lundi 26 avril 2021

Ganyang-mengganyang

A.S. Laksana *
jawapos.com
 
When you got nothing, you got nothing to lose.- Bob Dylan
 
MUNGKIN kita diam-diam memiliki bayangan yang bersifat kuliner tentang Malaysia; mungkin negeri jiran itu tampak di mata kita sebagai seekor kambing muda –atau cempe menurut lidah orang Jawa– sehingga setiap kali kita terganggu oleh tabiatnya kita buru-buru ingin mengganyangnya. Niat pertama untuk mengganyang si cempe muncul tahun 1963 dan disuarakan sendiri oleh Presiden Soekarno dalam cara yang, tentu saja, sangat menggelora.
 
Demokrasi Terpimpin sudah berjalan empat tahun saat itu dan perekonomian kita remuk diguncang ”setan inflasi” yang melambungkan harga-harga ke tingkat yang sulit dijangkau. Namun Si Bung pantang kelihatan loyo. Ia mengumumkan Deklarasi Ekonomi (Dekon) pada bulan Maret, dan bulan berikutnya melakukan pemancangan tiang yang menandai pembangunan Toko Serba Ada (Toserba) Sarinah, gedung tinggi pertama di Jakarta yang menjulang ke langit setinggi 14 lantai.
 
Ada kritik bermunculan seperti hama, tetapi Si Bung punya tangkisan. ”Janganlah ada satu orang manusia mengira bahwa department store adalah satu proyek luxe, tidak!” katanya mantap. ”Menurut anggapan saya, department store adalah satu alat distribusi untuk mendistri?busikan barang-barang keperluan hidup kepada rakyat jelata.”
 
Pernyataan itu mungkin sulit dibenarkan dalam pengalaman kita hari ini, tetapi saat itu Pemimpin Besar Revolusi memerlukan Sarinah dengan alasan apa pun. Ia memerlukan sesuatu yang menjulang dan memancarkan cahaya gemerlap di tengah masa suram yang menggiriskan. Selanjutnya, Mei 1963, setelah pembicaraan dengan IMF dan pemerintah Amerika Serikat, ia mengumumkan paket reformasi ekonomi, yang nantinya tak bisa dijalankan karena ia bersikeras menolak pembentukan negara Malaysia.
 
Menurutnya, negara baru ini hanyalah proyek akal bulus neokolonial Inggris, jadi sudah sepantasnya kita ganyang saja. Tak usah takut pa?da Inggris, jangan gentar pada Amerika. Inggris kita linggis, Amerika kita seterika. Lalu dilancarkanlah operasi ke Sabah dan Serawak. Juga ada pertemuan pribadi di Tokyo antara Bung Karno dan Tunku Abdul Rahman, perdana menteri Malaysia. Dan, bagaimanapun, setelah pertemuan itu Si Bung tidak mengendurkan semangat konfrontasinya dengan Malaysia.
 
Ia tetap ingin mengganyang Malaysia. Hanya saja perekonomian kita agaknya tak sanggup menopang operasi tersebut dan justru semakin kocar-kacir sampai mencapai tingkatan nyaris karam dengan inflasi 650 persen. Dalam kondisi terburuknya, tahun 1965, nilai rupiah bahkan sempat jatuh mengenaskan di mana 1 dolar AS melambung setara dengan Rp 30 ribu. Puncak dari seluruh kepahitan itu, Anda tahu, adalah meletusnya Gerakan 30 September (atau Bung Karno menyebutnya Gerakan 1 Oktober), dan seluruh rangkaian bencana tahun itu ditutup dengan kebijakan sanering (pemotongan nilai mata uang) pada bulan Desember –seribu rupiah dipenggal nilainya menjadi hanya satu rupiah.
 
Bung Karno jatuh setelah itu dan Malaysia segar bugar sampai hari ini dan rata-rata warganya hidup lebih makmur ketimbang rata-rata kita. Tak ada masalah. Tapi kita beberapa kali mendengar kabar penyiksaan pembantu dari Indonesia oleh majikan-majikan Malaysia. Yah, sedikit banyak ada masalah di situ, itu tak beradab. Lalu kita mendengar kabar mereka mengangkangi Pulau Ambalat, belakangan juga Pulau Jemur. Aih, memang tak banyak orang Indonesia yang tahu di mana kedua pulau itu, tetapi bisa dibilang tindakan Malaysia itu keterlaluan. Lalu kita dengar mereka mengklaim lagu Rasa Sayange. Alamaaak, itu ngawur. Lalu mereka menyerobot reog Ponorogo. Apa boleh buat, itu gila. Lalu mereka mencatut Tari Pendet. Oke, ”Ganyang Malaysia!”
 
Hasrat mengganyang jiran kali ini jelas berbeda dari versi 1960-an; ia tidak terlontar dari mulut pemimpin negara, tetapi dari kegeraman orang-orang yang sudah tak tahan pada dua hal. Pertama, tak tahan pada perilaku tetangga sebelah. Kedua, tak tahan menunggu apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Saya tidak tahu apakah kemelut rumah tangga Manohara dengan bangsawan Malaysia ikut menyumbang perasaan tak tahan mereka. Saya juga tidak tahu apakah keadaan ekonomi kita hari ini turut mempernyaring seruan pengganyangan.
 
Saya tidak ingin serampangan mempersamakan kondisi perekonomian waktu itu dengan kondisi sekarang. Jelas bahwa sekarang Anda tidak harus menyaksikan orang-orang mengantre sembako setiap hari. Sekarang paling hanya sesekali kita melihat pemandangan yang mirip-mirip itu; orang-orang berebut uang sedekah Rp 20 ribu dan beberapa tewas terinjak-injak; orang-orang berebut bantuan sembako dan beberapa mati dalam antrean yang sesak; orang-orang tak berdaya ketika anak-anak mereka disandera oleh pihak rumah sakit karena tak sanggup membayar biaya perawatan, dan sebagainya.
 
Pada orang-orang yang sudah terdesak seperti itu, yang tak bisa lagi maju atau mundur ke mana pun, Anda tak boleh main senggol sembarangan. ”Sebahaya-bahayanya makhluk hidup adalah mereka yang tak punya apa-apa lagi… mereka sungguh tak tertandingi,” kata James Baldwin, penulis dan aktivis hak asasi kulit hitam Amerika, dalam bukunya Nobody Knows My Name (1961).
 
Orang-orang yang tak tertandingi itu rela mati demi berebut sedekah dan bantuan sembako; saya kira mereka dengan riang akan menyediakan diri sebagai relawan untuk mengganyang Malaysia atau apa saja yang boleh diganyang. Ini pernyataan yang sungguh-sungguh. Anda tahu, aksi-aksi heroik seringkali merupakan hiburan yang dinanti-nantikan oleh orang-orang yang nyaris putus asa. Amerika memerlukan sosok Rambo, yang terampil membabat Vietkong seorang diri, ketika pada kenyataannya mereka compang-camping dalam perang Vietnam. Amerika memerlukan Saddam Hussein yang harus ditumpas dengan dalih apa pun agar ada alasan untuk menegakkan kepala. Dan Bung Karno memerlukan Malaysia untuk diganyang.
 
Hari ini, 46 tahun kemudian, kita mendengar lagi seruan yang sama. Saya betul-betul terpesona beberapa hari lalu di depan pesawat televisi saat menyaksikan kesungguhan para anggota Relawan Ganyang Malaysia menggembleng diri mereka dalam latihan olah kanuragan di sekretariat mereka. Mereka memainkan jurus bambu runcing, senjata ampuh warisan nenek moyang, yang mereka hias dengan bendera merah putih kecil. Harap jangan memperbandingkan latihan mereka dengan sandiwara tujuh-belasan, yang saya saksikan ini jauh lebih patriotik.
 
Mereka juga menunjukkan kekuatan batok kepala dan kekebalan tubuh; mereka mengunyah beling dan kaca seolah-olah menikmati keripik singkong. Jika mereka betul-betul diberangkatkan ke Malaysia, saya bayangkan mereka pastilah akan membikin keder semua orang di sana. Dengan otot kawat, tulang besi, dan usus pipa ledeng, mereka niscaya akan mampu mengobrak-abrik seluruh gedung di sana dan memecahkan kaca gedung-gedung itu dan memakan habis belingnya. Saya yakin negeri jiran itu akan bangkrut seketika oleh aksi para relawan kita dan selanjutnya mereka pasti jera main serobot seenaknya.
***

*) A.S. LAKSANA, cerpenis, aslaksana@yahoo.com http://sastra-indonesia.com/2009/09/ganyang-mengganyang/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria