dimanche 7 février 2021

Antara Gorki, Neruda, dan Thukul

Sigit Susanto *
 
“Karena aku dihajar oleh kakek hingga sakit dan berbaring lama di tempat tidur. Sejak itu, aku anggap sebagai penemuan khusus yang berarti dalam hidupku. Untuk mengamati lingkungan dengan lebih teliti. Setiap penderitaan orang lain adalah penderitaanku juga,” ungkap Maxim Gorki dalam bukunya, Masa Kecilku.
 
Sejak usia 2 tahun, Gorki ditinggal mati ayahnya. Ibunya kawin lagi, dan pada saat dia berusia 11 tahun, ibunya meninggal. Praktis dia dibesarkan oleh kakek dan neneknya yang memiliki tradisi Kristen ortodoks keras. Gorki kecil sudah terbiasa melihat kebrutalan kakeknya yang sering memukuli dia, ibunya, dan neneknya.
 
Kalau perjalanan hidup Gorki diawali dengan sentuhan kehidupan kemanusiaan, sebaliknya, Neruda dengan sentuhan kehidupan alam. Terutama hujan. Dia kisahkan pada masa kecilnya, bagaimana jalan di depan rumahnya berubah menjadi lautan berlumpur. Pada saat kecil, Neruda merasa tidak pernah belajar menulis puisi. Akan tetapi, ketika dia berada di danau Budi dekat Puerto Saavedra, tiba-tiba dia dikasih seekor angsa yang hampir mati oleh seorang pemburu. Angsa itu dia rawat lukanya dan disuapi dengan roti. Berkali-kali dalam sehari, dia membawa angsa itu ke sungai dan dibawa pulang ke rumahnya lagi. Setelah 20 hari, angsa itu sembuh dan mulai mengira Neruda sebagai temannya sendiri. Bisa berenang bersama-sama. Lehernya yang hitam, diibaratkan seperti kain sutra. Namun matanya tetap sedih menunggu ajal. Kegelisahan Neruda memuncak dan mendorongnya untuk membuat coretan-coretan tangan. Dia mengakui hasil coretan-coretannya menjadi terasa asing dan berbeda dengan bahasa harian. Itulah puisi awal Neruda. (Ich bekenne NERUDA, ich habe gelebt).
 
Thukul punya riwayat yang mirip dengan Gorki. Keduanya dilahirkan sebagai anak yang melarat. Ketidak beruntungan dalam hidup itu membuat jiwanya makin mengeras. Anak tukang becak kampung Sorogenen, Solo, itu tumbuh di kawasan kumuh buruh pabrik. Sekolah Menengah Karawitan yang dia tekuni juga gagal, karena tak ada biaya. Namun sejak di Sekolah Dasar, Thukul sudah tampak memiliki bakat menulis puisi. Ayah Gorki seorang tukang kayu, neneknya pengemis di depan gereja. Kematian nenek Gorki tersungkur di depan gereja sembari masih membawa uang. Sekolah Gorki juga berantakan, tak pernah sampai selesai. Sedang ayah Neruda seorang karyawan pelabuhan dan terakhir sebagai masinis sepur pengangkut batu kerikil. Meskipun Neruda juga dibesarkan di kawasan orang miskin, tetapi tak banyak diceritakan kesulitan masa sekolahnya. Neruda berhasil menempuh pendidikannya hingga menjadi profesor di Universitas Santiago de Chile serta menjadi konsul dan duta besar di berbagai negara. Kalau Gorki pernah bekerja sebagai tukang membuat roti yang bekerja 14 jam sehari. Dan dia dikurung di lantai bawah tanah yang gelap, tanpa ada sinar matahari. Thukul juga pernah mengenyam hidup sebagai penjual koran dan, terakhir, sebagai tukang pelitur mebel.
 
Makin orang berkarya tulis, makin orang bertanya. Itu dialami oleh Neruda. Di usia 14 tahun, dia terpaksa harus mengubah nama aslinya, Neftali Ricardo Reyes y Basoalto, dengan nama samaran, Pablo Neruda. Alasannya, karena kecurigaan ayahnya yang tidak senang anaknya menulis puisi. Secara tak sengaja dia mengambil nama seorang sastrawan Cheko bernama, Jan Nepomuk Neruda (1834-1891). Demikian pula Maxim Gorki hanyalah sebuah pseudonim. Nama aslinya, Alexej Maximowitsch Peschkow.
 
Berangkat dari perjalanan hidup yang serba sulit dan setumpuk kegelisahan sehari-hari. Ketiga penulis di atas tumbuh makin dewasa dan mulai mengenal kesadaran politik. Gorki mulai bersahabat dengan Lenin. Pada 1905, dia dipenjara dan akhirnya bereksil ke pulau Capri, Itali (1907-1913). Setelah kembali dari eksil dia berpihak pada revolusi Bolsevik. Demikian pula Neruda, dia bergabung dengan Partai Komunis Chile. Yang akhirnya bereksil ke Eropa dan sempat berada di pulau Capri, Itali, pada 1952. Pulau itu dulunya tempat bersembunyi Gorki. Dari sinilah lahir film Il Postino. Kalau kita menelusuri jejak Thukul, maka tampak keberpihakan dia pada kaum lemah sangat tinggi. Hal itu dibuktikan dengan keterlibatannya memimpin berbagai aksi mogok dan demonstrasi buruh pabrik dan petani. Aktivitas Thukul makin menyolok setelah dia bergabung dengan Partai Rakyat Demokrat (PRD) pada masa rezim Orde Baru. Thukul termasuk salah satu pentolan PRD yang dicari penguasa. Tetapi Thukul bukanlah Gorki atau Neruda yang  punya tradisi bereksil. Dia keburu diculik dan tidak kembali hingga kini.
 
Antara kegiatan politik dan sastra, ketiga penulis di atas saling bertautan. Model tulisan mereka bercirikan rebelis. Aktif mengusung kehidupan nyata di masyarakat lapisan bawah. Aliran ini biasa kita kenal dengan sebutan realisme sosialis. Bahkan Gorki dikenal sebagai pionir dan tokoh dari aliran ini. Gorki mengenang, bahwa kakek-neneknya tak pernah menceritakan sebuah dongeng, sebaliknya selalu bercerita kisah-kisah realitas. Gorki di Sekolah Dasar juga pernah dijuluki teman-temannya Maling. Karena dia mencuri uang ibunya satu Rubel untuk membeli buku Robinson. Dalam salah satu Trilogi Gorki disebutkan, “Orang suka cerita menarik, dasarnya untuk menghindari beban sesaat, juga untuk melupakan kebosanan hidup. Makin banyak cerita yang tidak nyata, makin banyak orang tertarik”.
 
Adalah Anton Cechov yang menilai karya Gorki kurang estetis, namun lebih moralis dan banyak bernuansa kritik sosial di masyarakat. Kritik Cechov tidak sendirian, karena ada pemikiran paralel dari Rendra dalam Proses Kreatif Saya Sebagai Penyair yang mengatakan, “Orang-orang Lekra dulu tidak bisa mencapai publik besar karena mereka tidak mau berpikir serius mengenai bentuk seni dari gagasan mereka”. Kalau Cechov dan Rendra memberi kritik, sebaliknya, Georg Lukacs mengajak pembaruan. Dalam bukunya, Teori Roman  (DieTheorie des Romans), Lukacs mengakui, “Estetika Marxis pada masa Stalin telah terkuburkan, sekarang kita harus menemukan kembali dengan metode yang sungguh sistematis. Seni itu sendiri akan menjadi problematis, padahal yang sesungguhnya tidak begitu”.
 
Ternyata pendapat Lukacs tidak jauh meleset dengan pandangan seorang tokoh realisme sosialis kita, Pramoedya Ananta Toer. Dalam sebuah wawancara, Pram menuturkan, “Dalam Stilistika, saya pengagum Steinbeck, kalau Gorki ya itu masalah krusialnya”. Pram yang pada 1950-an sudah menterjemahkan karya Gorki berjudul Ibunda itu lebih jauh menjabarkan, “Penulis kan hidup di tengah-tengah masyarakatnya. Masyarakat memberi materi-materi kepada penulis. Dan penulis yang berhasil, diharap memberikan pengaruhnya pada kondisi dan kehidupan sosial. Itu hubungan timbal balik. Jadi kalau ada pengarang yang hanya bermain fantasi, itu namanya ‘setengah gila’. Sebab bagi saya, menulis itu bukan saja tugas pribadi, namun juga tugas nasional. Bukan seenaknya sendiri seperti yang dianjurkan oleh Manikebu! Tidak. Bagi saya tidak. Ada tugas nasional selain tugas pribadi”. Pernyataan itu bisa dibaca dalam Bincang-bincang dengan Pram, On/Off, Edisi 11/2003.
 
Neruda di Batavia
 
Kedatangan Neruda pertama kali pada 1927 di Batavia menyimpan kisah konyol dengan hotel boy. Ketika dia hendak menulis telegram untuk pemerintahnya di Chile, karena kedatangannya ditolak oleh pejabat Belanda, tiba-tiba tintanya habis. Neruda memanggil seorang hotel boy untuk meminta tinta dengan memperagakan sebuah pensil di tangan sembari bilang,“ink, ink”. Hotel boy hanya bengong, tidak mengerti arti bahasa Inggris “ink”. Maka ada tujuh atau delapan hotel boy berdatangan. Ketika Neruda mengulangi bilang, “This, this”. Kontan seperti suara koor mereka berucap ramah, “Tinta! Tinta!”. Akhirnya, Neruda sadar, ternyata bahasa Spanyol untuk “tinta”, juga sama dengan bahasa Melayu atau Indonesia.
 
Tak lama tinggal di hotel, Neruda berpindah ke sebuah rumah baru di Jalan Probolinggo. Dia bertugas sebagai konsul baru negeri Chile dan merasa berakhirlah petualangannya keliling dunia. Setelah dia berkenalan dengan Maria Antonieta Agenaar. Gadis blasteran Belanda-Melayu kelahiran Jawa itu akhirnya pada 1930 resmi sebagai istrinya. Pada 1934, Neruda berpindah tugas ke Barcelona dan, di sana, mereka dikaruniai seorang anak perempuan bernama Malva Marina. Pada 1936, pasangan itu berpisah. Pada 1942, anak perempuannya yang sakit-sakitan itu, meninggal.
 
Solidaritas Konkret untuk Thukul
 
Ketika Salman Rushdie diancam fatwa mati oleh Khomaeni, masyarakat internasional yang peduli akan nasib sastrawan penulis Satanic Verses itu menggalang solidaritas untuk melindungi dan berhasil. Apa yang telah dilakukan untuk Thukul? Selama ini baru pada tahap berbagai diskusi. Antara lain dengan tajuk Pulanglah Thukul. Seolah-olah Thukul masih disekap aparat. Atau sebuah sindiran yang dialamatkan untuk aparat. Apalagi ada kabar burung, Thukul kabur keluar negeri. Juga pemberian berbagai penghargaan atau pembuatan film, justru terkesan seremonial belaka. Tidak menukik langsung ke sararan utama.
 
De facto, penyair cedal itu belum kembali. Kemungkinan besar Thukul sudah dibunuh aparat. Seandainya saja Indonesia punya tradisi bereksil bagi para penulis, seperti di negeri lain, barangkali Thukul sudah lama kabur. Langkah yang mendesak adalah memprotes pihak pemerintah untuk mengusut kembali hilangnya Thukul. Apalagi para pelaku militer dari pemerintahan Orde Baru masih ada. Tanpa langkah konkret, dikhawatirkan kasus ini akan perlahan-lahan ditelan zaman seperti kasus-kasus yang serupa.
***
 
*) Sigit Susanto, penulis buku trilogi Menyusuri Lorong-lorong Dunia. http://sastra-indonesia.com/2020/09/antara-gorki-neruda-dan-thukul/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria