Maman S. Mahayana *
“Toeti Heraty adalah satu-satunya wanita penyair di
tengah para penyair Indonesia mutakhir yang terkemuka.” [1] Demikian A. Teeuw
mengawali komentarnya ketika memasuki topik pembicaraan Toeti Heraty di dalam
konteks penyair Indonesia pasca-1966. Pernyataan kritikus sastra asal Belanda
itu tentu bukan tanpa alasan. Ia memandang, kepenyairan wanita kelahiran
Bandung, 27 November 1933 itu sangat khas. Oleh karena itu, ia punya tempat
tersendiri di dalam peta kepenyairan Indonesia. Pendapat Teeuw yang terkesan melebih-lebihkan
itu, menjadi sangat wajar manakala kita mencermati ulasannya atas sajak
“Cocktail Party”. “Dari semua sajak yang saya sukai dan (saya) pilih untuk
pembicaraan kumpulan ini barangkali sajak Cocktail Party-lah yang paling sulit
dikupas.” [2] Selanjutnya, Teeuw mengatakan: “barangkali sajak inilah yang
paling rumit, yang paling banyak memerlu-kan analisa dan penafsiran di berbagai
tingkat sekaligus.” [3]
Nada yang sama dengan ungkapan yang berbeda, dikemukakan
pula Budi Darma dalam Kata Pengantar antologi Nostalgi = Transendensi.[4] Di
akhir Kata Pengantar itu, Budi Darma mengatakan: “Toety Heraty sanggup
menjadikan sajak-sajak dia benar-benar menjadi miliknya sendiri. Sebagai
penyair dia merupakan sosok tersendiri. Dalam tulisan “Sajak-Sajak Toeti
Heraty” (Horison, Oktober 1967, hlm. 308), Subagio Sastrowardoyo[5] juga
menyatakan bahwa Toeti Heraty sanggup berdiri di luar arus, dan karena itu
tidak sama dengan penyair-penyair lain.” [6]
Komentar kritikus-kritikus itu tentu saja boleh kita
setujui, boleh juga tidak. Tak ada larangan untuk itu. Meskipun demikian,
seperti juga penyair yang diizinkan untuk mengolah apapun menjadi miliknya
sendiri, kita, pembaca dan penikmat sastra, juga punya hak yang sama. Perbedaan
pandangan dan penafsiran atas sebuah teks sastra, dimungkinkan lantaran
kompleksitas dan kuatnya ketaksaan yang melekat dalam diri teks sastra itu
sendiri. Bahkan, di dalam karya-karya sastra apapun, terlebih lagi puisi,
selalu terbuka peluang lahirnya penafsiran dan pemaknaan yang beraneka ragam,
dan ketika karya itu dibaca ulang, sangat mungkin pula akan lahir makna baru
yang tiba-tiba muncul dan mengganggu pikiran kita. Begitulah penafsiran dan
pemahaman atas sebuah teks, sering kali sangat tergantung pada pengalaman
pembacanya.
Dalam hal itulah, teks sastra menjadi sesuatu yang hidup,
yang merepotkan kita mencari berbagai alat untuk membongkarnya, mengisi
bagian-bagian yang terbuka, dan mengungkapkan apapun yang tersembunyi. Bahwa di
dalam pelaksanaannya kita berhasil atau gagal, itu soal lain lagi. Kegagalan
atau keberhasilan dalam konteks ini, tidaklah berhubungan dengan soal
salah-benar, melainkan berkaitan dengan tingkat apresiasi dan latar belakang
pengalaman masing-masing. Yang pasti, apapun yang kita kerjakan dalam
memperlakukan teks sastra, hakikatnya tidak lain adalah pengejawantahan
apresiasi kita selaku pembaca yang hendak menempatkan teks itu secara
proporsional.
***
Antologi Nostalgi = Transendensi karya Toeti Heraty ini
berisi 78 buah puisi yang dihasilkannya dalam kurun waktu lebih dari dua
dasawarsa. Sebelum itu, ia telah menerbit-kan antologi Sajak-Sajak 33 (1973)
dan Mimpi dan Pretensi (1982). Kiprah kepenyairannya sendiri telah dimulai
sejak enam buah puisinya dimuat majalah Horison, Oktober 1967. Selepas itu,
puisinya banyak dimuat di majalah Budaja Djaja (1968, 1970, 1974), Sastra
(1969), Basis (1979), dan Zaman (1980).[7] Sejumlah besar puisinya yang
terdapat dalam Nostalgi = Transendensi pernah dimuat di majalah-majalah
tersebut.
Membaca dan mencoba mencermati antologi Nostalgi =
Transendensi, kita seolah-olah dibawa oleh sebuah arus besar yang bernama
kegelisahan; kegelisahan seorang pencari yang tak pernah jumpa; penanya yang
tak pernah dapat jawaban; dan pemikir yang tak hendak berhenti berpikir.
Sebagian besar, direfleksikannya lewat potret galau perasaan dan gagasannya
yang terkadang sangat ironis, bahkan paradoksal; atau sekadar menumpahkan
kegetirannya melalui gambar-gambar orang lain. Maka, pada saat tertentu,
mungkin saja ia menempatkan dirinya selaku subjek, dan pada saat yang lain
sekaligus juga sebagai objek, atau bertindak sepenuhnya sebagai subjek, meski
objek yang diamatinya memantulkan kepedihan bagi dirinya sendiri.
Berbeda dengan penyair wanita sebelumnya, M. Poppy
Hutagalung yang lebih ba-nyak menghasilkan sajak-sajak yang halus dan bersifat
liris, atau sebagaimana dikatakan A. Teeuw, “lebih menunjukkan perasaannya yang
lembut dan saleh ketimbang kreativitas kepenyairannya,” Toeti Heraty terkadang
sengaja mempermainkan imajinasinya secara agak liar. Citra kewanitaan yang
dilekatkan dalam diri aku liris, nyaris tidak pernah ditampilkan dalam gambaran
yang lemah-lembut dan penuh pemaafan, melainkan dengan nada protes jika
berhadapan dengan lawan jenis atau ironis jika memandang keterbodohan
sejenisnya. Cara pengucapan Toeti Heraty pun sangat berlainan dengan penyair
wanita sezamannya, semisal Isma Sawitri,[8] Diah Hadaning,[9] atau Susy Aminah
Azis.[10]
Yang cukup menonjol dalam pengucapan Toeti adalah
kentalnya kontemplasi dan perenungan atas masalahnya sendiri atau atas objek
tertentu yang kadang-kadang justru membelit menjadi persoalannya sendiri ketika
ia dikembalikan kepada pengalaman pribadi. Dalam sebagian besar puisinya, imaji
yang dibangunnya menjadi sangat personal yang tidak jarang pula membangun
perenungan filosofis. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan kita “pembaca”
sering kali mengalami kesulitan untuk memahami puisi-puisi Toeti. Jika
Teeuw[11] mengalami kesulitan memahami “Cocktail Party” lantaran ada
tingkatan-tingkatan tertentu dalam proses pemahaman dan pemaknaannya, maka bagi
saya justru karena kuatnya perenungan filosofis dan imaji personal yang menjadi
alat ucapnya.
Kesulitan itu menjadi makin merepotkan ketika kita mencermati
bentuknya. Tampak di sini, Toeti mengabaikan begitu saja ketentuan bait atau
korelasi antar-larik. Ia lebih men-dahulukan gagasan. Boleh jadi, ia
memperlakukan itu karena memang sengaja hendak mem-bebaskan gagasan dari
ikatan-ikatan bentuk. Jadi, pemakaian enjambemen yang terdapat di sana-sini
dalam sebagian besar puisi Toeti, tetap saja kurang begitu membantu ketika
hendak menelusuri makna puisi bersangkutan. Bagaimana jelasnya persoalan itu?
Mari kita telusuri!
***
Seperti telah disebutkan, antologi Nostalgi =
Transendensi karya Toeti Heraty ini berisi 78 buah puisi. Secara tematis, ke-78
puisi itu mengangkat berbagai persoalan, meskipun keseluruhannya didominasi
oleh tema yang menyangkut dan berkaitan dengan dunia wanita dengan berbagai
problemnya. Dari ke-78 puisi itu, jika dikelompokkan berdasarkan cara
pengucapan dan imaji yang hendak dibangunnya, maka kita akan menemukan bahwa
sebagian besar (sekitar 60-an buah) puisinya menggambarkan suasana pikiran dan
suasana hati.[12] Dalam beberapa puisinya, Toeti mencoba menggambarkan suasana
pikiran atau suasana hati itu dengan memanfaatkan benda-benda alam, tetapi
se-bagian besar dilakukan melalui pernyataan-pernyataan abstrak. Kesan yang
kemudian mun-cul adalah sebuah ekspresi jiwa yang bersifat personal. Akibatnya,
imaji yang dibangunnya juga cenderung bersifat personal.
Puisi pertama yang menjadi judul antologi ini “Nostalgi =
Transendensi” misalnya sepintas lalu terkesan sebagai puisi yang mudah
dipahami. Bahasanya enak dan setiap kata dalam urutan larik, disusun enteng
seperti mengalir begitu saja. Tetapi, setelah pembacaan puisi ini selesai,
timbul pertanyaan: “Lho, apa pesan yang hendak disampaikan puisi itu”? Nostalgi
sama dengan transendensi/ sebuah penyimpulan yang sesungguhnya lahir dari proses
panjang kegelisahan pikiran. Bagaimana kerinduan pada masa lalu, pada sesuatu
yang sangat jauh, atau pada sesuatu yang mungkin sudah tidak ada lagi,
diidentikkan begitu saja sebagai sesuatu yang bersifat rohani, gaib, dan
abstrak (bersifat transenden). Dan kenyataan dalam hidup manusia memang
demikianlah. Kita sering kali tiba-tiba saja merindukan sesuatu atau
mengharapkan entah apa. Mengapa perasaan itu mendadak saja hadir dan mengganggu
pikiran atau perasaan kita. Apakah kerinduan bisa direncanakan? Apakah
perpisahan, baik yang direncanakan, maupun yang tidak direnca-nakan,
dimaksudkan untuk menciptakan kerinduan? Semua merupakan sesuatu yang entah;
tidak berjawab! Dan kepada kita, pembaca, penyair menyodorkan soalan itu
melalui awal sebuah penyimpulan: Nostalgi sama dengan transendensi/
Larik-larik berikutnya: betul, ini permainan
kata/lagi-lagi kata asing/tapi apa sih yang tidak asing/tapi itu hanya ilusi.
Seperti sebuah pertanyaan yang hendak dijawab dan dibenarkannya sendiri,
penyair mencoba memberi argumen atas penyimpulan pada larik awal tadi. Tetapi
kembali, argumen: betul, ini permainan kata/lagi-lagi kata asing, diterjang
pula oleh soalan baru: /tapi apa sih yang tidak asing/ Di sini, kesan penyair
yang seolah-olah bersoal-jawab sendiri itu, digugat kembali dan tampak penyair
hendak memberi penyadaran, bahwa di sekeliling kita, terkadang keasingan atau
munculnya sesuatu yang asing, bisa datang secara tiba-tiba, atau bahkan secara
serempak. Ringkasnya, kehidupan manusia sering kali terpenjara oleh berbagai
keasingan. Sampai di sini, kembali, penyair seolah-olah hendak memberi argumen
yang lain: tapi itu hanya ilusi/ Ilusi sendiri “sesuatu yang berada di dalam
pikiran atau angan-angan” juga sesungguhnya merupakan masalah lain lagi. Kita
tidak tahu persis, mengapa kita tidak dapat menghindar dari ilusi. Jadi,
penyair secara sadar hendak mengganggu kita dengan argumen yang sebenarnya
bermakna pertanyaan.
Dalam larik berikutnya, penyair kembali mengajak kita
kepada soalan awal tadi: kembali pada nostalgi/berarti kehilangan/yang
dulu-dulu dibayangkan/hanya tidak mencekam lagi, karena/lembut dengan ironi//
Mengapa mesti lembut dengan ironi? Memang, jarang sekali kita protes pada
sesuatu yang bertentangan dengan harapan jika hal itu hanya terjadi dan diciptakan
oleh pikiran atau angan-angan kita sendiri. Dan penyair merumuskannya dengan
sangat padat lewat enjambemen pada larik-larik: karena/ lembut dengan ironi//
Dalam tiga larik bait terakhir, penyair terkesan tidak
lagi hendak mempersoalkan ihwal nostalgi. Dikatakannya: saat kini yang berkilas
balik/siapa tahu nanti /kini ‘dulu’ nanti, teratasi/bukankah itu transendensi”
Sebuah penyimpulan baru dihadirkan, bersamaan dengan itu serangkaian soalan
dimunculkan: siapa tahu nanti. Dan ketika kita dapat meng-atasi berbagai
persoalan itu, tiba-tiba hadir pula pertanyaan: bukankah itu transendensi?
Demikianlah, “Nostalgi = Transendensi” telah menjajakan
serangkaian pertanyaan yang titik berangkatnya sengaja dimulai lewat
penyimpulan-penyimpulan. Dalam konteks ini, penyair menangkap esensi kehidupan
dan mencoba merumuskannya. Tetapi ketika itu mengganggu dan menggelisahkan
pikirannya, ia mengeluarkan kembali kesimpulan itu yang bermuara pada
pertanyaan. Jadi ia berangkat dari kesimpulan dan berakhir dengan pertanyaan.
Bahwa pertentangan-pertentangan itu terjadi merupakan suatu keniscayaan yang
tidak dapat dihindari manusia. Itulah ironi! Banyak hal yang kita harapkan, dan
sering kali kenyataan berbicara lain. Jika kenyataannya seperti itu, majas apa
yang paling tepat untuk mengungkapkannya? Toeti memilih ironi. Dengan begitu,
penyair ini tidak hanya mengangkat problem manusia yang ironis, perilaku
kaumnya yang sering kali juga sangat ironis, tetapi juga memanfaat majas itu
untuk alat pengucapannya sekaligus. Itulah salah satu kekhasan kepenyairan
seorang Toeti Heraty.
Sebagian besar puisi dalam Nostalgi = Transendensi
cenderung menggambarkan suasana hati dan suasana pikiran yang gelisah seperti
itu. Tampak juga di sini, kematangan menangkap problem dunianya, problem citra
sesamanya, dan problem kemanusiaan secara universal, disajikan dengan gaya yang
demikian. Akibatnya, ironi tidak hanya menjadi sangat menonjol, tetapi juga
berpadu dan menjadi bagian dari tema-tema puisi bersangkutan. Dalam hal yang
menyangkut sikap dan usaha memahami dan memaknai kehidupan, penyair gagal
menyembunyikan kearifannya. Lewat ironi yang disampaikannya, kita masih dapat
menang-kap kearifan penyair dalam memandang berbagai masalah dan pengalaman di
sekitar dirinya.
***
Bahwa puisi-puisi Toeti Heraty dalam Nostalgi =
Transendensi didominasi oleh citraan yang menggambarkan suasana hati dan
suasana pikiran, tidaklah berarti tidak ada sama sekali puisi yang
menggambarkan suasana tempat dan peristiwa. Sekadar menyebut beberapa di
antaranya, cermatilah puisi-puisinya yang berjudul “Wanita”, “Dua Wanita”,
“Jogging di Jakara” dan “Balada Setengah Baya”. Keempat puisi itu, dapat
dikatakan merupakan protes atau bahkan gugatan keras terhadap citra wanita yang
dalam kacamata laki-laki selalu ditempatkan sebagai inferior. Yang menarik,
penyair terkesan sekadar merekam atau memotret tanpa pretensi apa-apa.
Sepertinya, penyair tidak hendak mela-kukan pemihakan, juga tidak mau
menyampaikan fatwa-fatwa. Barangkali, ia sengaja se-kadar menyampaikan sebuah
peristiwa atau mewartakan fakta yang justru telah menjadi pemandangan kita
sehari-hari. Ia telah menjadi bagian dari kehidupan keseharian kaum wanita.
Inilah ironi kehidupan, jika tidak dapat dikatakan sebagai sebuah tragedi
kehidupan kaum wanita. Dengan perekaman dan pewartawan yang seperti itu, kita,
pembaca, malah justru diganggu-gugat rasa kepeduliannya.
Perhatikan kutipan sajak di bawah ini yang memperlihatkan
kepiawaian Toeti Heraty dalam membangun imaji dan menyodorkan ironi tematis.
hari ini minggu pagi kulihat tiga wanita tadi
berjalan lambat karena kainnya kain berwiru
meninggalkan rumah depan menuju jalan
terlentang antara pohon palma berderetan
jari hati-hati memegang wiru kataku
sedangkan tangan lincah mengelus rambut rapi
kenakalan kerikil menggoyahkan tumit selop tinggi
belum lagi angin melambaikan selendang warna warni
Dua bait puisi di atas (“Wanita” hlm. 29) menggambarkan
tiga wanita di hari Minggu pagi, keluar rumah menuju jalan yang di pinggirnya
berderet pohon palma. Dengan hati-hati ketiganya berjalan bersijingkat. Lalu
apa yang terjadi ketika selop ting-ginya menginjak kerikil? Dan pada saat yang
bersamaan angin melambaikan selendang-nya. Mengapa penyair mengatakannya
dengan: kenakalan kerikil menggoyahkan tumit selop tinggi/belum lagi angin
melambaikan selendang warna warni, dan bukan jatuh terjerembab gara-gara
menginjak kerikil, lalu kainnya tersibak lantaran diterjang angin? Dalam hal
ini, penyair sengaja menciptakan imaji yang merangsang kita, pembaca, untuk
membayangkan apa yang terjadi lantaran kerikil dan angin.
Dalam bait-bait berikutnya puisi itu, asosiasi kita
dibawa pada peristiwa yang menggambarkan kerepotan mereka membawa diri,
tawar-menawar dengan tukang beca, dan perjuangan mereka mencapai tempat tujuan:
arisan! Bagi ketiga wanita itu, itulah keriangan, keasyikan dan dinamika
kehidupan mereka. Sebaliknya, bagi si aku liris, peristiwa itu, justru
merupakan pilu yang tak tersembuhkan lantaran mereka tidak menyadari peranannya
sebagai wanita, sebagai manusia. Sungguh ironis!
Ironi yang juga sangat kuat, dapat kita jumpai dalam
puisi “Balada Setengah Baya”. Penggambaran perselingkuhan sepasang manusia
setengah baya yang terjadi di sebuah penginapan “dua jam saja” dalam puisi ini,
sungguh kaya dengan imaji: kondisi hotel yang memilukan, suasana di dalam dan
di luar hotel yang tidak bersahabat, kencan yang berlangsung tergopoh-gopoh,
dan akhirnya ditutup dengan kemafhuman si pelayan hotel: “tadi kamar sudah
dibayar, ini kembalinya/sekalian handuk kami antar/lantas mau pesan minum
apa?”//
Dalam puisi itu, penyair terkesan sekadar memotret
peristiwa, suasana, dan tempat berlangsungnya perselingkuhan itu. Tetapi dunia
persekitarannya tak ada yang peduli. Peristiwa yang sesungguhnya dapat dimaknai
sebagai pelecehan terhadap perkawinan, harga diri manusia, dan ajaran agama
itu, dianggap sebagai sesuatu yang sangat lumrah. Bahkan pelayan hotel pun tak
punya hati untuk mempersoalkannya. Sungguh ironis.
***
Pembahasan ringkas puisi-puisi Toeti Heraty ini, tentu
saja sangat tidak memadai. Meskipun begitu, duduk soalnya bukanlah di situ.
Masih terlalu banyak pertanyaan yang niscaya bakal merepotkan kita jika kita
mencermati puisi-puisi yang termuat dalam antologi ini. Hampir semua puisinya
sangat enak dibaca, tetapi kembali, kita akan terkejut sendiri, betapa derasnya
serangkaian pertanyaan menerjang kita manakala kita berusaha memahami pesan dan
maknanya.
Jika kita hendak menempatkan antologi
Nostalgi=Transendensi sebagai antologi puisi yang memberi penikmatan estetik,
tentu saja antologi ini menawarkan banyak hal. Akan tetapi, sebagai antologi
yang memberi pemahaman tematis, diperlukan pembacaan yang berulang-ulang.
Dengan cara itu, kadang kala, puisi yang bersangkutan berbaik hati, membukakan
jalan yang agak berkelak-kelok dan memberi pencerahan, dan mengajak kita menuju
ke maknanya, meskipun dalam sejumlah puisi tertentu, diperlukan pula alat bantu
lain yang bernama wawasan. Percaya atau tidak, silakan simak sendiri!
***
msm/23/11/2000
[1] A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1989; hlm. 129.
[2] A. Teeuw, Tergantung pada Kata, Jakarta: Pustaka
Jaya, 1980; hlm. 78.
[3] Ibid.
[4] Budi Darma, “Sosok Toeti Heraty,” dalam Toeti Heraty,
Nostalgi = Transendensi, Jakarta: Grasindo, 1995.
[5] Subagio Sastrowardoyo sendiri tidak mengatakannya di
luar arus, melainkan di luar mainstream persajakan modern kita. Tulisan di
Horison itu kemudian dimuat lagi dalam buku Subagio Sastrowardoyo, Pengarang
Modern sebagai Manusia Perbatasan, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 180.
[6] Budi Darma, Loc. Cit., hlm. xiv.
[7] Periksa Ernst Ulrich Kratz, Bibliografi Karya Sastra
Indonesia dalam Majalah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988, hlm.
350-351.
[8] Sajak-sajak Isma Sawitri sebagian besar masih
bertebaran di berbagai majalah. Beberapa di antaranya termuat dalam sejumlah
antologi bersama. Korrie Layun Rampan pernah mengulas serba sedikit
puisi-puisinya dalam Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1997, hlm. 149?190. Dalam buku ini, Korrie juga membincangkan
karya-karya 30 penyair wanita Indonesia, mulai dari Nursyamsu sampai Nenden
Lilis. Di dalamnya ada juga pembicaraan puisi-puisi Toeti Heraty, terutama yang
terdapat dalam Mimpi dan Pretensi (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), berisi 64
buah puisi.
[9] Diah Hadaning telah menghasilkan beberapa antologi,
di antaranya, Surat dari Kota (mendapat penghargaan dari Gapena, Malaysia,
1980), Balada Sebuah Nusa (1979), Jalur-Jalur Putih (1980), Pilar-Pilar (1981),
Balada Sarinah (1985), dan Sang Matahari (1986).
[10] Susy Aminah Azis menghasilkan beberapa antologi, di
antaranya, Seraut Wajahku (1961) sebuah antologi yang masih memperlihatkan
romantisisme, lalu Tetesan Embun (1977) dan Wajah Penuh (1980).
[11] A. Teeuw, Tergantung pada Kata, (Jakarta: Pustaka
Jaya, 1980, hlm. 78-79.
[12] Mengenai puisi yang seolah-olah sekadar
menggambarkan suasana, beberapa kritikus mema-sukkannya ke dalam kotak puisi
suasana. Toto Sudarto Bachtiar dan Ajip Rosidi termasuk dua di antaranya yang
kuat sekali penggambaran suasananya. Lantaran yang hendak digambarkan hanya
suasana, maka puisi-puisi seperti ini, cenderung agak sukar dipahami. Imaji
yang dibangun dalam puisi-puisi sejenis ini sulit dikaithubungkan dengan
sesuatu. Itulah sebabnya, untuk puisi-puisi yang seperti itu, ada juga yang
menyebutnya sebagai puisi gelap, yaitu puisi yang sukar ditangkap pesan dan
maknanya.
***
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18
Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya
dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005).
Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI)
tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai
Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan
menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University
of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan
penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi
Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi
Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita
Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000). http://sastra-indonesia.com/2010/06/ironi-toeti-heraty/
dimanche 13 juin 2021
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire