Saut Situmorang
Di sebuah koran daerah, dalam kolom bertajuk “Gaya Hidup”, saya membaca
sebuah laporan menarik tentang pemakaian bahasa Indonesia terkini yang penuh
didekorasi kata-kata bahasa Inggris. Menarik karena saya baru tahu setelah
membaca laporan tersebut betapa parahnya sudah gejala gado-gado Indonesia-Inggris
ini dalam pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari terutama di kota-kota besar
Indonesia. Tapi saya juga merasa geli membaca contoh-contoh bahasa
Indonesia-Inggris yang disebutkan dalam laporan tersebut. Berikut ini saya
kutipkan dua contohnya:
“Suatu pagi di sebuah ruang kuliah salah satu perguruan tinggi negeri…
terdengar suara perempuan asyik menjelaskan materi kuliah. Di tengah kuliah ia
bertanya, Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang get lost?” Ketika tak ada
yang menjawab, dosen cantik ini melanjutkan kuliahnya. Berarti tak ada
mahasiswanya yang “tersesat” alias get lost. Maksudnya tentu saja bukan
tersesat dalam rimba tak bertuan, tapi tidak mengerti penjelasan materi
kuliahnya. Nada (20), sebut saja begitu, salah seorang mahasiswanya berbisik,
“Bu dosen ini kalau ngajar memang begitu. Penuh istilah bahasa Inggris. Tapi
enak, kesannya keren abis… ?”
Apa yang membuat saya jadi geli membaca laporan di atas justru adalah
terjemahan yang dilakukan wartawan laporan tersebut yang seolah-olah membantu
pembaca untuk mengerti arti/maksud istilah “get lost” yang dipakai dosen cantik
tadi tapi malah memperparah kesalahkaprahan makna. Tidak ada dalam bahasa
Inggris istilah “get lost” untuk menyatakan “tidak mengerti” atau “tidak paham”
apalagi dalam konteks peristiwa yang dilaporkan di atas. Kata yang biasanya
dipakai adalah kata sederhana “understand”, bukan “get lost”. Jadi, dalam
sebuah suasana berbahasa Inggris yang baik dan benar, dosen cantik tadi
mestinya bertanya, “Oke, sudah mengerti semua? Atau ada yang still don’t
understand?” kalau memang bahasa gado-gado ini masih akan dipakai. Atau, kalau
memang mau gaul berbahasa Inggris, dia bisa bilang, “Ok, do you all get it?”
Tidak pernah kata “get” akan disandingkan dengan kata “lost” untuk menanyakan
apakah sebuah informasi, sebuah pernyataan, apalagi sebuah materi kuliah sudah
dipahami atau tidak. Istilah “get lost” yang dipakai dosen tersebut adalah sama
sekali tidak benar alias salah karena arti sebenarnya bukan “tidak mengerti”
tapi justru memang “tersesat” arah seperti yang disebutkan wartawannya! Dan
lebih parah lagi, istilah “get lost” juga biasanya dipakai (secara “gaul”!)
untuk memaki seseorang yang kita anggap menjengkelkan seperti pada ekspresi,
“Get lost!”!
Contoh berikutnya adalah pemakaian bahasa Indonesia-Inggris di kalangan
remaja:
“Di sebuah mal… serombongan pelajar sebuah sekolah menengah umum… berhenti
sejenak di depan sebuah toilet. Salah seorang meninggalkan rombongan. Remaja
putri tersebut pamit, “Aku pipis dulu ya…” Seorang temannya berteriak, “As soon
as possible ya. Filmnya udah mau main nih.” Rupanya rombongan pelajar ini akan
menonton film di bioskop yang terletak di seberang mereka.”
Pada contoh ini kembali kita melihat kesalahkaprahan idiomatik dilakukan
begitu wajar sehingga terkesan memang tidak salah alias tepat pemakaian frase
“as soon as possible” yang arti bahasa Indonesianya memang bisa jadi “cepeten
ya”. Untuk konteks peristiwa kedua ini (“pipis”), kata yang tepat dipakai
sebenarnya adalah “quick” atau “hurry”, bukan “as soon as possible”. Jadi
kalimatnya mestinya, “Be quick ya” atau “Hurry up lah” seperti dalam bahasa
Melayu Malaysia. Ketidakpahaman atas fungsi “as soon as” dalam contoh ini mirip
dengan kesalahkaprahan atas fungsi “get” pada contoh pertama di atas.
Persoalannya sekarang adalah kenapa gejala pemakaian frase Inggris yang
salah-kaprah macam ini bisa terjadi dan menjadi euforia di kalangan orang-orang
kota besar di Indonesia, yaitu kalangan yang ironisnya adalah yang
berpendidikan menengah sampai perguruan tinggi, kelompok yang dianggap
terpelajar dan intelektual? Apakah isu (melorotnya) nasionalisme berbahasa bisa
dijadikan faktor penyebabnya, atau hanya sekedar biar terkesan keren abis (atau
“biar salah asal gaya”) seperti yang diklaim banyak pemakainya?
Alif Danya Munsyi, salah seorang alter ego Remy Sylado, seorang komentator
Indonesia-Inggris yang paling vokal dalam tulisan-tulisannya seperti yang
dikumpulkan dalam bukunya Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005), saking terlalu
bersemangatnya melancarkan kritiknya, telah melupakan dua hal penting dalam
tulisan-tulisannya tersebut. Pertama, saking terlalu banyaknya dia memakai
kata-kata “baru” yang tidak pernah dijelaskannya berasal dari bahasa apa, dari
bahasa daerah atau dari bahasa asing seperti Arab dan Sanskerta, sehingga
membingungkan paling tidak saya sebagai pembacanya, Munsyi mbeling ini justru
telah melakukan apa yang dia dengan gencar lawan sebagai “penyakit menular”
dalam bahasa Indonesia kontemporer dengan idiosinkrasi pilihan-katanya. Kalau
orang lain kena virus nginggris, dia sendiri teridap penyakit sinonimisme,
terlalu obsesif dengan padanan-kata non-baku yang centang-perenang. (Apa
mungkin ada relasi psikologis antara sinonimismenya ini dengan obsesinya dengan
pseudonym!)
Kedua, rasisme terhadap bahasa Inggris. Kenapa rupanya kalau bahasa
Indonesia memperkaya kosa-katanya dari kosa-kata bahasa Inggris ketimbang dari
bahasa daerah atau Sanskerta? Kenapa harus dianggap sebagai “seperti keranjang
sampah kata-kata bahasa Inggris?” (Bahasa Inggris sendiri dan rata-rata bahasa
di Eropa terlalu banyak “meminjam” dari bahasa “asing” Junani dan Latin tapi
malah membuatnya berkembang pesat!) Bukankah justru karena hegemoni bahasa
Inggris secara global maka akan lebih mudah bagi pemakai bahasa Indonesia untuk
mengerti kata-kata “pinjaman” dari bahasa Inggris daripada kalau “meminjam”
dari bahasa daerah tertentu yang saya yakin akan lebih asing bagi pemakai
bahasa Indonesia yang tidak terbiasa dengan bahasa daerah tersebut? Dan
Sanskerta? Untuk apa bernostalgia dengan bahasa asing yang sudah lama mati ini!
Yang menjadi persoalan dalam gejala bahasa Indonesia-Inggris bukanlah
keberadaan Inggris dalam tubuh bahasa Indonesia tapi ke-bukan-inggrisan “bahasa
Inggris”-nya. Bahasa Indonesia-Inggris bukanlah sebuah pidjinisasi atau
blasteranisasi seperti Singaporean-English (Singlish) atau Jamaican-English
(seperti “Inglan Is a Bitch”-nya penyair reggae Linton Kwesi Johnson) yang
merupakan gejala “the empire writes back” yang cerdas dan politis tapi sebaliknya
merupakan peristiwa “bagai rusa masuk kampung” karena habitat hidupnya di hutan
tropis sudah sangat menyusut. Kalau hibriditas pada pidjinisasi merupakan
resistensi identitas dalam arena survival of the fittest hukum rimba
pascakolonial, maka Indonesia-Inggris hanyalah sekedar lanjutan dari
internalisasi inlanderisasi doang. Window shopping disangka bener-bener
shopping! Tapi mengusulkan untuk mempadankan kata-kata Inggris ke dalam lafaz
Indonesia adalah sama seperti memaksakan pemakaian dubbing ketimbang subtitle
untuk film-film asing yang diputar di Indonesia. Demi alasan “nasionalisme
bahasa”, disamping telah merampas hak penonton untuk mengalami nuansa bahasa
percakapan bahasa asing yang dipakai film asing yang sedang ditonton, dubbing
justru telah membuat film tersebut kehilangan unsur paling pentingnya sebagai
“film asing” yaitu bahasanya yang asing itu!
Pemakaian kata-kata atau frase atau istilah bahasa Inggris dalam konteks
wacana akademis-spesialis, Kritik Sastra misalnya, adalah sebuah gejala yang
bisa diterima. Terminologi akademis tersebut bisa membantu pembaca/pendengar
untuk memperjelas topik yang sedang dibicarakan, terutama karena makna
spesialisnya (bukan idioskrinkratis!) sudah dipahami bersama oleh
penulis/pembicara dan pembaca/pendengar. Pemakaian terminologi
akademis-spesialis juga akan memberi nuansa tekstual kepada isi tulisan atau
pembicaraan.
Membuat peraturan-peraturan yang idiosinkratik atas bahasa berdasarkan
klaim-klaim yang juga idiosinkratik adalah sebuah sikap yang tidak memandang
bahasa, sebuah produk budaya, sebagai sebuah organisme hidup. Seolah-olah
bahasa tidak punya konteks ekstra-linguistik. Padahal perkembangan sebuah
bahasa lebih banyak ditentukan oleh kondisi pemakaiannya ketimbang oleh
ketepatan-ketepatan gramatikal belaka. Pengetahuan seseorang yang mengklaim
dirinya “munsyi” atas etimologi satu-dua kata pun tak ada artinya dibanding
frekuensi pemakaian satu-dua kata tersebut di masyarakat penggunanya. Dalam
konteks bahasa Indonesia-Inggris yang salah kaprah seperti pada kedua contoh di
awal esei saya ini, bukan peristiwa nginggris-nya yang mesti diejek-ejek dengan
sikap patronising tapi bagaimana kesalahkaprahan itu bisa dikoreksi, terutama
lewat media massa yang memang paling potensial untuk merealisasikannya. Karena
alasannya sederhana saja: Kalau kita menginginkan pemakaian bahasa Indonesia
yang baik dan benar, sudah pantas kalau kita juga berbahasa Indonesia-Inggris
yang baik dan benar. Idiosinkrasi centang-perenang dalam berbahasa (apapun,
termasuk tulisan) memang memualkan.
Diambil dari buku “Politik Sastra” ([sic] 2009).
lundi 26 avril 2021
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire