lundi 26 avril 2021

Menguak Tabir Politik Sastra

Agus Himawan *
kompas-cetak
 
TS Eliot dalam Tradition and Individual Talent (The Sacret Wood, London: Methuen& Co, 1960) berseru, “Kritik yang jujur dan apresiatif diarahkan bukan kepada penyair, tetapi pada sajaknya. Jika kita memerhatikan omongan kacau para kritikus di koran serta desir ulangan populer yang menyusulnya, kita akan mendengar banyak nama penyair. Sedangkan jika kita mencari kenikmatan karya, kita akan jarang mendapatkannya.”
 
Jika kita lebih cermat memerhatikan perkembangan sastra lima tahun terakhir ini, bisa jadi seruan Eliot tersebut sampai kinilah yang terasa dalam sastra kita. Perkembangan kritik sastra jadi tak sebanding dengan banyaknya buku sastra yang diterbitkan.
 
Selain itu, tulisan esai kritik yang ada di media massa, pun makalah diskusi, sebagian besar kebanyakan hanya “mencatut” pelbagai ide besar ke dalam teks sastra sehingga bukannya jouissance kenikmatan tekstual yang muncul dari sebuah karya yang dibahas, melainkan sorotan “puja-puji” dalam bingkai “intelektual” yang dapat dikomoditaskan pihak tertentu (baca: penerbit) sebagai “penglaris”.
 
Akibatnya, kita sulit mencari kritik independen terlepas dari intervensi penerbit sebagai bagian dari jaringan sebuah media massa yang besar. Pun ketokohan pengarang selain banyak nama pengarang dan karya yang baik cenderung terluputkan karena perhatian umumnya kritikus dan media massa terpukau pada sosok biografi pengarang, bukan pada analisis karya yang dapat menunjukkan kenikmatan tekstual.
 
F Rahardi dalam Kompas, 23 April 2000, mengharapkan setelah meninggalnya “Paus Sastra” HB Jassin kondisi sastra dapat lebih sehat dengan tiada lagi figur tunggal yang dimitoskan sehingga membuat sastrawan tumbuh sendiri secara alami untuk mendapatkan pengakuan.
 
Sialnya harapannya tak begitu banyak dimanfaatkan pemawas sastra kita sehingga kritik sastra terkini selain tak bernyali, juga mudah dimanfaatkan sebagai “senandung pujian” (baca: “blurb” yang dicantumkan di sampul belakang buku atau esai untuk “kata pengantar”) dalam industri penerbitan buku. Tudingan lebih gawat krisis kritik sastra terjadi karena “politik sastra”, satu hal yang umumnya enggan diakui pemawas sastra kita.
 
Buku ini ditulis oleh Katrin Bandel, penulis kelahiran Wuppertal, Jerman, yang meraih gelar doktor dalam sastra Indonesia pada 2004 di Universitas Hamburg. Kehadiran buku ini tentunya menarik walau dapat pula menimbulkan sedikit rasa kecewa lantaran otokritik sastra yang bersih malah dihasilkan peneliti bukan dari Indonesia.
 
Pertanyaan mengusik, sebegitu gawatkah krisis kritik sastra kita yang independen sehingga setelah membaca buku ini telah memberi bukti beberapa pemawas sastra kita terjerembab arus sensasi media massa bak selebriti intelektual dengan melontarkan pujian berlebihan kepada beberapa penulis perempuan, tanpa disadari telah menghancurkan potensi yang menjanjikan?
 
Hal demikian dapat terbaca dalam Nayla: Potret Perempuan Pengarang sebagai Selebriti (hal 143) yang dengan kemunculan tiba-tiba karya Djenar Maesa Ayu sebagai “sastrawati” ternyata tak sebanding dengan pujiannya. Jika kita menghubungkannya dengan kemunculan pengarang perempuan lain, maka di mata Katrin selain pujian pada Djenar berlebihan, karya lain yang menggarap tema seks secara lebih bebas ternyata baru sampai pada pemaparan ide yang belum tuntas. Dalam tulisannya Katrin menyiapkan argumentasi meyakinkan dengan merujuk teori, membongkar kelemahan sehingga pujian yang terbetik di media massa atau dalam buku Djenar sendiri menjadi rontok.
 
Geliat sastra mutakhir dengan munculnya sastra internet yang pada awal kehadirannya dicibir sebagai tren sesaat seperti pernah disebutkan Hamsad Rangkuti di majalah Gatra, 18 November 2000, juga disinggung Katrin dalam “Karya Sastra sebagai Taman Bermain”. Di sini ia menyinggung antara diri pengarang dan alter-ego Dewi “Dee” Lestari dalam Supernova (2001) sehingga batas antara fiksi dan kenyataan menjadi bias. Uniknya hal tersebut bukan muncul dari bukunya sendiri, melainkan dari situs internet penerbit Supernova, yaitu truedee.com.
 
Esai menarik lainnya adalah Religiusitas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia (hal 67) yang sedikit memberi bukti nyata masih ada potensi penulis perempuan mampu menulis tema lain bukan hanya sekadar seks yang terlalu digembar-gemborkan di media massa sebagai “pembaru”. Kondisi ini cukup berbahaya karena menimbulkan kesan seolah penulis perempuan, terutama setelah ramainya publikasi Djenar, hanya mampu menulis soal seks saja, padahal hal tersebut dibentuk industri kapital penerbitan buku sebagai tren.
 
Sastra klasik Indonesia juga tak luput dari amatan Katrin. Dalam Nyai Dasima dan Nyai Ontosoroh (hal 31) ia cukup tajam mengurai sejarah terjadinya “politik sastra” di masa jayanya penerbit Balai Pustaka sebagai institusi kolonial ternyata punya andil menggerus “Cerita Nyai” bahasa Melayu rendah akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 sebagai bacaan murahan tak layak dikategorikan dalam sastra.
 
Meskipun buku ini cukup berhasil sebagai otokritik sastra dari sudut pandang pengamat sastra berkebangsaan bukan Indonesia seperti yang dilakukan oleh A Teeuw, John H McGlynn, dan Harry Aveling, buku ini juga menyimpan kelemahan. Sebutlah tulisan Sastra Koran di Indonesia (hal 45) Katrin tak banyak memberi penjelasan bagaimana kondisi media sastra di Jerman sebagai perbandingan. Dalam tulisan tersebut Katrin hanya memberi contoh posisi artikel sastra Jerman yang dinamakan “Feulliton” lebih netral dibandingkan dengan rubrik sastra koran Indonesia karena kehadirannya hanya berupa reportase acara sastra dan resensi buku, bukan sebagai “ajang” melahirkan sastrawan (juga penulis kritiknya) yang masih dalam kondisi “diletan” dengan memamerkan istilah asing hanya untuk memperindah tulisannya.
 
Kelemahan berikut adalah ulasan novel Disgrace karya pemenang Booker Prize 1999 dan Nobel Sastra 2003, JM Coetzee (hal 119) yang aslinya adalah resensi buku yang pernah dimuat di Kompas, 23 Oktober 2005.
 
Dalam tulisan tersebut nyaris Katrin hanya menceritakan Disgrace tanpa menghubungkannya secara kontekstual dengan perkembangan sastra Indonesia. Akibatnya pembaca jadi bertanya-tanya apa korelasinya dengan sastra kita, sedangkan maksud penulisan buku ini adalah menghadirkan kritik sastra kita secara netral tanpa intervensi pihak mana pun. Sebutlah A Teeuw dalam Khazanah Sastra Indonesia (Balai Pustaka, 1982) yang juga menyebut karya asing, begitu pula Harry Aveling dalam Rahasia Membutuhkan Kata (IndonesiaTera, 2003) yang jelas terlihat korelasinya dengan karya sastra Indonesia.
 
Kelemahan lain, buku ini belum karya utuh seperti buku A Teeuw dan Harry Aveling lantaran hanya mengumpulkan tulisan Katrin yang pernah dimuat di berbagai media massa sehingga data dan argumennya terasa kurang lengkap (Sastra Koran di Indonesia juga ulasan karya JM Coetzee). Rata-rata buku kritik yang berasal dari kumpulan tulisan menyimpan kelemahan sejenis, misalnya Sastra dan Massa-nya Jakob Soemardjo (ITB, 1995) atau Solilokui-nya Budi Drama (Gramedia, 1983) yang sebenarnya dapat lebih komprehensif jika ditulis ulang, bukan sekadar mengumpulkan kembali tulisannya.
***

*) Pengamat Sastra Tinggal di Jakarta. http://sastra-indonesia.com/2009/03/menguak-tabir-politik-sastra/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria