vendredi 28 mai 2021

Dua Hati

Dharmadi
oase.kompas.com
 
Ia tak yakin akan diterima dengan senang hati di lingkungan saudara-saudaranya sendiri apalagi oleh kakak iparnya. Meski demikian ia merasa perlu datang ke rumah sakit untuk menengok kakak sulungnya.
 
Begitu keluar dari lift, langkahnya menuju kamar, seperti yang diberitahukan pamannya lewat telepon, yang ia terima tadi siang, “Mam, masmu Madjid sakit keras, opname di rumah sakit Husada kamar 106 lantai 6; ibumu minta agar kamu pulang.”
 
Sesekali terdengar suara derit pada lantai yang ditimbulkan oleh langkah kakinya yang bersepatu casual mengusik sepi malam. Langkahnya semakin mendekat ke kamar, ia melihat beberapa pasang mata dari saudara-saudaranya, yang berdiri di depan kamar yang ditujunya, memandang ke arahnya mengikuti telunjuk pamannya yang diarahkan kepadanya.
 
Begitu dekat, pamannya yang pertama kali maju beberapa langkah untuk menyambutnya merangkul dirinya dan menepuk-nepuk bahunya; “Jam berapa dari rumah? Itu ibumu duduk di sana.”
 
Sebelum menuju ke tempat ibunya, disalaminya satu per satu saudara-saudaranya. Terasa kaku, udara dingin malam musim kemarau seakan ikut membekukan suasana; tanpa percakapan, hanya sesaat saling pandang. Kemudian diikutinya langkah pamannya yang berjalan menuju tempat ibunya berada.
 
Diciumnya tangan dan pipi ibunya; dilihatnya ada genangan di bola mata ibunya. Ia menempatkan diri duduk di sebelah kirinya. “Ibumu minta kamu jangan masuk kamar dulu,” kata pamannya yang berdiri di depannya; ?Begitu kan Mbak?”
 
Hampir bersamaan, ia dan ibunya mengangguk. Ia paham, apa yang dikatakan pamannya; jangan masuk kamar dulu, berarti belum boleh menengok kakaknya yang dalam keadaan kritis. Pasti bukan karena kritisnya yang menjadi alasan dilarangnya ia masuk.
 
Pasti ibunya khawatir, akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Khawatir kalau-kalau rasa sakit hati kakaknya kepadanya tiba-tiba mencuat begitu melihatnya, bisa-bisa malah menjadikan fatal bagi kakaknya.
 
Pamannya bercerita tentang sakit kakaknya, ginjal dan jantungnya sudah kena akibat dari sakit gulanya; kadar gula dalam darahnya tak terkendali. “Masmu Madjid tak mau menjaga makannya,” ibunya menimpali.
 
Ia hanya mengangguk-anggukkan kepala seakan mendengarkan dengan penuh perhatian. Tetapi sesungguhnya tidak demikian. Pikirannya merunut kembali ke peristiwa beberapa tahun yang lalu; ketika itu kakaknya sedang dalam proses tuntutan kejaksaan, dituduh menyelewengkan dana reboisasi.
 
Ia ingat, suatu ketika ibunya berkata, “Mbakyumu Majid minta tolong aku Mam, untuk menanyakan padamu, apa tak ada yang kau kenal salah satu pun di antara jaksa yang sedang memroses kakakmu.”
 
Ia tahu ke mana arah kata-kata ibunya; tak mungkinkah ia bisa membantu kakaknya agar tak terjerat tali hukuman.
 
Juga ia ingat kata-kata ibunya waktu itu: “Bagaimanapun masmu Madjid sedikit banyak dulu ikut membiayai kuliahmu.”
 
Bukan hanya istrinya Mas Majid, dan ibunya saja yang mencoba agar ia bisa membantu kakaknya. Juga saudara-saudaranya.
 
Banyak komentar yang didengar dari saudara-saudaranya, seperti, “Mosok, sebagai jaksa tak mengenal satu pun jaksa lainnya.” Juga kata-kata, “Kalau niat mau nolong mesti bisa.”
 
Ia tak mengingkari, bahwa ia bisa kuliah sedikit banyaknya memang dibiayai kakaknya yang sedang sakit itu. Juga mengakui dalam hati, salah satu di antara jaksa-jaksa yang sedang menangani kasus kakaknya, ada yang dikenal, malah dulu teman kuliah.
 
Tetapi ada suara lain yang sangat halus dan lembut dari lubuk kalbunya, “Akankah kau korbankan nilai dirimu sendiri?”
 
Tak ada jalan lain, saat itu yang dapat ia lakukan, hanya berkata, “Bagaimana lagi ya,” sebagai jawaban terhadap keinginan kakak iparnya, ibu dan saudara-saudaranya. Akhirnya, kakaknya masuk penjara menjalani hukuman selama dua tahun tiga bulan, sesuai dengan keputusan pengadilan.
 
Tanpa sadar tangannya memegang kepalanya, dirabanya kening kirinya yang belang bekas luka. Ingat pada salah satu unjuk rasa yang pernah dipimpinnya waktu masih mahasiswa; kepalanya kena pukulan tongkat salah satu aparat, dan sampai kini kadang-kadang kepalanya terasa pusing kalau berpikir terlalu berat.
 
Ada langkah mendekat, salah satu kerabat menemui pamannya; “Lik, Mas Madjid kritis.”
Paman dan ibunya memandangnya, juga kerabat yang baru saja datang yang menyampaikan berita.
“Yuk, ke sana, Mbak,” ajak pamannya kepada ibunya; sebelum beranjak, pamannya menganggukkan kepala kepadanya. Ia tahu maksud anggukan kepala pamannya, mengajaknya juga.
 
Bersama ibunya, dibuntutinya langkah pamannya yang mengayun rapat. Sambil berjalan ditatanya pikiran dan perasaannya yang gelisah; semakin dekat pintu kamar semakin tak tenang, ada yang muncul dalam hatinya, “Jangan-jangan?..” Dihentikan pertanyaan dalam hatinya, tak dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya.
 
Begitu pintu terbuka, berpasang mata menyergapnya dengan sorot tajam bagai mata pedang, seakan ujungnya siap untuk ditusukkan ke dadanya.
 
Dilihatnya seorang dokter dan dua perawat sibuk menangani kakaknya. Dilihatnya kakak iparnya berdiri di sebelah kiri ranjang suaminya, posisinya menghadap ke pintu.
 
Dihentikannya langkahnya. Sambil tersenyum, dianggukkan kepalanya pada kakak iparnya yang menatap dirinya sesaat.. Dihapusnya dengan cepat keinginan menafsirkan makna tatapan kakak iparnya, diredakan gejolak hatinya.
 
Waktu seakan berjalan perlahan, nyaris serasa berhenti, suasana ruang seakan beku. Orang-orang yang ada di ruang seakan menjadi patung; diam, tegang, berada di tempatnya masing-masing, tak ada yang berani sedikit pun menggerakkan badan.
 
Hanya sesekali terdengar kata-kata dokter yang berisi instruksi, dan bunyi langkah perawat yang membantunya untuk mengambil ini, mengambil itu, memenuhi instruksinya.
 
Kemudian dilihatnya dokter menghentikan kesibukannya, pandangan matanya diarahkan ke kakak iparnya; sambil menyalami, tersenyum, berkata, “Saat kritis telah lewat.”
 
Terdengar hampir bersamaan suara nafas dilepas dari mulut orang-orang yang ada. Begitu dokter bergerak pergi untuk meninggalkan kamar, langkahnya perlahan diayun menuju ke kakak iparnya yang duduk di kursi di sebelah kiri ranjang, di mana suaminya terbaring, dekat kepala; disalaminya setelah dekat.
 
Perlahan dan perlahan dilihatnya kelopak mata kakaknya membuka, dan menatapnya. Ia rundukkan badannya ketika dilihatnya, kakaknya berusaha mengangkat tangan kanannya untuk mencoba merangkulnya, tetapi tak kuat tenaganya.
 
Dirundukkan badannya, didekatkan kepalanya ke kepala kakaknya; dibantunya tangan kanan kakaknya, diangkat dan diletakkan di punggungnya.
 
Seakan mendaki gunung yang semakin tinggi menuju puncak, terdengar terengah-engah nafas kakaknya.
 
Kembali ditegakkan tubuhnya. Dilihatnya mata kakaknya berkaca-kaca, dalam pandangan kosong menatap jauh ke sana, entah apa yang dipandang.
 
Ia sedikit mundur, kakak iparnya mendekat ke suaminya, menyeka matanya, mendekatkan kepalanya ke kepala suaminya; membelai-belai kepala suaminya, sesekali menciumi pipinya; “Jangan berpikir yang bukan-bukan, Pak.”
Dipandanginya wajah kakaknya; mata kakaknya pelan meredup, bagai matahari senja yang sebentar lagi tenggelam, dan padam. Kelopak mata kakaknya akhirnya memejam dengan menyungging senyum di bibirnya.
 
Kakak iparnya menggoyang-goyang kepala suaminya, sambil memanggil-manggilnya, “Pak, Pak, Pak.” Tak ada reaksi; sesaat kakak iparnya menatap dirinya, kemudian mengalihkan pandangannya ke pamannya; ia maju, dipegangnya nadi di pergelangan tangan kiri kakaknya.
Pamannya mendekat. Ia menyisih, juga kakak iparnya, memberikan tempat untuk pamannya. Pamannya mendekatkan telapak tangan kanannya ke lubang hidung kakaknya, tangan kirinya memegang pergelangan tangan kiri kakaknya.
 
Kemudian ia melihat, beberapa kali pamannya membuka kelopak mata kakaknya. Bola matanya tak bergerak, tanpa cahaya.
 
Kakak iparnya menancapkan tatapannya ke wajah suaminya. Ia mendengar pamannya melepas nafas panjang., dan dilihatnya pamannya menggelengkan kepala.
“Bagaimana Om?” tanya kakak iparnya dengan nada suara penuh ketakutan.
Ia melihat, pamannya merangkul kakak iparnya, “Relakan, sudah saatnya.”
 
Keheningan ruang dalam suasana yang seakan mencekam akhirnya mencair. Melengking jerit kakak iparnya, melepaskan diri dari rangkulan pamannya, menubruk dada suaminya, dan menjatuhkan kepalanya di sana. Terdengar suara tangisnya.
 
Dokter datang, melihat alat yang dihubungkan dengan bagian tubuh kakaknya, untuk memantau denyut jantungnya. Grafiknya tak bergerak.
 
Mengulang seperti apa yang ia lakukan pamannya, dokter memegang pergelangan tangan, membuka-buka kelopak mata kakaknya. Kemudian menggelengkan kepala.
 
Berpasang mata orang yang ada di kamar sesaat menatapnya; tatapan berpasang mata itu yang tadi dirasakan seperti pedang, yang lancip ujungnya untuk siap ditusukkan ke dadanya, kini dirasakannya seperti benar-benar telah ditusukkan sampai menghunjam ke dalam, menimbulkan rasa nyeri yang tak terperikan di hatinya.
 
Di pancaran wajah orang-orang yang menatapnya, ia merasakan, orang-orang itu menyalahkannya; “Kalau kamu tak datang…”.
Dipandangnya wajah ibunya, wajah pamannya. Hanya anggukan kepala kedua orang tua itu yang ia terima. Ia tak tahu, bagaimana mesti menerjemahkan maksudnya.
***
 
Jakarta, 2008 http://sastra-indonesia.com/2009/02/dua-hati/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria