jeudi 11 février 2021

Realitas dan Karya Sastra

Anindita S. Thayf *
Jawa Pos, 7 Feb 2021
 
Ada anggapan bahwa karya sastra harus menggambarkan realitas. Anggapan itu ditambahi pula dengan penekanan bahwa realitas harus digambarkan secara jujur apa adanya. Ini membuat karya sastra, yang termasuk dalam ranah estetika (filsafat keindahan), mendapat tambahan beban tugas etika (filsafat moral), yaitu kejujuran. Alhasil, lahirlah karya-karya sastra yang dimuliakan berkat kejujuran semacam itu. Pemikiran ini dianut oleh para pemuja realisme klasik atau realisme borjuis.
 
Sebenarnya, seperti apakah realisme yang diagung-agungkan itu? Pramoedya Ananta Toer dalam risalah Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia memberikan penjelasan. Baginya, realisme borjuis ’’merupakan pembatasan terhadap pandangan seseorang pada realitas-realitas an sich tanpa membutuhkan kritik.’’ Padahal, menurut Pram, ’’Setiap realitas, setiap fakta, cuma sebagian dari kebenaran, bukan kebenaran itu sendiri.’’ Dengan analisis dialektika Marx, Pram melihat realitas yang tampak sebagai hanya sebuah tampilan dari realitas sesungguhnya yang tidak tampak. Faktanya, realitas yang tampak telah banyak dan sering kali dimanipulasi demi dan oleh berbagai kepentingan, entah itu politik, agama, maupun ekonomi.
 
Realitas dalam Fiksi
 
Adalah Franz Kafka yang menjungkirbalikkan realitas borjuis itu dalam novel Metamorfosis. Pagi hari setelah bangun tidur, Gregor Samsa berubah menjadi kecoak. Sementara itu, dalam novel Proses, setelah bangun tidur, K mendapati dirinya ditahan tanpa mengetahui kesalahannya. Realitas yang ditampilkan Kafka bukanlah realitas yang dihasilkan oleh akal saat menangkap objek, tapi sebuah realitas mimpi sebagaimana disampaikan Erich Fromm. Serupa yang terjadi dalam mimpi, sebuah realitas tidak akan tampil apa adanya, melainkan telah jalin-menjalin dengan realitas lain sehingga menghasilkan sebuah realitas baru yang berbeda dengan realitas yang dilihat manusia saat terjaga.
 
Samsa dan K merupakan satire terhadap realisme borjuis yang mendewa-dewakan realitas apa adanya. Padahal, karya sastra bukanlah produk salin tempel dari apa yang dicerap indra manusia. Seorang pengarang juga bukan kertas karbon atau mesin cetak. Pengarang sama dengan manusia lain yang mempunyai mimpi, harapan, obsesi, dan keinginan, juga membawa kepentingan ideologi dan politiknya sendiri. Ketika dia menumpahkan kerja kreatifnya ke dalam karya, apa yang tertulis itulah dirinya. Kendati dia berkata bahwa apa yang ditulisnya merupakan realitas apa adanya, tetap saja realitas dalam karyanya adalah realitas fiksi hasil imajinasi pengarang itu berdasar ideologi kepengarangannya.
 
Bisa saja seorang pengarang menggambarkan, umpamanya, sebuah adegan pelecehan seksual sedetail-detailnya di dalam novelnya dengan dalih itulah realitas. Bahwa realitas harus ditampilkan secara jujur apa adanya sebagai pengingat masyarakat bahwa kejadian tersebut benar-benar ada. Namun, sebagai penikmat karya sastra, kita bisa pula mempertanyakan sikap si pengarang terhadap penyintas. Dalam kasus ini, di manakah dia berdiri? Apa sesungguhnya yang ingin dia sampaikan melalui penggambaran semacam itu?
 
Baca juga: Tersingkirnya Pengarang Perempuan
 
Kita jangan percaya begitu saja saat mendengar seorang pengarang berkata bahwa dia hanya mengalihwahanakan secuplik realitas ke dalam karyanya. Tidak perlu pula kita mengintip biografinya atau mencari latar belakang mengapa dia menghasilkan karya begitu. Biografi dan kata-kata si pengarang bisa saja sudah dipoles sedemikian rupa demi menggelembungkan dirinya. Terkadang, para penikmat karya sastra merasa segan dengan pengarang yang citranya telah menggelembung berkat sejejer penghargaan yang diraihnya. Akibat keseganan ini, penilaian yang dihasilkan mudah menjadi bias. Cukuplah kita menelisik karya yang dihasilkan si pengarang demi mengetahui siapa sebenarnya dia di balik citranya.
 
Sensor Realitas, Bisakah?
 
Lantas, bagaimana semestinya realitas ditampilkan dalam karya sastra? Bila realitas tidak bisa ditampilkan apa adanya, seperti dalam adegan pelecehan seksual tersebab hal tersebut akan membuat penyintas kian trauma, bagaimana realitas itu harus ditampilkan? Apakah realitas perlu disensor?
 
Jika mau, seorang pengarang bisa menyensor realitas sesuai dengan kepentingan atau ideologi kepengarangannya. Dalam karya-karya berlatar belakang peristiwa 1965 yang ditulis oleh bukan penyintas, sensor itu terasa kuat. Contohnya, novel Pulang karya Leila S. Chudori. Dalam novel yang seolah-olah menggemakan simpati terhadap penyintas peristiwa 1965 ini, semangat propaganda politik antikiri tergemakan dengan lantang. Hal tersebut dapat dilihat lewat penggambaran tokoh kirinya yang dekaden, baik secara moral maupun politik. Secara moral, seorang tokoh utamanya digambarkan sebagai sosok yang gemar berselingkuh dengan pelacur demi merasakan ’’nafsu kaum proletar yang bergelora’’. Sementara itu, secara ideologi, dia diciptakan sebagai seseorang yang tidak berpendirian sehingga mudah terjebak dalam ’’kecelakaan sejarah’’. Hal ini jelas memperlihatkan bagaimana si pengarang telah menyensor realitas agar sesuai dengan kepentingannya.
 
’’Semuanya politis,’’ ucap Gottfried Keller. Karena itu, realitas dalam karya sastra juga bersifat politis. Seorang pengarang akan selalu dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politisnya. Pun menyensor realitas demi kepentingannya sendiri, tanpa perlu diakui atau tidak. Semakin piawai seorang pengarang meramu kata, akan semakin cerdik pula caranya menyembunyikan semua itu. Di hadapan publik, dia bisa saja seorang pengarang misoginis yang dengan santai berceloteh perihal kehumanisan karya-karyanya. Atau, dia juga bisa menyaru sebagai pengarang pembela korban ketidakadilan, yang justru merendahkan mereka lewat narasi dan tokoh fiktif ciptaannya. Di sinilah kehadiran kritik sastra dan penikmat sastra yang kritis sangat diperlukan agar kita tidak gampang terkecoh oleh sebuah karya sastra.
 
*) ANINDITA S. THAYF, Novelis dan esais

https://www.jawapos.com/minggu/halte/07/02/2021/realitas-dan-karya-sastra/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria