Sigit Susanto *
“Karena aku dihajar oleh kakek hingga sakit dan berbaring lama di tempat
tidur. Sejak itu, aku anggap sebagai penemuan khusus yang berarti dalam
hidupku. Untuk mengamati lingkungan dengan lebih teliti. Setiap penderitaan
orang lain adalah penderitaanku juga,” ungkap Maxim Gorki dalam bukunya, Masa
Kecilku.
Sejak usia 2 tahun, Gorki ditinggal mati ayahnya. Ibunya kawin lagi, dan
pada saat dia berusia 11 tahun, ibunya meninggal. Praktis dia dibesarkan oleh
kakek dan neneknya yang memiliki tradisi Kristen ortodoks keras. Gorki kecil
sudah terbiasa melihat kebrutalan kakeknya yang sering memukuli dia, ibunya,
dan neneknya.
Kalau perjalanan hidup Gorki diawali dengan sentuhan kehidupan kemanusiaan,
sebaliknya, Neruda dengan sentuhan kehidupan alam. Terutama hujan. Dia kisahkan
pada masa kecilnya, bagaimana jalan di depan rumahnya berubah menjadi lautan
berlumpur. Pada saat kecil, Neruda merasa tidak pernah belajar menulis puisi.
Akan tetapi, ketika dia berada di danau Budi dekat Puerto Saavedra, tiba-tiba
dia dikasih seekor angsa yang hampir mati oleh seorang pemburu. Angsa itu dia
rawat lukanya dan disuapi dengan roti. Berkali-kali dalam sehari, dia membawa
angsa itu ke sungai dan dibawa pulang ke rumahnya lagi. Setelah 20 hari, angsa
itu sembuh dan mulai mengira Neruda sebagai temannya sendiri. Bisa berenang
bersama-sama. Lehernya yang hitam, diibaratkan seperti kain sutra. Namun
matanya tetap sedih menunggu ajal. Kegelisahan Neruda memuncak dan mendorongnya
untuk membuat coretan-coretan tangan. Dia mengakui hasil coretan-coretannya
menjadi terasa asing dan berbeda dengan bahasa harian. Itulah puisi awal
Neruda. (Ich bekenne NERUDA, ich habe gelebt).
Thukul punya riwayat yang mirip dengan Gorki. Keduanya dilahirkan sebagai
anak yang melarat. Ketidak beruntungan dalam hidup itu membuat jiwanya makin
mengeras. Anak tukang becak kampung Sorogenen, Solo, itu tumbuh di kawasan
kumuh buruh pabrik. Sekolah Menengah Karawitan yang dia tekuni juga gagal,
karena tak ada biaya. Namun sejak di Sekolah Dasar, Thukul sudah tampak
memiliki bakat menulis puisi. Ayah Gorki seorang tukang kayu, neneknya pengemis
di depan gereja. Kematian nenek Gorki tersungkur di depan gereja sembari masih
membawa uang. Sekolah Gorki juga berantakan, tak pernah sampai selesai. Sedang
ayah Neruda seorang karyawan pelabuhan dan terakhir sebagai masinis sepur
pengangkut batu kerikil. Meskipun Neruda juga dibesarkan di kawasan orang
miskin, tetapi tak banyak diceritakan kesulitan masa sekolahnya. Neruda
berhasil menempuh pendidikannya hingga menjadi profesor di Universitas Santiago
de Chile serta menjadi konsul dan duta besar di berbagai negara. Kalau Gorki
pernah bekerja sebagai tukang membuat roti yang bekerja 14 jam sehari. Dan dia
dikurung di lantai bawah tanah yang gelap, tanpa ada sinar matahari. Thukul
juga pernah mengenyam hidup sebagai penjual koran dan, terakhir, sebagai tukang
pelitur mebel.
Makin orang berkarya tulis, makin orang bertanya. Itu dialami oleh Neruda.
Di usia 14 tahun, dia terpaksa harus mengubah nama aslinya, Neftali Ricardo
Reyes y Basoalto, dengan nama samaran, Pablo Neruda. Alasannya, karena
kecurigaan ayahnya yang tidak senang anaknya menulis puisi. Secara tak sengaja
dia mengambil nama seorang sastrawan Cheko bernama, Jan Nepomuk Neruda
(1834-1891). Demikian pula Maxim Gorki hanyalah sebuah pseudonim. Nama aslinya,
Alexej Maximowitsch Peschkow.
Berangkat dari perjalanan hidup yang serba sulit dan setumpuk kegelisahan
sehari-hari. Ketiga penulis di atas tumbuh makin dewasa dan mulai mengenal
kesadaran politik. Gorki mulai bersahabat dengan Lenin. Pada 1905, dia
dipenjara dan akhirnya bereksil ke pulau Capri, Itali (1907-1913). Setelah
kembali dari eksil dia berpihak pada revolusi Bolsevik. Demikian pula Neruda,
dia bergabung dengan Partai Komunis Chile. Yang akhirnya bereksil ke Eropa dan
sempat berada di pulau Capri, Itali, pada 1952. Pulau itu dulunya tempat
bersembunyi Gorki. Dari sinilah lahir film Il Postino. Kalau kita menelusuri
jejak Thukul, maka tampak keberpihakan dia pada kaum lemah sangat tinggi. Hal
itu dibuktikan dengan keterlibatannya memimpin berbagai aksi mogok dan
demonstrasi buruh pabrik dan petani. Aktivitas Thukul makin menyolok setelah
dia bergabung dengan Partai Rakyat Demokrat (PRD) pada masa rezim Orde Baru.
Thukul termasuk salah satu pentolan PRD yang dicari penguasa. Tetapi Thukul
bukanlah Gorki atau Neruda yang punya
tradisi bereksil. Dia keburu diculik dan tidak kembali hingga kini.
Antara kegiatan politik dan sastra, ketiga penulis di atas saling
bertautan. Model tulisan mereka bercirikan rebelis. Aktif mengusung kehidupan
nyata di masyarakat lapisan bawah. Aliran ini biasa kita kenal dengan sebutan
realisme sosialis. Bahkan Gorki dikenal sebagai pionir dan tokoh dari aliran
ini. Gorki mengenang, bahwa kakek-neneknya tak pernah menceritakan sebuah
dongeng, sebaliknya selalu bercerita kisah-kisah realitas. Gorki di Sekolah
Dasar juga pernah dijuluki teman-temannya Maling. Karena dia mencuri uang
ibunya satu Rubel untuk membeli buku Robinson. Dalam salah satu Trilogi Gorki
disebutkan, “Orang suka cerita menarik, dasarnya untuk menghindari beban
sesaat, juga untuk melupakan kebosanan hidup. Makin banyak cerita yang tidak
nyata, makin banyak orang tertarik”.
Adalah Anton Cechov yang menilai karya Gorki kurang estetis, namun lebih
moralis dan banyak bernuansa kritik sosial di masyarakat. Kritik Cechov tidak
sendirian, karena ada pemikiran paralel dari Rendra dalam Proses Kreatif Saya
Sebagai Penyair yang mengatakan, “Orang-orang Lekra dulu tidak bisa mencapai
publik besar karena mereka tidak mau berpikir serius mengenai bentuk seni dari
gagasan mereka”. Kalau Cechov dan Rendra memberi kritik, sebaliknya, Georg
Lukacs mengajak pembaruan. Dalam bukunya, Teori Roman (DieTheorie des Romans), Lukacs mengakui,
“Estetika Marxis pada masa Stalin telah terkuburkan, sekarang kita harus
menemukan kembali dengan metode yang sungguh sistematis. Seni itu sendiri akan
menjadi problematis, padahal yang sesungguhnya tidak begitu”.
Ternyata pendapat Lukacs tidak jauh meleset dengan pandangan seorang tokoh
realisme sosialis kita, Pramoedya Ananta Toer. Dalam sebuah wawancara, Pram
menuturkan, “Dalam Stilistika, saya pengagum Steinbeck, kalau Gorki ya itu
masalah krusialnya”. Pram yang pada 1950-an sudah menterjemahkan karya Gorki
berjudul Ibunda itu lebih jauh menjabarkan, “Penulis kan hidup di tengah-tengah
masyarakatnya. Masyarakat memberi materi-materi kepada penulis. Dan penulis
yang berhasil, diharap memberikan pengaruhnya pada kondisi dan kehidupan
sosial. Itu hubungan timbal balik. Jadi kalau ada pengarang yang hanya bermain
fantasi, itu namanya ‘setengah gila’. Sebab bagi saya, menulis itu bukan saja
tugas pribadi, namun juga tugas nasional. Bukan seenaknya sendiri seperti yang
dianjurkan oleh Manikebu! Tidak. Bagi saya tidak. Ada tugas nasional selain tugas
pribadi”. Pernyataan itu bisa dibaca dalam Bincang-bincang dengan Pram, On/Off,
Edisi 11/2003.
Neruda di Batavia
Kedatangan Neruda pertama kali pada 1927 di Batavia menyimpan kisah konyol
dengan hotel boy. Ketika dia hendak menulis telegram untuk pemerintahnya di
Chile, karena kedatangannya ditolak oleh pejabat Belanda, tiba-tiba tintanya
habis. Neruda memanggil seorang hotel boy untuk meminta tinta dengan
memperagakan sebuah pensil di tangan sembari bilang,“ink, ink”. Hotel boy hanya
bengong, tidak mengerti arti bahasa Inggris “ink”. Maka ada tujuh atau delapan
hotel boy berdatangan. Ketika Neruda mengulangi bilang, “This, this”. Kontan
seperti suara koor mereka berucap ramah, “Tinta! Tinta!”. Akhirnya, Neruda
sadar, ternyata bahasa Spanyol untuk “tinta”, juga sama dengan bahasa Melayu
atau Indonesia.
Tak lama tinggal di hotel, Neruda berpindah ke sebuah rumah baru di Jalan
Probolinggo. Dia bertugas sebagai konsul baru negeri Chile dan merasa
berakhirlah petualangannya keliling dunia. Setelah dia berkenalan dengan Maria
Antonieta Agenaar. Gadis blasteran Belanda-Melayu kelahiran Jawa itu akhirnya
pada 1930 resmi sebagai istrinya. Pada 1934, Neruda berpindah tugas ke
Barcelona dan, di sana, mereka dikaruniai seorang anak perempuan bernama Malva
Marina. Pada 1936, pasangan itu berpisah. Pada 1942, anak perempuannya yang
sakit-sakitan itu, meninggal.
Solidaritas Konkret untuk Thukul
Ketika Salman Rushdie diancam fatwa mati oleh Khomaeni, masyarakat
internasional yang peduli akan nasib sastrawan penulis Satanic Verses itu
menggalang solidaritas untuk melindungi dan berhasil. Apa yang telah dilakukan
untuk Thukul? Selama ini baru pada tahap berbagai diskusi. Antara lain dengan
tajuk Pulanglah Thukul. Seolah-olah Thukul masih disekap aparat. Atau sebuah sindiran
yang dialamatkan untuk aparat. Apalagi ada kabar burung, Thukul kabur keluar
negeri. Juga pemberian berbagai penghargaan atau pembuatan film, justru
terkesan seremonial belaka. Tidak menukik langsung ke sararan utama.
De facto, penyair cedal itu belum kembali. Kemungkinan besar Thukul sudah
dibunuh aparat. Seandainya saja Indonesia punya tradisi bereksil bagi para
penulis, seperti di negeri lain, barangkali Thukul sudah lama kabur. Langkah
yang mendesak adalah memprotes pihak pemerintah untuk mengusut kembali
hilangnya Thukul. Apalagi para pelaku militer dari pemerintahan Orde Baru masih
ada. Tanpa langkah konkret, dikhawatirkan kasus ini akan perlahan-lahan ditelan
zaman seperti kasus-kasus yang serupa.
***
*) Sigit Susanto, penulis buku trilogi Menyusuri Lorong-lorong Dunia. http://sastra-indonesia.com/2020/09/antara-gorki-neruda-dan-thukul/
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire