vendredi 5 mars 2021

Kekuasaan: Adab Pesisir dalam Kuasa Pedalaman

Munawir Aziz *
Kompas, 31 Juli 2010
 
DALAM sejarahnya, relasi intelektual dengan kekuasaan sering kali memberi kabar getir. Masa depan intelektual Indonesia–sebagaimana masa lalunya—belum bisa luput dari kekangan kuasa. Kisah-kisah intelektual sebagai penghamba kuasa melebihi apa yang disebut Gramsci sebagai intelektual organik. Kaum intelektual asketis sering terpojok ketika rombongan intelektual selebriti hadir dalam genggaman citra dan godaan kuasa.
 
Mental yang terbangun dalam situasi kaum intelektual Indonesia semacam itu memberi kita fakta bahwa warisan sejarah kolonialisme dan kuasa kerajaan pedalaman masih menancap kuat hingga hari ini.
 
Dalam sebuah studinya, Yudi Latif (2005) pernah coba melacak historiografi intelektual Indonesia untuk membuka fakta bagaimana kerangka pikir dan produk kreatif kaum intelektual. Ia menemukan bagaimana perselingkuhan antara kolonialisme, kuasa, dan kaum intelektual menjadi landasan bagi produk-produk pemikiran abad ke-20.
 
Dengan kata lain, mental inlander ternyata masih kuat menyelesap di kalbu kaum intelektual Indonesia. Kultur kolonial berhasil membentuk sikap pasrah dan tunduk para intelektual kepada semua titah kuasa. Ruang kuasa disulap sebagai ruang gemerlap yang saling diperebutkan. Sebuah ”arus balik” dari mentalitas elite kita jika dibandingkan, katakanlah, dengan masa Kerajaan Majapahit (pra-kolonialisme Eropa) yang dipenuhi ketangguhan, kemandirian, dan geniusitas yang orisinal.
 
Semua ”kebesaran” Majapahit itu luntur, bahkan lenyap ketika kekuasaan berpaling ke daerah pedalaman.
 
Kuasa pedalaman
 
Kekuasaan pedalaman ditengarai monumen awalnya pada riwayat tampil dan berdirinya kekuasaan Jawa di tangan Jaka Tingkir. Dari jejak kuasa Jaka Tingkir, Kerajaan Mataram jilid dua berjaya hingga kini di beberapa hal tertentu. Para pengamat kerap merujuk masa Mataram untuk menganalisis situasi mutakhir politik Indonesia.
 
Bangkitnya kekuasaan Jaka Tingkir (cq pemerintahan Mataram) juga mengungkapkan kemunduran kuasa dan adab pesisiran di Pulau Jawa. Sebuah adab kuasa yang dibangun kerajaan-kerajaan purba di Nusantara hingga dimahkotai oleh Majapahit bersama Gadjah Mada dan terakhir dalam kegemilangan Kerajaan Demak—bukti terakhir saat adab maritim masih menjadi pilar utama kekuatan manusia Indonesia.
 
Jaka Tingkir membangun Pajang dengan kekerasan setelah Demak mundur. Pusat kerajaan digeser lebih ke dalam, ke daerah pegunungan. Sebuah arus balik terjadi: adab maritim menjadi adab pedalaman yang menciptakan konsekuensi pada kehidupan intelektual dan kebudayaan pada umumnya.
 
Nancy K Florida (2003) mengamati Jaka Tingkir memang berjasa membentuk Kerajaan Pajang lewat bangunan kekuasaan yang mapan di pedalaman. Masa itu Gadjah Mada membangun Majapahit dengan imajinasi pesisiran, dengan mental petarung-pelaut yang gigih menyatukan Nusantara.
 
Pesisiran: imaji Nusantara
 
Ruang teritorial Nusantara dalam kuasa Majapahit disatukan dengan imajinasi maritim dan mental pesisiran. Jawadwipa, seperti dijelaskan sejarawan Perancis, Denys Lombard, dalam kitabnya, Nusa Jawa: Silang Budaya, dilukiskan sebagai titik penting—menghubungkan berbagai arus silang kuasa dan budaya. Jawa menjadi ruang persilangan, percampuran, dan hibridasi segala bentuk ekspresi dan produk kultural, ekonomi, politik, dan agama.
 
Jawa pada masa itu mampu menjadi tonggak dan pusat dalam imajinasi adab dan kultural bangsa-bangsa di Nusantara. Jawa dan pulau lain menjadi kesatuan dalam imajinasi Nusantara. Jejak peradaban Jawa yang panjang dan heroik ini sebenarnya yang menjadi salah satu kunci tentang realitas dan eksistensi manusia Indonesia.
 
Lombard tetap menempatkan ”pesisiran” sebagai bagian utama tipografi Pulau Jawa, selain Sunda dan Jawa. Analisisnya berdasarkan pada kajian historiografis, sosiologis, dan antropologis menunjukkan, mental pesisiran manusia Indonesia menghadirkan sikap petarung yang kreatif, bloko suto (terbuka), egaliter, dan akomodatif pada kemajuan.
 
Sementara kultur kuasa di pedalaman cenderung menghadirkan sikap priayi yang feodal, menutup diri, dan takut kehilangan kuasa. Kekuasaan menjadi perebutan dan identitas yang justru memperlemah mental intelektual atau pejuangnya. Goenawan Mohamad (2003) menegaskan, penguasa Jawa cenderung mengejar ”takhta”, tetapi lupa memformulasi ”tata”.
 
Adab ”takhta” inilah yang kini menindih adab pesisir. Kuasa pedalaman menjadi warisan utama intelektual Indonesia yang terus sibuk dengan godaan kuasa dan gaya selebratikal.
 
Bisa jadi, pada hal terakhir itulah jalan terbaik kita temukan untuk keluar dari persoalan-persoalan hebat belakangan ini. Untuk merintis masa depan kita yang berjaya. Kita yang sebenarnya.
***
 
*) Munawir Aziz, Penulis dan Peneliti Independen, Bermukim di Pati, Jawa Tengah.
http://sastra-indonesia.com/2012/05/kekuasaan-adab-pesisir-dalam-kuasa-pedalaman/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria