mardi 9 mars 2021

PENGHILANGAN KATA DALAM KRITIK SASTRA INDONESIA (I-II)

Jawaban untuk bagian A. Pengantar esainya (makalahnya) Sofyan RH. Zaid
 
Nurel Javissyarqi
 
I
Selamat pagi Sastra Indonesia, KBBI online, Kamus W.J.S. Poerwadarminta, Hari Puisi Indonesia, MASTERA, Dewan Kesenian Riau. Pagi pula yang mengatakan “MMKI Ngawur.” Padahal bungkus plastik bukunya belum dibuka. Sakti kan? Namun bertindak tidak ilmiah. Tak lupa, pagi serta kepada pemateri yang belum memberi/mengirim makalahnya sampai acaranya kelewat jauh. Akhirnya, selamat pagi yang bungkam atas kritik.
 
Tulisan ini menanggapi catatan Sofyan RH Zaid yang disampaikan saat bedah buku di Universitas Indonesia (UI) yang berjudul “Mitos, Revolusi Kritik Sastra, dan Pertanyaan Lainnya.” Kemudian direvisinya atau membuat versi baru yang dikirimkan ke saya melalui whatsapp berlabel “Mengintip Nurel Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia.” Karena belum diperkenankan memposting, lantaran menanti adanya media cetak menerbitkan, maka tidak diunggah. Dan oleh sebab saya sangat hati-hati mengupas karya seseorang, atau tak mau dianggap serba tahu ataupun menggurui, jadi dimulai catatan ini pelahan, sambil menunggu kemunculannya. Dan di bulan lain makalah revisiannya muncul di basabasi.co (5 Juli 2018), selanjutnya saya unggah di Sastra-Indonesia.com (17 Juli 2018). Baca lebih jauh di Catatan Tengah poin ke III.
***
 
Saya ambil tulisan Sofyan versi baru yang katanya sudah finis (final) dibenahi, jadi bukan dari makalah yang dibagikan di kampus UI, meski keduanya hampir sama, hanya mengalami sedikit perampingan. Sebelum berjalan, ingin bercuap-cuap dulu agar mereka muak, barangkali semuak orang belum baca, tetapi bilang analisa saya tidak tepat. Perlu pembaca ketahui, rasa itu pun ada di diri saya berbalutan rindu belajar demi mengetahui hakikat susastra, serupa kecintaan prajurit sudi berkurban harta pun nyawa, bagi kemerdekaan mental tidak membebek semacam London Blangkonan.
 
Acara bedah buku 3 Mei 2018 di Auditorium Gedung 4 FIB UI. Tanggal itu pula, kata panitia KPK Deo Gratias yakni Gengsi Sutjahjo, bahwa Presiden Penyair Malioboro, Umbu Wulang Landu Paranggi menerima Anugerah Budaya 2018 dari FIB UI di Auditorium Gedung IX, ini rasanya kebetulan ganjil, jika tak memakai kata-kata “numpang tenar.” Maklum, saya bukan penulis profesional pun tak penyair terkenal, hanya pencatat di Facebook (fb) yang kebetulan bernasib mujur. Corak lanturan ini mengingatkan lontaran Ibnu Wahyudi kala bahas MMKI, katanya dalam tulisan saya sering merendahkan diri untuk meningkatkan mutu. Boleh plakat apapun ditaruh di pundah ini, sebab sejak lama menempatkan diri penulis amatiran. Apakah kritik saya jelek? Lalu bagaimana perombakan makna “Kun Fayakun” oleh SCB yang mereka diamkan? Apakah takut pada julukan Presiden Penyair Indonesia, wahai kritikus yang bungkam? Saya gunakan langkah panjang ini untuk mengisi luang, mengusir kebosanan sekaligus membuat muntah yang kurang jeli, tak jenak bersikap merendahkan.
***
 
Makalah Sofyan tampak sangat ilmiah, catatan kakinya saja melebihi jumlah paragrafnya. Keren bukan? Pada pembukaan dia mengambil kata-katanya Dami N. Toda : “Kalau ada sastra baik dikritik secara jelek, ataupun sastra jelek dikritik secara baik, maka bagi nilai kritik sastra, keduanya sama-sama jelek mutunya.” Langsung saya teringat Ujaran-Ujaran Hidup Sang Pujangga, nomor 768 dan 769 yang berbunyi: “Penipuan di dalam penelitian sering muncul, sebab ketidakjujuran serta oleh kebodohan pengamatan. Maka kebodohan sama jenisnya dengan ketidakjujuran, hanya saja kerjanya yang berbeda.” [Nurel Javissyarqi, UUHSP, Versi Dua Bahasa pada Cetakan ke IV, Desember 2020, PUstaka puJAngga (PuJa) & Pustaka Ilalang].
 
Di bagian Pengantar, Sofyan terang-terangan menghapus kata “dalam” pada merek buku MMKI dengan ditulisnya “Edisi Revolusi Kritik Sastra,” yang seharusnya “Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra.” Bagi berpribadi penyair, ini kesalahan fatal keliru total, sebab kutipannya tidak sesuai sumbernya. Umpama perombakan berasal dari yang punya tulisan, tentu tak jadi masalah, tapi dari seorang yang hendak mungupas karya. Apakah bentuk yang disodorkan Sofyan sama arti buku saya? Jelas beda. Dan soal penulisan nama keliru Nurel Javiessyarqi, tak jadi perkara, toh bukan seorang ternama atau saya tak akan mencak-mencak, menerima saja takdir buruk kala itu.
***
 
Dalam pengantar, dia memberitakan beberapa keberatan saya (kritik MMKI), namun kandungan makalahnya tidak mengurai bentuk-bentuk pemberatan, atau tiada penyangkalan, kalau memang tak sepaham. Di bawah ini saya turunkan perpindahan istilah Sofyan dari “Edisi Revolusi Kritik Sastra” hingga “Revolusi Kritik Sastra,” padahal saya menulisnya, “Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra.”
 
“Januari 2018, buku setebal 500 halaman terbit dengan judul Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia karya Nurel Javiessyarqi. Sebuah buku yang diklaim oleh penulisnya sebagai “Edisi Revolusi Kritik Sastra” yang berisi “Esai-Esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia”. Buku ini mengkaji tiap paragraf esai “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” karya Ignas Kleden. Pada esai Ignas tersebut -sebagaimana dalam pengantar bukunya- Nurel mengaku menemukan sejumlah kasus mengecewakan yang telah lama diabaikan oleh para kritikus sastra di Indonesia. Seperti isi pidato SCB pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA (2016) yang salah mengartikan “Kun Fayakun”. Kemudian perihal kefatalan kata-kata Taufiq Ismail, kekhilafan Sapardi Djoko Damono, keragu-raguan Maman S. Mahayana, dan keserampangannya Dami N Toda, Umar Junus, Abdul Hadi WM, serta Hari Puisi Indonesia yang terlepas dari sejarah.”
 
“Apakah sebenarnya yang ingin disampaikan Nurel melalui buku ini? Apakah buku ini layak dibaca sebagai kritik sastra? Apakah buku ini hanya akal-akalan atau upaya permejengan Nurel dalam kesusastraan Indonesia mutakhir saja? Mari kita intip dengan sabar buku ini mulai dari judul buku, judul bagian buku, mitos sebagai kata kunci, label “Revolusi Kritik Sastra”, dan posisi buku ini dalam peta kritik sastra di zaman media sosial.” (Sofyan RH. Zaid).
***
 
Akhirnya semakin menggeser merek MMKI tidak hanya ditulis “Edisi Revolusi Kritik Sastra,” tapi langsung meloncat “Revolusi Kritik Sastra.” Cerdas bukan? Demi mencapai cita-citanya? Namun sayang lagi-lagi tidak jujur, atau seminimal menguraikan alasan apa saja perombakan atas tulisan saya pada tulisannya menuju maksudnya. Dia seolah menggelapkan mata demi mencapai nafsunya, berupaya menyudutkan perangai tulisan saya lewat perombakan tanpa sepengetahuan hadirin yang belum membaca, serupa kabar bohong, berita bodong, gosiplah.
***
 
II
Di bawah ini saya ketengahkan kata “dalam.” Paragraf-paragraf ini bagi orang-orang cerdas di atas rata-rata, mungkin dikira tidak fokus, nggeladur, ngelantur, nggeladrah, banyak sampiran. Yang tentu akan sering menyebut kata “dalam” lewat pelbagai macamnya. Dan kekisaran ini mengoplos pengertian kata “dalam” dari KBBI online, Kamus Poerwadarminta, Kamus Pintar Bahasa Indonesia yang saya beli seharga Rp. 2000,- atas penerbit di kota Surabaya. Sebaiknya ditulis dengan huruf besar kata “dalam” bersama perangainya, namun rasanya tak elok dicetak, jadi tetap menggunakan huruf kecil. Di dalam kata “dalam,” bersimpan watak serta perangainya yang kadang menunjuk kata benda, sifat, perangkai atau penghubung, pun pelbagai rupa yang diingini penggurat. Inilah hebatnya kata “dalam,” sanggup meracuni sekaligus menjadi jamu bagi kekayaan berbahasa.
 
Kadang kita dapati kata “kedalaman” dalam suatu kalimat. Saat menemukan, nalar menjangkau ada sesuatu yang nyemplung, lantas memperkirakan, mencari bentuk kemungkinan; menyelam, mengaduk, menggali, menguras di dalamnya. Nyemplung, berarti ada sesuatu yang tenggelam ke dasar, entah batu atau benda padat yang tidak dapat ngambang di atas air; ada yang hilang, yakni benda nyemplung tersebut. Bukan melarut, tetapi tenggelam, bisa sampai dasarnya kali (sungai), telaga, pun dasarnya lautan. Dan benda yang nyemplung itu hilang atau sengaja dihilangkah, ini mendekati hanyut, tepatnya bertenggelam. “Mata uang koin itu sengaja dilempar untuk mencapai (mencari) dasar sungai;” sesuatu yang pernah dikenal, dilihat, diraba, yang dipegang kuat sudah hilang dari jemari tangan. Dan rasa kehilangan itu diberangkatkan oleh kata “kedalaman;” entah takdir, misteri hidup, masa lalu pun kedalaman (keadaan) masa datang. “Cintaku nyemplung di dasar hatimu,” keduanya sama abstrak, “cinta” dan kata “hati,” lalu mencapai pantai pengertian seperti rumus matematika; min kali min adalah plus.
 
Dari kata “kedalaman,” kita bisa perkirakan pun memastikan, misal “Tukang kayu menggergaji batang pohon sampai di kedalaman satu mili, satu senti.” Atau penyair itu tidak juga menemui kedalaman kata, belum mencapai pintu kata-kata, pintu-pintu kata, dan perakit kata itu belum tahu hakikat kata, masihlah dikiranya benda membisu yang diperlakukan lebih buruk daripada patung, lantaran kata-katanya mematung tidak mencapai simbul hidup hingga menyusuri lorong jahiliyah. Perkiraan kata “kedalaman” sangat luas, contoh langkah kakinya memasuki kedalaman lumpur, menyusuri rawa-rawa. Di kedalaman hutan ada berjenis-jenis rupa hewan-gemewan, di kedalaman alam wingit dari penampakannya terlihat alami.
 
Selain memperkirakan kata “kedalaman,” pun mencari bentuk kemungkinan; apakah kayu yang tenggelam lama-lama mengapung? Sedalam apakah tenggelamnya, yang jatuh dari ketinggian sebelum diapungkan keadaan dirinya? Di sini menyelami, agar tahu persis kedalaman sebatang kayu tenggelam sebelum terapung. Atau biji jagung gabuk (tak bisa ditaman) dapat dipastikan mengapung, berbeda dengan bebijiannya yang tenggelam di kedalaman air dapat ditanam di ladang. Bagaimana penyair mengetahui kedalaman kata, kalau tidak mempraktekkan, paham hakikat kehidupan sebelum ditebar dalam sajak-sajaknya? Bagaimana pendidik serta anak didiknya memahami kata-kata, tanpa bergulat maknawi dari kehidupan nyata atas kata?
***
 
Seyogyanya bersikap terbuka tidak menghilangkan kata “dalam” pada tulisan “Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra.” Jika ada unsur kesengajaan menutupi kata “dalam” jadi “Edisi Revolusi Kritik Sastra,” sepatutnya memberi alasan jelas tegas, kenapa dilakukan, apakah tidak efektif efisien atau lantaran tidak ada kata “di” di depan kata “dalam.” Dan bentuk-bentuk keberatan diketengahkan lebih terang sampai bertemu tujuan, tidak tiba-tiba merombak bentukan asli sejenis sulapan, atau pengelabuhan untuk menipu yang lain, sebab belum tahu sebelumnya.
 
Sekiranya tak suka memunculnya kata “dalam,” seharusnya mengeduk lebih dalam hingga rasa tidak berkenannya tuntas digumuli sampai mendapati alasan terbaik dikala menghilangkan kata “dalam,” sampai penggaliannya dimengerti keluasannya, dan diterima pembaca secara seksama. Bagaimana kritik disebut baik pun benar, jika dari awal sudah bertindak serampangan, kalau tak boleh dibilang sombong? Andai boleh bersaran, kuraslah maknawi kata “dalam” pada kata-kata “Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra” atas kemungkinan apa yang terkandung di kedalamannya. Umpama dibalik “Kritik Sastra (di) dalam Edisi Revolusi,” dan rupa lain lewat perangkat bajik, tidak membuang sesuatu yang tidak diharapkan.
 
(Di) dalam(-nya) lautan atau di kedalaman laut, (di) dalam kegelapan malam. Kata sambung “antara” masih gelap, perlu rabaan, butuh perasaan, ada hati; “tahi kucing rasa coklat,” kata Gombloh. Betapa kata “dalam,” di dalam bahasa Indonesia bisa dipakai sesuai naik-turunnya gelombang pranata bahasa yang dikehendaki. Ada yang lebih dalam pada kata “dalam,” yang bersimpan kata-kata. Misalkan mungkin, barangkali, atau semacam jangkauan, takaran, ketika menerbitkan kata “dalam.” Dalam samudra, ada pelbagai macam ikan serta makhluk-makhluk mitologi mendiami isi kepala para pelaut, “mungkin” kedalamannya lebihi ketinggian gunung tertinggi. “Barangkali” takkan habis dihisap seluruh kekayaan adanya di dasar samudra, atau pelbagai limbah apa saja centang perenang timbul tenggelam antara permukaan lautan itu mengganggu para nelayan di dalam menangkap ikan.
 
Kata “dalam” pun mewakili kata “antara,” yakni antara permukaan serta dasar lautan, kali, sungai. Dan alam “antara” tersebut belum jauh kedalamannya atau masih jelas, tetapi betapa keterangan yang bertumpuk-tumpuk kala tak jenak menyusurinya dengan penerangan cahaya, akan semakin gelap atau tak mampu melihat kedalam air bening laut di dasarnya berseliwetan ikan-ikan pun terumbu karang. Bagaimana dia berusaha mengkritisi dalam menghilangkan kata “dalam” secara sengaja, sebelum dirinya meraba, berperasaan di alam penalarannya, tatkala kata-kata sebagai perwakilan daripada hati atau ketika cinta begitu mendalam, tahi kucing rasa coklat.
 
Lalu di dalam gelap malam, bayang-bayang seolah menyatu dengan tanah, ada rupa pengaburan antara bintang-gemintang bersama kunang-kunang di hamparan malam. Ketika jarak pandangan tertentu diambil sebagai bentuk pengertian meski sesaat, lantas semua membisu dalam gelapnya. Malam yang dingin atau perasaan bertumpuk lipatan daripada malam-malam sebelumnya, kian memberi keterangan jelas. Kala siang-malam ruang ditelitinya melebihi kembang sedap malam, dan di dalam bunga sedap malam menghadirkan isyarat yang berdecak kagum. Betapa dalamnya bunga menyimpan bau sedapnya di antara ingatan terhadap bau-bau kembang lain yang dikenal, dikenangnya dalam perbendaharaan alam rasa.
 
Dalam celana, dalam gedung; ada ruangan yang dikenal juga tidak, asing, gelap, bersimpan misteri, belum terkuak. Di kedalaman celana yang paling dalam, dia memakai celana berkali-kali, bertumpuk-tumpuk, bersap-sap. Aduh, kenapa dia mengenakan celana rangkap? Dalam gedung berwarna putih, ada seorang teroris bersembunyi, atau teroris tersebut dalam gedung bertingkat, entah kini berada di tingkatan keberapa, sebab eskalator serta semua yang dialiri jaringan listrik sudah dimatikan. Gedung yang dikenal, sempat terlihat di dalam layar televisi, dan saya belum memasuki langsung. Bisa saja dekorasi dalam gedung tiap tahun berubah, lalu siapa sudi memperkirakan dalam gedung itu ada siapa saja. Dan saya tak pernah melihat buku tamu ketika memasuki gedung itu. Lantas, apakah orang-orang mengunjungi Tunjungan Plaza, harus membubuhkan tanda tangannya?
 
Tembok bangunan berbentuk gedung memunculkan kata “dalam,” yang dalam penggarapannya menghabiskan bermilyar-milyar dolar. Dalam pada itu, berapa miliyar yang dikorup pemborong? Koruptor kelas kakap tidak lama tinggal dalam penjara, dalam teralibesi berfasilitas mewah, dan jelas mendapati jamuan enak melebih para pencuri ayam. Seorang koruptor dalam kematiannya, tidak ada yang menangisi. Ini beda dengan koruptor kata, yang mengganti “kata kerja” dirombak menjelma “kata benda,” atau dalam bentuk lain setingkahnya.
 
Saya tidak tahu persis kedalaman isi kepala saudara mengenai saya, terutama saat mengikuti irama dalam tarian kata-kata, tepatnya dalam laguan tulisan ini, apakah muak muntah berkali-kali. Ataukah sebelum ini semua, lembar-lembarnya sudah menjelma abu lantaran dibakar atas kemarahan besar, dalam amarah muntab tidak tertahan. Ataukah selangkah ini, para pengutip-tidak-langsung di hari kemudian sudi berhati-hati sebelum menjatuhkan pilihan memulai jinjit. Yang jelas saya tidak mengetahui dalamnya gedung itu, kecuali memasukinya dengan rekaman kuat terhadap segala sudut serta rupa-rupa penataannya. Pun akan berbeda kala mendiami alam cerita; ada yang bergeser, letaknya berubah. Atau bagaimana sang pencerita mengisahkan detail apa saja isi keseluruhan dalam gedung bertingkat?
 
Dia berada di dalamnya, sesuatu yang sudah ada tapi perlu perkenalan ulang. Siapakah dia dan di kedalaman berapa? Ini menerangkan keadaan kedalaman, kondisi seorang yang telah dikenalnya pada suatu kata “dalam,” atau perlu menyaksikan langsung malam berbintang serta sapuan tipis awan melayang. Jarak itu menerangkan betapa dekatnya pesawat terbang melintasi jalur jadwal penerbangannya, lalu cahaya kunang-kunang tidak tampak barangkali disergap wajah rembulan. Ataukah rakitan kata-kata kabarkan gemintang serta kunang-kunang hanya kekenesan? Ataukah sebelum itu sudah menyaksikan? Bagaimana yang tidak pernah melihatnya? Bagaimana logika tengah malam dibangun keremangan malam dalam gelapnya wengi, dan warna hitam di dalam panggung kesadaran menempati alamnya tersendiri?
 
Dia berada di luarnya, yang menerangkan berita tidak terpengaruh keadaan, dia yang lain sebatas memberi kabar, dan tak miliki maksud selain menunjukkan potret yang direkam. Luar dan dalam menuntun cerita keadaan yang diterangkan pada yang lain, menyusup sekuat logika penceritaan. Apakah runut, namun tidak sesuai keadaan sebenarnya, ataukah tidak runtut, tetapi berkata apa adanya. Ataukah dia sudah sanggup mengetengahkan peristiwa yang dilihatnya menjelma kisah yang sanggup meyakinkan pembaca.
***
 
Dalam negeri, dalam wilayah, dalam kekuasaan, dalam birahi, dalam perut, dalam kepala; ada sesuatu yang tertutup (ditutupi), tapi adanya keinginan dibuka melalui perasaan, lewat nalar dan dengan tindakan. Di dalam kata “dalam” tersebut bersimpan antaran, sambungan, perangkai yang menerangkan keadaan “kata” setelahnya, seolah pada kata “dalam” menyinarkan sekian jumlah cahaya netral. Dalam Negeri Indonesia, Dalam Wilayah Majapahit, Dalam Kekuasaan Fir’aun, Edisi Revolusi dalam Kritik Sosial, Edisi Demokrasi dalam Kritik Sosial, dan lainnya yang di dalamnya menerangkan ikatan judul, mengembangkan perangai titel memiliki logika antaran. Saya tidak berjalan kaki dari Lamongan ke Jakarta, tapi menaiki kereta api “dalam” gerbong kelas ekonomi.
***
 
Dalam birahi, sepasang kekasih tengah berpadu mesra dilanda asmara, diringkus kerinduan menyayat sebelum berjumpa. Dalam perut ada organ-organ vital, dalam isi kepala, di dalam batok kepala ada pelbagai strategi melangkah, merangkai lewat runutan keadaan yang tidak dicari-cari dari luaran dirinya, tetapi mengeruk bebahan sekeliling, langkah sehari-hari yang dirawatnya dalam keheningan pencari, menelusuri jejak tersebunyi, sang pelaku jalan dalam diam. Atau keberadaan diatas peristiwa dalam putaran isi kepalanya tiada sanggup menebak kemana atau tengah di mana? Dia yang menutupi kedalaman peristiwa di dalam kepalanya itu batok kepala, kulit, rambut, topi, atau tindak tanduknya berjalan kemana, tidak menerangkan jalur yang ada di kepalanya? Namun dirinya menggembol limpahan perasaan, menggendong nalar dengan tindakan, dengan bermodal kata “dalam” yang punya karakter terang sekaligus sanggup menerangkan hal-hal sebelum-sesudahnya?
 
Betapa terang cahaya dilesatkan kata “dalam,” hingga menggiring pengertian, perjelas kata setelahnya. Dalam matamu, dalam pikirmu, dalam rupamu, dalam lakumu, dalam tingkahku, dalam keindahan. Kata “dalam” atau “di dalam,” bersimpan banyak pertanyaan pun pernyataan, yang jawabannya terdapat di dalam kata sebelum juga setelahnya. Sepertinya penyair kita sudah jauh dari periode kreativitas kental, terlihat betapa entengnya melupa, menghilangkah kata yang sangat mendalam maknanya dari kata “dalam.” Dan penghapusan jejak-jejaknya berkehendak meringkas, meringkus, memadatkan pengertian di sisi kanan-kirinya, padahal yang dikerjakan membuang kemungkinan berlimpah pada kata “dalam,” atau usaha menyederhanakan perkara, tapi berakibat fatal membuang taksikan yang bisa diberikan lebih, atau malah balik menyempit jangkauan karenanya.
 
Barangkali dikira maknanya sama, lantas tiba-tiba abai seperti kebiasaan generasi belakangan yang cenderung mengencerkan temuan awal; penghilangan, penutupan, pengelabuhan sedari peristiwa semula menjadi hal lumrah seolah tidak perlu dijawab, semisal berharap praktis tapi yang terjadi keadaannya njomplang. Dalam matamu, dalam mata hatimu, ini betapa purna kata “dalam,” ketika ditempatkan di depan seolah jenderal perang tengah mengabarkan jumlah bala tentarannya, sang raja menerangkan kemakmuran rakyatnya. Dalam logika saudara, dalam baris hitungan matematis, dalam taksiran akal, dalam penalaran mendalam. Di dalam kaca matamu, di dalam rupamu, yakni di dalam kata “dalam” menerangkan jumlah meluas, pun menghidangkan taksiran sebatas kata yang ditepeli kata “dalam,” atau kabarnya mengikuti hukum penjumlahan sebelum juga setelahnya.
 
Dalam lakumu, dalam tindakanmu, dalam tingkahmu, dalam perbuatanmu, dalam tindak-tandukmu. Dalam kata “dalam” menyiarkan kabar yang diberitakan kata setelahnya, apakah bentukan kerja, tempelan sifat, keterangan, dan pelbagainya. Dalam buah jambu terdapat ulat, dalam berlari, dalam pelarian. Dan dalam kata “dalam” bersimpan kata “lewat, melalui.” Maka apakah yang tengah terjadi sedang dikeruknya, lagi diseberangi dalam kata-kata “Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra.” Apakah hanya tempelan sekadar pemanis? Bagaimana akibatnya, jika kata “dalam” pada kata-kata itu dihilangkan seenaknya? Apakah tak mempengaruhi kajian yang ada di dalamnya? (Di) dalam keindahan, dalam keburukan; sungguh luas kata “dalam” menempati susunan kata-kata, dan pengabaian seolah membuang seribu kemungkinan musim yang terjadi dalam kata “dalam” yang sebelumnya menempati, mendiami dalam kata “dalam.”
 
Apakah Sofyan sudah cukup profesional, betapa ilmiah dengan membuang kata “dalam” pada nada-nada kalimat “Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra. Apakah yang saya lakukan bertele-tele, berbelit-belit sewaktu menyodorkan pelbagai rupa kata “dalam.” Apakah ini hanya manfaatkan sisi-sisi pengangguran? Ataukah di balik itu demi tetap tegaknya kebenaran, luasnya cakrawala pemikiran, ataukah kekenesan? Dalam pencapaian kekuatan bahasa di bidang sastra, kata-kata yang mulanya sebagian bersifat netral seperti kata “dalam,” mampu dinaik-turunkan derajatnya, kodrat-iradatnya sejauh daya-dinaya penulisnya, apakah sudah melampaui tataran kedewasaan, atau baru perkenalan? Bagaimana pengertian kata “dalam” di balik kepahaman pembaca? Dan tetingkatan berlaku bagi nafasan nalar demi mendapati pencerahan, tidak membuang semangat ijtihad, sehingga luaslah jangkauan penerimaan.
 
Dalamkah yang tengah tertelusuri dalam kata “dalam?” Atau malah mencairkan padatan kerja yang dilakukan Sofyan? Luarnya dan dalamnya kata “dalam” yang saya hadapi, memperjelas pentingnya kata “dalam” di dalam praktek mendalami “kata” memiliki maksud. Apakah hendak mengacaukan nalar pembaca? Atau memberi peluang pada penyimak, hingga menjangkau ruang maksimal untuk menerka kejadian yang ditatapnya? Bagaimana, jikalau tujuan kata “dalam” itu menyimpan penelitian sepadan, tidak sekadar mengupas kasus Sutardji lewat Ignas?
 
Kenapa pembaca yang sudah khatam MMKI menghindari persoalan itu? Apakah dalam batok kepalanya tak dihantu pekerjaan belum tuntas dirampungkannya? Bagaimana bisa serampangan mengupasnya, sebelum baca buku sebelumnya (MTJK SCB), atau jauh belum jenak baca karya-karya saya, lantas abai menghilangkan kata “dalam” di sana? Seyogyanya mendalami pelbagai kedalamannya kata tertuang, tidak lantas ditinggalkan. Di dalam waktu pembacaan, sepantasnya tidak menyepelehkan saat pergantian hari-hari dilewati antara menulis-merevisi, dan sepatutnya menikmati laguan dirasai menuju pencerahan hebat mencapai makna. Atau di dalam kenikmatan membaca, membuka bola-bola mata lebar, sehingga tidak muncul menjadi tindakan kebohongan meski tidak disengaja ataupun setengahnya.
 
Dalam pada itu, membuka kemungkinan pernah terjadi pun yang hendak menjadi. Dalam kata “dalam,” misal dalam bak mandi, menampilkan ukuran yang ditetapkan kondisi imajinasi sesaat, sewaktu kalimat meluncur menghampiri keadaan yang berdampingan masa terdekat. Bak mandi bayi, karena memunyai anak kecil, bak mandi di rumah, sebab menulisnya sedang berada dalam kediamannya. Dalam impian, dalam cita-cita, dalam hal ini mencakup kebutuhan, keinginan biasa (lumrah) hingga keluar dari keumuman, yang oleh kata “dalam,” ada yang diikhtiarkan menembus malam sunyi menyibak keramaian siang dalam kesendirian pencarian, menelusuri jejak tanda-tanda alam yang disentuhnya ibarat sapaan ditanggapi ketulusan, dan ketika masuk menemukan kedalaman cinta, kedalaman (kehadiran) benci. Pada situasi tertentu, kata “dalam” seolah tak perlu disebutkan, karena kata selanjutnya sudah ke dalam, misalkan kata “kerinduan.” Saat dimunculkan setelah dan sebelumnya akan hadir menegaskan. Jadi kata “dalam” sanggap menerangkan keadaan dirinya yang teramat dalam.
 
Dalam lukisan, dalam pameran, dalam gelas, dalam batu, dalam debu. Dalam lukisan, bercerita yang ditampilkan gambar dalam lukisan, isi muatan nilai terkandang di dalamnya. Ini belumlah menerangkan kekhususan aliran, baru batasan umum lukisan bagi hiasan ruangan, karya seorang pelukis. Ketika ditambahkan satuan kata, semisal “dalam lukisan abstrak,” maka nalar pendengar merambahi referensi lukisan abstrak, dan corak yang ditampilkan kata “dalam” memberi taksiran lebih, berbeda ketika hanya menuliskan kata “lukisan abstrak.” Coba kita masuk “dalam (ruang) pameran”; kata dalam tanda kurung bisa diganti kata lain semisal “ajang, suatu.” Maka dalam kata “dalam” sanggup menerangkan keadaan, bisa mengganti kata lain yang tak dimunculkan, dan tetap dapat ditangkap.
 
Dalam batu di dalam debu, bersimpan takaran udara, air, dan si perangkai kata bisa menyusupi kata-kata itu dalam susunan kalimatnya dengan keindahan, kelembutan. Saya kian terperangah heran, ada ya yang menghilangkan kata “dalam,” atas kata-kata yang akan ditelitinya, lebih jauh berkehendak mengkritisi. Tidakkah itu tindakan nekat tanpa persiapan, dan langkah gegabahnya mendekati jiwa putus asa, oleh tiada kesanggupan mengudar kata “dalam” yang sengaja ditutupi.
***

http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-i-ii/

https://pustakapujangga.com/2018/05/kpk-deo-gratias-bedah-buku-mmki-di-fib-universitas-indonesia/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria