lundi 26 avril 2021

Merawat Mata Air Peradaban Orang Melayu

J Anto
analisadaily.com, 3 Des 2016
 
Kegelisahan sejumlah seniman Melayu diaspora di Jakarta atas nasib Ronggeng Deli, mendorong mereka melahirkan sebuah gerakan 'perlawan­an' budaya lewat revitalisasi Ronggeng Deli. Kenapa Ronggeng Deli?
 
“Dalam konteks kekinian, sangat banyak kepentingan hadirnya kesenian Ronggeng Deli, yang disebut oleh etnomusikolog Rizaldi Siagian sebagai kesenian cerdas, karena Ronggeng menyaratkan, tidak sekedar citarasa seni, tapi juga kecanggihan intelektual,” ujar Kepala Anjungan Sumut di TMII Jakarta, Tatan Daniel.
 
Kecerdasan intelektual itu, menurut pria yang lahir di Pematangsiantar pada 1961 itu, tercermin pada penciptaan pantun-pantun sebagai ekspresi sastrawi, yang diucapkan secara spontan dan merupakan bagian dari tradisi sastra lisan. Ronggeng Melayu juga merupakan kesenian yang telah melintasi sejarah panjang, dengan pengaruh Hindu (India), Islam (Arab), sampai kolonial barat seperti Portugis, Irlandia, dan Spanyol.
 
Sayang, kesenian rakyat Melayu yang cerdas itu seperti telah ditinggalkan masyarakat. Sebagai gantinya masyarakat kini lebih akrab dengan seni kontemporer, dan kibor (keyboard). Prihatin melihat itu, sejak Juni 2015, sejumlah seniman muda Melayu diaspora yang berasal dari berbagai kawasan bergabung di Anjungan Sumut TMII. Mereka membentuk komunitas atas dasar kesama­an misi, untuk memberi daya hidup baru bagi seni Ronggeng Deli.
 
Setiap bulan komunitas Ronggeng Deli ini tampil di anjugan Sumut itu. Mereka juga menggelar pertunjukan ke sejumlah daerah, seperti Yogyakrta, Jawa Barat dan acara-acara budaya lain. Bahkan atas prakarsa mereka juga, dua tokoh Ronggeng Deli, Anjang Nurdin Paitan dan Napsiah Karim mendapat penghargaan Wira Budaya yang diberikan langsung oleh Kepala Perpusnas kepada ahli waris kedua seniman tersebut.
 
Sebagai sebuah kesenian tradisi, Ronggeng sesungguhnya menjadi identitas dan akar budaya masyarakat Melayu. Karena itu penting dirawat agar mata air peradaban orang Melayu tidak kering. Sama halnya, etnis Batak, akan kehi­langan kebatakannya, jika bahasa, ulos, atau tortornya tidak lagi dipakai.
 
“Revitalisasi Ronggeng Deli karenanya adalah perlawanan atas budaya dominan dan budaya represi yang berkembang, dan mengisi kepala banyak orang. Banyak sekali seni tradisi yang digerus oleh situasi yang tidak adil itu, hingga akhirnya musnah,” ujar Tatan Daniel.
 
Tentu saja, revitalisasi tidak dimaksudkan sebagai kegiatan memotokopi begitu saja kesenian itu, seperti zaman tempo dulu. Atau sekadar memindahkan bunyi-bunyi dari kaset tua, atau sekadar menjadi seni yang mengulang-ulang, tanpa nyawa, tanpa grenek yang kuat.
 
Revitalisasi Ronggeng Deli menurut lumni APDN itu, adalah upaya untuk mendudukkan kembali Ronggeng sebagai kesenian rakyat, dan jika mungkin, dinikmati tidak saja oleh orang-orang Melayu, tapi juga oleh orang Jawa, Bali, bahkan Papua. Oleh sebab kekuatannya sebagai penutur, lingua franca.  Revitalisasi juga dimaksudkan untuk menghapus stigma Rong­geng sebagai kesenian "mesum", terkontaminasi oleh situasi politik kolonial dan perkembangan sosial yang tidak sehat.
 
Tatan mengakui, seniman Ronggeng di Jakarta beruntung karena ada fasilitas pentas seperti di Anjungan Sumut TMII, yang memberi ruang dan segala peralatan bagi mereka untuk berekspresi. Ada seorang Rizaldi Siagian, yang terus-menerus memberi masukan dan semangat, dengan kepa­karan yang di miliki. Ada juga gedung-gedung kesenian yang bisa dimasuki, seperti Gedung Kesenian Jakarta atau Taman Ismail Marzuki. Tentu selain dekat dengan media, seperti tv.
 
Tapi di Medan? “Saya kira di Medan, di kalangan kawan-kawan, juga sudah mulai muncul semangat dan gerakan itu. Tapi memang, diperlu­kan kebijakan dan kemauan yang sung­guh-sungguh dari para tokoh, ada political will dan dukungan penuh dari pemangku kebijakan itu. Dinas kebudayaan, misalnya, atau pengelola taman budaya harus membuka panggung-pang­gung untuk bermain, berdiskusi, untuk mengkaji, memberi tawaran kesejahteraan yang memadai bagi para maestro yang tersisa,” katanya.
***

http://sastra-indonesia.com/2021/04/merawat-mata-air-peradaban-orang-melayu/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria