mercredi 12 mai 2021

Puisi, Perjalanan, dan Identitas Diri yang Terkoyak

Junaidi Khab *
Radar Surabaya, 4 Feb 2018
 
Di lingkungan Yogyakarta, gerakan literasi dan kultur hingga seni mendapat lahan empuk untuk terus hidup dan berkembang. Itu digawangi dari beberapa pecinta litarasi, bukan serta-merta penggerakknya secara dominan dari kalangan masyarakat Yogyakarta sendiri. Tetapi, mereka datang dari beberapa daerah yang hidup merantau di Yogyakarta untuk berjuang dan saling bertemu dengan sesama pecinta literasi. Dari peradaban satu visi dan misi ini, lahirlah Yogyakarta sebagai kota pendidikan, seni, budaya, dan literasi selain memang Yogyakarta kentara dengan ciri khas budaya dan tradisi masyarakatnya.
 
Terlebih setelah kehadiran kelompok penerbit Sastra Pejuangan (SP) dan Basabasi yang dinaungi oleh DIVA Press Yogyakarta, gerakan literasi dan kesusastraan semakin menyala dan diminati di Yogyakarta hingga ke beberapa daerah di Jawa. Dua lini penerbit ini – SP dan Basabasi – merupakan garda terdepan di Yogyarkarta dalam menerbitkan karya-karya sastra seperti kumpulan cerpen dan esai, novel, dan khususnya antologi puisi. Inisiatif CEO DIVA Press Yogyakarta – Edi Mulyono – perlu kiranya kita dukung guna menggerakkan literasi masyarakat di Indonesia.
 
Pada Senin, 22 Mei 2017 sekitar pukul 19:00 WIB, sastra Basabasi kembali me-launching antologi puisi karya Bernando J. Sujibto berjudul Rumbalara Perjalanan yang dibanding oleh Muhammad Al Fayyadl lulusan master (Prancis) di Kafe Blandongan, Sorowajan Yogyakarta. Antologi puisi tersebut lahir sebagai anak sastra Bernando yang lahir di Turki saat dia menempuh perjalanan pendidikan magister di Timur Tengah. Hal itu menjadi sesuatu yang sangat istimewa, karena puisi-puisi yang disajikan di dalamnya – tentu – memiliki aroma khas yang berbeda dengan puisi-puisi yang lahir di nusantara dari rahim imaji para penulis dalam negeri lainnya. Lebih dari itu, puisi memiliki nilai tersendiri untuk dibaca, dipahami, dan direnungkan dalam kehidupan.
 
Akhmad Taufiq (2016) dalam pengantar bukunya menyatakan bahwa puisi baginya merupakan suatu bentuk penghadiran peristiwa melalui proses imajinatif dengan sentuhan estetika; sehingga realitas dengan segala kompleksitasnya mampu diungkapkan menggunakan gaya dan pengucapan yang sesuai lingkungan historisnya. Oleh karena itu, melalui bahasa, puisi tidak jauh dengan realitas, sekaligus dengan sentuhan historitas itu mampu menjadi penanda sejarah tersendiri dengan segala aspek estetiknya. Bernando telah berhasil merealisasikannya saat melakukan rihlah akademik ke Turki. Dari perjalannya itu, dia bisa membawa rupa dan warna beribu makna dalam bait-bait puisinya.
 
Perjalanan sebagai Rumah
 
Seperti dikatakan oleh Muhammad Al Fayyadl bahwa perjalanan ke Istanbul yang dilakukan oleh Bernando dengan cara berbeda. Puisi Bernando lahir dari perjalanannya saat ke Istanbul. Puisi kadang mengecoh. Penyair seakan singgah di suatu tempat secara menyeluruh. Dari goresan penanya, Bernando seakan sudah mengingat seluruh lekuk tempat yang pernah dijalani atau dilewati. Secara dominan, Bernando menuliskan puisinya melalui kekuatan visual.
 
Revolusi perjalanan Bernando cukup kompilatif dalam meramu anak-anak puisinya. Status kelahiran puisi sangat menentukan ketika dibesarkan di kota-kota berpengaruh. Sebut saja di Turki dari kumpulan puisi Bernando ini. Kita tentu tidak dapat memungkiri kehebatan Bernando yang berdarah Madura dan menempuh perjalanan pendidikannya di Yogyakarta hingga ke Turki. Lalu, dia melahirkan anak-anak puisi yang dikandungnya selama berjalan di luar negeri. Sebuah prestise yang cukup hebat dan membanggakan. Rumbalara, nama suatu tempat, yaitu rumah khas suku Aborigin. Kata Fayyadl, bagi Bernando perjalanan merupakan rumah kehidupan seperti Rumbalara.
 
Bernando menyebut Rumbalara sebagai pelangi: pelangi perjalanan. Dalam perjalanan selalu menyuguhkan keindahan tersendiri bagi masing-masing individu. Perjalanan sebagai pilihan dan proses. Dia tidak bisa diam untuk tidak tahu. Penyair itu penuh dengan tipuan puisi sebagai racun-racun rasa kehidupan yang melenakan dan mengheningkan batin. Suatu tempat akan menjadi imajinasi yang mampu melahirkan bait-bait puisi.
 
Sebelum melakukan perjalanan untuk melahirkan puisi, Bernando melakukan beberapa hal: Pertama, dia mempelajari suatu objek tujuan yang akan ditempati kelahiran puisinya. Kedua, dia memerhatikan kehidupan sosial objeknya. Ketiga, dia melihat dan memahami artefak-artefak peninggalan yang masih ada. Jauh lebih rinci menurutnya, bahwa membaca sebuah puisi akan sia-sia kecuali memerhatikan simbol-simbol dan metafor yang disajikan di dalamnya oleh penyair sendiri.
 
Puisi dan Sudut Pandang
 
Dalam persoalan menulis puisi, sebenarnya tak ada unsur intrinsik seperti dalam menulis cerpen atau novel. Tetapi, Bernando dalam puisi-puisinya masih menggunakan sudut pandang tertentu. Misalkan sudut pandang dalam penulisan puisi Bernando: dia menjadi orang pertama atau dia menjadi objek puisi itu sendiri yang memainkan metafor dan diksi-diksi. Kata Bernando, sudut pandang sebenarnya tak begitu penting dalam puisi, tetapi hal itu juga menjadi penentu dalam memosisikan para pembaca. Sehingga, estetika puisi yang dihasilkan oleh penyair bisa dinikmati sedemikian rupa: tidak monoton.
 
Misalkan antologi puisi yang ditulis oleh penghuni lapas Wirogunan berjudul Suara-Suara dari Wirogunan (2016) yang menggambarkan perihal situasi monoton yang dirasakan oleh para penghuni lapas dalam penjara. Kumpulan puisi ini merupakan salah satu karya yang juga perlu diapresiasi, karena ditulis oleh para penghuni lapas dengan bimbingan penyair Iman Budhi Santosa, Jati Suryono, Budi Sarjono, dan Ons Untoro.
 
Berbeda dengan karya Gratiagusti Chananya Rompas dalam antologi puisinya Kota Ini Kembang Api (2016) yang menggunakan dua sudut pandang: penulis sebagai orang pertama dan orang ketiga. Antologi puisi ini kiranya tak jauh berbeda dengan cara Bernando mengilustrasikan imajinasi putiknya dalam perjalanan yang dianggap sebagai rumahnya sendiri.
 
Para penyair dan penulis seperti halnya Bernando akan menjadi kuli abjad demi perjalanan hidupnya dengan menganggap perjalanan itu sebagai rumahnya sendiri. Ukiran para penyair kiranya akan menggugah masyarakat pembaca jika bisa memiliki negative capability, yaitu kemampuan penyair dalam mengabadikan suatu peristiwa agar tetap utuh saat terulang kembali seperti saat pertama kali dijumpai. Segala kompleksitas perjalanan hidup akan mudah dibaca dan dijadikan sebagai cermin bening kehidupan melalui puisi yang diukir oleh penyair menggunakan kanvas diksi bahasa dan kata-katanya. Lumrahnya, puisi lahir akibat identitas diri yang merasa terkoyak oleh rasa.
***
 
*) Penulis adalah Akademisi asal Sumenep, lulusan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Ampel Surabaya. Sekarang Menetap di Yogyakarta.

http://sastra-indonesia.com/2021/05/puisi-perjalanan-dan-identitas-diri-yang-terkoyak/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria