mercredi 12 mai 2021

”Politik Masjid” Erdogan

Bernando J. Sujibto *
Jawa Pos, 17 Juli 2020
 
Setelah resmi mengembalikan fungsi Hagia Sophia sebagai masjid pada 10 Juli 2020, sosok Presiden Recep Tayyip Erdogan kembali menjadi magnet internasional. Beragam dukungan maupun kritik tumpah. Khusus negara-negara Eropa dan lembaga internasional mengkritik keras kebijakan Turki. Saya ingin menilik satu aspek menarik terkait langkah politik Erdogan yang telah menjadi bagian yang khas dan sekaligus melekat dengan dirinya, yaitu ”politik masjid”.
 
Sebagai bagian kebijakan penting sebuah negara (baik ketika situs itu menjadi masjid untuk kali pertama setelah Konstantinopel ditaklukkan Sultan Mehmed II pada 1453, diubah menjadi museum oleh keputusan parlemen Turki 1934, maupun menjadi masjid kembali pada 2020), keputusan terkait situs yang mempertemukan Barat dan Timur tersebut pada akhirnya menjadi kontestasi politik yang berimplikasi pada dinamika internal maupun eksternal Turki.
 
Pembacaan secara politik akan membantu memetakan isu-isu yang berkembang di balik keputusan itu. Meski rakyat Turki sudah jamak menyadari adanya kepentingan politik di balik keputusan tersebut, misalnya sebagai langkah populis untuk memperkuat dukungan dari basis Islamis, meninjau secara lebih dekat terkait ”politik masjid” akan memberikan arah yang lebih jelas dalam memahami keputusan penting itu.
 
Sudah mafhum, mempertahankan tampuk kekuasaan –dan bertahan selama mungkin– adalah bagian dari cara kerja politik praktis. Dalam pendekatan pluralis-tradisional (traditional pluralists’ approach), meminjam istilah John Gaventa (1980:vii), kekuasaan dipahami terutama dalam konteks siapa yang berpartisipasi dan siapa yang diuntungkan dalam pengambilan keputusan hal ihwal isu-isu utama. Dalam demokrasi, suara mayoritas dengan agensi dan figur yang mewakilinya akan memegang sirkulasi kekuasaan itu sendiri dengan memegang kendali pada keputusan isu-isu utama tadi.
 
Sebagai negara dengan demokrasi yang pasang surut (vibrant democracy), Turki masih terus mendapatkan catatan buruk di dunia internasional, dengan langkah-langkah politik internal negara yang secara brutal melawan nilai-nilai demokrasi. Turki dengan figur tek adam (the only man) Erdogan ingin tetap mendapatkan legitimasi khusus dari rakyatnya sendiri. Hasrat untuk mempertahankan kekuasaan dan sekaligus mengintervensi kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan ideologi Islamis telah mewarnai proses politik Turki dalam dua dekade terakhir.
 
Sebagai bagian politik strategis, pendirian masjid dan monumen (baca: museum, pusat kajian/studi, perpustakaan, pusat ilmu pengetahuan, nama-nama tempat dari tokoh-tokoh Islam) dengan identitas keislaman yang kental telah membetot risalah perjalanan politik Turki di bawah AKP (Partai Keadilan dan Pembangunan). Dalam konteks internasional, masjid sebagai diplomasi politik khas Erdogan. ”Politik masjid” itu makin agresif ketika Erdogan menjadi presiden. Di Turki banyak masjid dibangun megah. Sebagai simbol dan identitas Islam yang paling kentara, diplomasi masjid terus dipakai Erdogan agar identitas dan pergerakan Islam yang ingin dikomandaninya terus bergulir.
 
Melalui lembaga formal dan organisasi yang disokong pemerintah, seperti Yayasan Diyanet Turki (TDV) serta Badan Kerja Sama dan Koordinasi Turki (TKA), Turki telah mendirikan masjid di berbagai negara. Misalnya, Masjid Cambridge di Inggris, Masjid Bishkek Kirgistan, Masjid Abdulhamid II di Djibouti, Masjid Abdulaziz di Somalia, Masjid Fatih di Filipina, Masjid Belarusia di Minsk, Masjid Boukman Buhara di Haiti, Masjid Raya Tirana di Albania, Masjid Eyup Sultan di Mali, dan yang membuat heboh adalah rencana untuk membangun masjid di Kuba. Masjid-masjid yang dibangun tersebut rata-rata berkapasitas besar dan bahkan kerap menjadi yang terbesar di negara masing-masing.
 
Erdogan sadar bahwa ”invasi” di era modern terletak pada kekuatan diplomasi itu sendiri, yang kemudian memberikan ruang dan legitimasi bagi negara untuk membangun masjid. Dari masjid itulah kegiatan-kegiatan keagamaan dan sosial bisa bermula. Masjid bisa menjadi sepaket agensi yang bergerak dengan ”mesin” yang sudah dipersiapkan; ia berevolusi menjadi pusat dakwah dan sekaligus kebudayaan di negara orang. Hadirnya masjid-masjid menahbiskan Turki dan Erdogan sebagai kekuatan regional yang terus menunjukkan taringnya di kancah internasional, dan khususnya di negara-negara muslim. Turki yang ingin menjadi alternatif sebagai negara muslim yang moderat mengimbangi Iran dengan misi Syiah maupun Arab Saudi dengan ideologi Wahabisme.
 
Bagi saya, keputusan terhadap Hagia Sophia menjadi masjid adalah bagian penting dari proses politik autentik yang telah membersamai langkah Erdogan hingga sejauh ini. Masjid telah menyertai jalan politiknya dengan kebijakan-kebijakan Islamis-populis yang disampaikan secara jelas, tegas, dan berwibawa. Keputusan Danıtay Bakanlıı (Mahkamah Tinggi Negara yang membawahkan pengadilan administrasi di Turki) berdasar pada identitas Hagia Sophia sendiri sebagai wakaf, bernama Fatih Sultan Mehmed Han Vakfı, seperti dalam salinan keputusan: ….vakfedenin iradesi gerei sürekli ekilde cami olarak kullanılması için (untuk digunakan sebagai masjid secara permanen sesuai kehendak pewakaf). Artinya, dengan surat wasiat yang sudah jelas peruntukannya untuk masjid, keputusan menjadi masjid sudah sesuai dengan koridor hukum.
 
Selain itu, dalam sebuah acara terbuka sebelum pemilu daerah 31 Maret 2019, Erdogan sudah sangat gamblang menyampaikan pesan tentang rencana dan keinginannya untuk mengembalikan Hagia Sophia sebagai masjid. Figur yang sudah menguasai Turki dalam dua dekade terakhir tersebut mengajak publik untuk melihat secara jernih identitas asli (asli künye) Hagia Sophia yang terekam dalam dokumen wakaf, yaitu masjid. Tentu saja beralasan ketika Erdogan mengidentifikasi Hagia Sophia ke asli künye karena situs itu sudah ditaklukkan Mehmed II.
 
Akhirnya perubahan identitas Hagia Sophia menjadi masjid bisa dikatakan sebagai puncak ”politik masjid” yang sudah mendarah daging dengan langkah politik Erdogan. Pernyataan itu sejalan dengan retorika yang pernah disampaikan Erdogan pada 2019: ”Kami memiliki ribuan masjid di berbagai tempat di belahan dunia. Apakah mereka berpikir apa yang terjadi pada masjid-masjid itu? Mereka berkomentar tanpa berpikir. Mereka tidak mengerti dunia. Mereka tidak tahu lawan bicara mereka. Sebagai pemimpin politik, saya tidak kehilangan arah terhadap permainan ini.”
 
Retorika di atas kembali menjadi topik hangat di tengah polemik dan kontroversi keputusan Hagia Sophia. Retorika yang masih multitafsir itu ingin menegaskan tentang cara Erdogan yang telah ”menginvasi” negara-negara lain dengan masjid-masjid; ada kehendak untuk menyebarkan paham dan ideologinya; dan sekali lagi, masjid-masjid itu bisa menjadi agen yang dengan mudah menjadi ujung tombak negosiasi dan kerja sama Turki dengan negara lain. Ekspansi kebudayaan dan agama tentu saja menjadi arus utama yang terus menjadi agenda penting bagi Turki untuk merebut pengaruh internasional.
***

*) Bernando J. Sujibto, Staf pengajar di prodi sosiologi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, peneliti isu-isu dan kajian sastra dan kebudayaan Turki.  http://sastra-indonesia.com/2021/05/politik-masjid-erdogan/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria