vendredi 28 mai 2021

BAH, Putu Wijaya, dan Keteladanan Remaja

Reza Aulia Fahmi *
JP Radar Banyuwangi, 18 Mar 2021
 
BELAJAR itu bisa di mana pun, kapan pun, dan dengan siapa pun. Suatu pepatah yang bertubi-tubi dilontarkan pada setiap orang yang sedang mencari ilmu. Karena belajar bukan hanya tentang ilmu duniawi yang terpampang penjelasannya di lingkungan sekolah, namun juga banyak jenis pembelajaran lain yang perlu masyarakat pelajari. Pembelajaran moral salah satunya. Penerapan ilmu sosial ini sangat penting ditanamkan sejak dini, dimulai dari lingkup terkecil yaitu keluarga.
 
Lalu seperti pepatah yang telah disebutkan di atas, maka pembelajaran moral juga dapat diperoleh dengan pandangan yang sama. Mulai dari kesantunan yang selalu diajarkan oleh orang tua masing-masing, hingga perolehan pribadi dengan membaca dan mencari informasi. Maka, salah satu cara memperoleh pembelajaran moral yang akan disebutkan dalam opini ini adalah dengan membaca naskah drama yang memiliki amanat dan dapat diterima oleh masing-masing pembacanya.
 
Sebelum melanjutkan pembahasan ke hubungan amanat pada drama dan pembelajaran moral, kita perlu mengetahui terlebih dahulu, apa itu naskah drama bukan? Naskah drama adalah salah satu karya sastra yang di dalamnya memuat dialog-dialog antartokoh, juga penjelas laku dalam naskah drama. Tujuan penulisan naskah drama sebagian besar bukan hanya untuk dibaca, namun digambarkan dengan sedemikian rupa.
 
Oleh karena itu, semakin banyak dialog dan lakuan yang ada, maka akan semakin kompleks pula suatu cerita dapat disuguhkan. Di Indonesia sendiri, banyak sekali sastrawan yang berhasil membuat naskah drama untuk dipentaskan, salah satu tokoh yang terkenal dalam dunia sastra adalah Putu Wijaya. Bersama karya-karyanya, Putu Wijaya selalu mengamati peristiwa yang terjadi di masyarakat, dan isi dari dramanya banyak sekali memuat nilai-nilai moral yang sangat baik untuk dipelajari.
 
BAH, salah satu karya Putu Wijaya yang tidak kalah menarik dari karya fenomenalnya ”Bila Malam Bertambah Malam”. BAH, menceritakan tentang perselisihan antara orang biasa dan aparat yang dianggap lebih tinggi pangkatnya di masyarakat. Dimulai dari judul, banyak orang yang kurang tertarik membaca naskah ini karena dianggap rumit dan tidak mudah menemukan titik temu antara judul dan isinya.
 
Bagi Anda yang masih belum familiar dengan karya-karya Putu Wijaya, saya bisa bilang jika sebagian besar judul yang dipilih oleh beliau sangat unik, misalnya AUT, ANU, BOR, CIPOA, dan lain sebagainya. Namun sebenarnya jika ditelusuri lebih dalam, ”BAH” ini tidak memiliki arti. Namun, justru judul yang hanya terdiri dari tiga huruf tersebut dapat menggambarkan apa yang ingin disampaikan oleh Putu Wijaya. Perselisihan yang menggambarkan aparat kurang bertanggung jawab dan hanya memikirkan keuntungan diri sendiri, dan warganya yang mudah tersulut emosi dan menyalahkan satu sama lain. Perasaan marah, kecewa, sedih, dan lainnya bercampur menjadi satu sehingga tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
 
Kita, hanya bisa mengeluarkan gabungan perasaan itu dengan keluhan, bah! Jika dibaca lebih teliti, kita akan menemukan benang merah yang dimaksudkan dalam drama ini. Politik dalam masyarakat, bersama dengan keadaan yang terjadi di masyarakat saat itu. Lurah dan hansip yang menjadi tokoh naskah menggambarkan aparat pemerintah, dan masyarakat biasa yang selalu menunggu bantuan datang dengan berbagai keluhan mereka.
 
Mengapa pemerintah belum juga bisa mementingkan kesejahteraan rakyat? Mengapa rakyat selalu menyalahkan apa pun yang terjadi kepada pemerintah? Dan mengapa negara yang harusnya bersatu menuju satu impian malah menjadi dua koloni yang terbagi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan Anda dapatkan jika mempelajari alur naskah ini dengan saksama.
 
Bukan tanpa alasan, naskah drama yang ditulis pada tahun 1986 ini bertepatan dengan adanya peristiwa Orde Baru, yang pada saat itu terjadi berbagai gesekan antara penguasa dengan masyarakat. Misalnya peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 yang menewaskan lebih dari 24 orang karena tindakan aparat. Dari tahun terbitnya naskah ini, tentu saja berbagai peristiwa yang terjadi dapat dikaitkan menjadi latar belakang kemunculan naskah tersebut. Namun, seperti kebanyakan karyanya, naskah ini dibuat dengan sarkasme kepada keadaan negara yang tidak frontal saat dibaca.
 
Mengacu pada keteladanan, nilai moral yang dapat diambil di antaranya adalah saat sudah dipercayai untuk melakukan sesuatu, maka lakukanlah itu dengan tanggung jawab penuh. Jangan menjadi seperti tokoh hansip yang dimintai pertolongan oleh masyarakat malah kabur dan membiarkan masyarakat kembali gaduh.
 
Selain itu, cobalah untuk selalu mengontrol emosi dan mendinginkan kepala terlebih dahulu saat akan menghadapi suatu masalah, agar tidak memperkeruh suasana. Juga jangan pernah meremehkan orang lain yang dirasa memiliki pangkat lebih rendah, karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi ke depannya.
 
Naskah drama ini memiliki nilai moral yang cukup banyak bila dipelajari dengan saksama, juga kisah antara hansip dan masyarakat biasa seakan ingin membuat kita juga mudah menerima alur penceritaannya. Naskah ini juga bisa digunakan sebagai rekomendasi pertunjukan drama di tingkat sekolah menengah, agar amanat tetap dapat didapat di sela-sela komedi. Sayangnya, dialog yang hanya tertuju pada tokoh tertentu membuat naskah ini terasa monoton dan terkadang kurang dapat dipahami.
***

*) Siswa Kelas XII, MAN 1 Banyuwangi.

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria