jeudi 10 juin 2021

BALADA TAKDIR TERLALU DINI

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=99
 
(I) Pada ketinggian uap di bawah naungan cahaya,
ruang penuh butiran embun berjatuhan ke muka samudera;
sebelum ombak renung melambai ke tlatah akhir jamannya.
 
(II) Datang waktunya, ia bersila di pusaran air mata air,
tiada kecipak, hanya bayu pemilik waktu menyisir permukaan.
 
(III) Asap dupa-kemenyan menyuling udara ketinggian,
atmosfer menjelma ramuan serupa kidungan di telinga petapa;
seekor merpati putih mengepak pulang ke sarang damainya jiwa.
 
(IV) Takdir digarisnya, keluh tercurah ingatan tertiup,
dari genting-genting cakrawala memuara di tanah kemarau
bagi segenggam kehampaan dalam dada, dan makna
terus menggali hangus, sebelum sampai masanya.
 
(V) Tanggalkan pakaianmu menyetubuhi ruangan,
putaran takdir secepat atom detik;
pecah atau beku, misteri suara-suara menggema,
memukul dinding air memercik ke wajah dunia.
 
(VI) Melewati tarian jemari mensucikan jiwa bimbang,
ruh gentayangan sukma penasaran, menetaplah di sini
bersama seringaian bintang menanti purnama;
mega-mega ditarik kehendak langitan
menyebar ke sudut-sudut cakrawala.
Singgasana malam terlukis di sana.
 
(VII) Gemerincing gelang tangan, binggel kaki penari,
sesyairan bathin ke lembah-lembah bersahut-sahutan
di kutub masa, tertulis sebelum juga sesudahnya;
inilah peristiwa pergumulan pasir pesisir,
lupa angin terik mentari atas petikan dawai cahaya
yang terkelupas kulitnya oleh pendakian pertama.
 
(VIII) Bunga-bunga berguguran
menyisakan harum di tanah kelahiran,
menuju purna, kering keemasan menjelma keabadian;
aku di kedalaman sana kekasih, bersama dirimu juga.
 
(IX) Tangan-tangan doa mencipta daya,
wewarna racikan suaranya terangkat kabut semesta,
memantul cahaya ke batu mencipta relief di Magoa;
benarkah ia pada letak semedinya?
 
(X) Usap rambutmu menikmati daun hijau bergoyangan,
warna-warni telaga tercecap mentari singgah;
ia duduk memandangi batu-batu pengetahuan,
melempar kerikil mengukur kerinduan gelisah,
menimbang kebaikan curiga, sebelum beranjak
menuju alam keabadian pujangga.
 
(XI) Melipat waktu longgar, helaian tangan kelembutan,
kelegaan nafas-nafas sebelumnya dituntun tetap menghirup;
nyawa terpenggal dipersatukan lapar merindu sebenarnya.
 
(XII) Di sinilah hisapan diatur,
ruang sempit menjelma magnit,
awan taman bunganya kata-kata,
rintik berjatuhan mengalir ke ujung ‘kayungyung,’
samudera ibarat alun-alun tempat anak-anak
sungai berjumpa, dewa-dewi menyatukan nasib.
 
(XIII) Seekor semut menyeret bayangannya
merayap merambat mendekati cahaya
dan kekupu menggelepar lelah ditelan ketiadaan;
memancar kunang-kunang pada kekhusyukan sujud.
 
(XIV) Asing baginya; seluruh penglihatan terhitung ganjil,
menggelantung benang-benang antara ada dan tiada,
sewaktu sadar, serentak tergerak sayang.
 
(XV) Suatu pagi selembar kertas berembun tersapu pedut,
bulan mengigau di kalender masa
dan bayangan pohon bergetar oleh kepemudaan segar.
 
(XVI) Teringat kembali tentangmu bebijian pasir huruf suci,
menggenangi malam bermakna di relung hidup berdegup
dan awan merapat pada dinding-dinding langit purba;
manusia menapaki tangga ke hadirat-Nya.
 
(XVII) Takdir tertulis segoresan tinta dilipat ganda;
pahatan niatan di ujung kalimat Ilahi.
 
(XVIII) Menyerahkan seluruh tubuh nyawa,
tiada terfahami ulang menghirup udara,
selain menghisap pepucuk daun cemara;
di sanalah tulang belulang digaris-kumpul,
laku perjalanan sedenyut gerak kasih sayang.
 
(XIX) Niat batuan magnit menarik bebijian besi,
menggetarkan lempeng hati fibrasinya dimengerti;
merubah subyek-obyek dalam ruangan. Dia kuasa
menggugah penggalian dari sumur tua bagi hamba,
akan terangnya cahaya menjernihkan mata bathin.
 
(XX) Tiada mampu merekam,
yang dengar tak lagi hafal atau sakit lupa tiada obatnya.
Hanya fajar mengembalikan rindu atas panggilan lalu;
baju putih, angkasa putih, lautan putih, dan segalanya
bagi terbimbing tertikam hati.
Selanjutnya ia bermunajad dalam ruangan semesta;
 
(XXI) “Kasih, kau tahu kerahasiaanku di rumahmu,
seluruh baju ke-duniawi-ku lepas dan rela menceraikan
pasangan-pasanganku; kau selimuti aku seberat kantuk
mesra, pesakitan itu perbaiki jalanku menuju kerajaanmu.
Dan hinaku lebih dari debu di halamanmu
yang engkau pagari dengan kepastian.”
 
(XXII) “Kekasih, aku bahagia sebagai pengemis
di perempatan jalan tengah kota demi menghapus
hidupku gila berharap oleh emosionalku tersesat.”
 
(XXIII) “Ku ikuti takdir sepi bercampur gelisah,
kematian mengingatkanku kepadamu;
mengembalikan rindu tumbuh tiada layu,
kemenanganku ialah duduk di sisimu sayang,
ketika semua melihat kita di tengah keramaian.”
 
(XXIV) “Kemauanmu hidupku lebur,
maka hempaskanlah lebih kencang;
kedahsyatannya ke pantai penyadaran.
Karang keangkuhanku teramat lemah,
bergulung-gulung ombak memecah
itu nasibku pukulan yang kau mau.”
 
(XXV) “Kadang aku membenci kecantikan alam,
kala bulan-gemintang tak menghibur kesedihan,
hanya embun kehadiranmu aku merasa tentram;
sahabat, sebenarnya kunikmat sendiri sunyi
namun kodrat mendorongku tak sepi,
kerahasiaanku penuh ada padamu.”
 
(XXVI) Ini sering terasa dingin-ngeri sepi-ngilu,
pandangan ‘klawu’ sampai cemburu pada mereka,
tetapi engkau menarik aku sambil berucap kata;
“jangan kau cemburu, sebab aku pun bisa begitu,
bila masa mudamu kau habiskan tak bersamaku,”
lalu aku tertimpa bimbang selalu;
“mana kecintaanmu bagi kepemudaanku?”...
 
(XXVII) Kadang kusangsi apa aku di pihakmu,
atau pada persekutuan musuhmu? “kau muda bersabarlah”
Suara itu datangnya dari sahabat yang menegur kepiluanku.
“Aku tak kuat sahabat, aku pernah jauh darimu. Karena itu,
apa kini kuulang kembali, menciptakan cemburu untukmu?”
 
(XXVIII) Ya Robby, berikan ia ketegaran,
kelembutan arif kebijakan kefahaman, dan lapangkan kerelaan
atas pintu-pintumu sebagaimana kau janjikan; kemudahan bagi
jiwa-jiwa kesabaran, menanti lagi mengharap kasih tersayang.
 
(XXIX) Ya pujaan terdalam, bukan ia tak terima kebaikanmu;
ia hanya mengeluh-mengadu, seluruh hatinya kau mengerti.
Bukankah kau tak rela, bila ia bersandar diselain pundakmu?
 
(XXX) Kabar kegundahan airmata kemenangan darimu,
ia cahayamu, bukan baginya kemuliaan;
setiap lempengan terpahat, kesedihan memberat,
jika dicukupkan sampai di sini, bagaimana bermesraan?
Ia sempalanmu yang merindu sayang bersamamu.
 
(XXXI) Mata klawu, kaki dan tangan kotor berdebu;
“akankah aku bahagia seperti mereka di bawah lingkup
kasih sayangmu? Membersihkan lumpur kaki di telagamu
dalam kepompong keikhlasan, yang kau curahkan.”
 
(XXXII) “Puaskan menguliti perasaan dan kuterima
kau marah sungguh kepadaku, sebab khilaf mengumbar
kesenangan semu; kau tertawa bercampur benci merindu
disaat-saat menyaksikan kemunafikanku kepadamu.
 
(XXXIII) Ku dengar satu bintang di langit
berkata padaku; “Bukankah aku lebih bangkrut?
Manusia bebas berkeliaran, sedang nasibku menunggu?
Energi yang diberikan habis, aku tak dapat berbuat lebih
sebagaimana orang-orang impikan. Maka ikhlaslah terima
selagi dirimu masih bernafas.” Setelahnya, bintang itu redup
dan tiada pernah terlihat kembali pada malam-malam serupa.
 
30 September 2000, Gedong Kuning, Yogyakarta.

http://sastra-indonesia.com/2008/11/balada-takdir-terlalu-dini/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria