpanjang alat kelamin
pria. Iklan itu-itu saja yang sering diputar di pemancar radio swasta kecamatan
yang berhasil tertangkap gelombangnya di desa terpencil bebukitan yang penuh
dengan pohon pinus milik pemerintah.
Dengan napas memburu,
jemari kasar Misdi yang gemetar langsung menekan tombol yang menghubungi nomor
telepon Poniyem di Kota Surabaya yang berjarak sekitar 350 km. Tidak sedikit
pun terlintas bagaimana bayangan kota itu di benak Misdi. Kota paling besar
yang pernah dilihatnya adalah Ponorogo dengan polisi lalu lintas yang
berkeliaran di jalan-jalan. Itu pun cuma sekali, saat dia mengantarkan istrinya
dengan motor ke terminal.
Sejak remaja sampai
menikah, kehidupan Misdi hanya berputar-putar antara rumah, alas, dan sawah.
Sesekali dia turun ke kota Kecamatan Ngrayun untuk berbelanja dengan motor
butut yang tanpa STNK dan surat hak milik yang dibelinya dengan cara menukarkan
seekor kambing jantan usia dua tahun.
“Halo,” kata Misdi dengan
bibir bergetar tak tertahan. Bukan hanya bibir, sekujur tubuhnya juga bergetar.
“Halo,” sahut suara
dingin dari seberang. “Ada apa, Mas?”
Sesaat hening karena
Misdi sangat kebingungan. Tiba-tiba saja dia kehilangan kata-kata, tidak tahu
apa yang mesti diucapkannya.
“Aku dengar kamu sudah
kawin. Apa benar?” suara Misdi terdengar serak dan seperti orang mau menangis.
Sejurus hening. Begitu heningnya
sehingga Misdi bisa mendengar degup jantungnya sendiri yang begitu keras.
“Benar, Mas,” terdengar
jawaban tanpa dosa dari seberang.
“Kenapa bisa? Kamu kan
masih istriku? Kenapa tiba-tiba kamu kawin lagi? Apa salahku?” sembur Misdi
menahan gejolak amarahnya.
“Maafkan aku, Mas. Aku
hanya minta kamu menceraikanku.”
“Cerai?” Misdi kembali
kehilangan kata-kata.
Sejak itu Misdi menjadi
lelaki yang tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Dia menjadi lelaki pendiam yang
tidak bisa lagi diajak berbicara. Misdi tidak bisa bicara apa pun lagi.
Sehari-hari kerjanya
hanya ke ladang dan sawah, bahkan di tengah malam yang gelita. Dia tidak peduli
apa pun, bahkan dia tidak paham terhadap orang-orang yang begitu panik
menghadapi persebaran wabah korona yang sudah sampai ke desa-desa.
Ketika di rumah, dia
lebih banyak mengurung diri di kamar untuk menghindari ibunya dan anak gadisnya
yang sekarang sudah duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar. Yang sering
terdengar dari suaranya yang keluar adalah tangisan sedu sedan. Dan, tangisan
sedu sedan itu kerap kali lebih nyaring terdengar ketika radio yang diletakkan
di ruang utama menyiarkan iklan memperbesar dan memanjangkan alat kelamin pria.
Ponorogo, 10 September
2020
*) ARAFAT NUR, Dosen
Bahasa dan Sastra STKIP PGRI Ponorogo yang sering menjuarai sayembara menulis
novel dan cerpen. Buku kumpulan cerpen terbarunya yang berjudul Serdadu dari
Neraka (Diva Press, 2020) sudah beredar luas. http://sastra-indonesia.com/2021/01/tangisan-sedu-sedan-di-antara-siaran-iklan-radio/
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire