dimanche 13 juin 2021

Dari Politik Moral hingga Cerutu

Pramono
korantempo.com
 
Memperingati 150 tahun Max Havelaar, Erasmus Huis, Jakarta, menggelar diskusi yang membedah novel karya Multatuli tersebut.
“Ja, aku mau dibatja! Aku mau dibatja oleh negarawan-negarawan jang berkewadjiban memperhatikan tanda-tanda zaman.”
 
Begitu tertulis dalam novel Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda terjemahan H.B. Jassin yang dirilis pada 1972. Novel ini ditulis Eduard Douwes Dekker, asisten residen di Lebak -dulu Jawa Barat, kini Banten. Dekker menggunakan nama samaran Multatuli yang berarti: aku telah banyak menderita.
 
Dekker prihatin atas kesewenangan pemerintah Belanda, terutama tindakan Bupati Lebak Raden Adipati Karta Natanegara terhadap rakyat setempat. Ia mengajukan protes kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Duymaer van Twist. Tapi Dekker justru dipindahkan ke Ngawi, Jawa Timur. Ia menolak pemindahan itu dan meng undurkan diri.
 
Dekker kembali ke Belanda dan menulis Max Havelaar pada 1855. Novel itu hanya ditulis selama tiga pekan. Lima tahun kemudian, novel itu diterbitkan. Sudah 150 tahun berlalu. Masihkah karya Multatuli alias Douwes Dekker itu dibaca
 
Ahli literatur Belanda yang berfokus pada tulisan abad ke-19, Profesor Marita Mathijsen, mengklaim Max Havelaar se bagai karya paling berpengaruh dalam dunia sastra Belanda dan opini publik. Menurut Mathijsen, Max Havelaar tak bisa dikalahkan literatur lain dan menempati urutan paling atas dalam daftar resmi literatur Belanda. “Banyak novel ditulis pada abad ke-19, tapi kebanyakan dilupakan,” katanya dalam dialog peringatan 150 tahun Max Havelaar di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta, Selasa lalu.
 
Max Havelaar, kata Mathijsen, memiliki keunikan dari sisi etika dan estetika. Multatuli mampu menghadirkan realitas sosial dalam penjajahan Belanda di Indonesia. Karakteristik kaum borjuis Belanda dihadirkan melalui Batavus Droogstoppel, makelar kopi di Amsterdam
 
Droogstoppel menjadi salah satu tokoh protagonis yang menulis Max Havelaar. Droogstoppel meminta bantuan Ernest Stern, laki-laki Jerman, untuk bercerita tentang kumpulan tulisan Havelaar yang diserahkan kepadanya. Stern justru memilih bercerita tentang romantisisme perjuangan Havelaar di Lebak, dan kisah percintaan Saijah-Adinda.
 
Menurut Mathijsen, novel itu berpengaruh besar terhadap perkembangan kebebasan berpikir kaum feminis, sosialis, dan reformis. Max Havelaar, yang menceritakan perlakuan tak manusiawi koloni Belanda, kemudian mampu mempengaruhi moralitas politik. Koloni di Indonesia tak boleh lagi menjadikan penduduk pribumi hanya sebagai sumber keuntungan. Tapi kaum pribumi juga harus mendapat pendidikan.
 
Mathijsen menilai Max Havelaar jelas mempengaruhi pemikiran kesederajatan ras. “(Pengaruh Max Havelaar) sama seperti yang dihasilkan Uncle Tom’s Cabin dalam perbudakan di Amerika,” katanya menjelaskan. Tak hanya itu. Pengarang Max Havelaar menjadi nama sejumlah jalan dan sekolah. Namanya juga dijadikan penghargaan sastra. Museum Multatuli pun didirikan di Amsterdam, Belanda, tempat kelahirannya, sebagai penghargaan masyarakat setempat. Bahkan namanya sempat dijadikan merek cerutu.
 
Di Indonesia sendiri, menurut Mathijsen, karya Multatuli juga berpengaruh besar. Keponakan Dekker, Ernest Douwes Dekker -separuh Belanda dan separuh pribumi- membangun gerakan antikolonialisme. Ernest mengubah namanya menjadi Setiabudhi. Presiden pertama Soekarno pun menjadi salah satu pengagum Multatuli.
 
Mathijsen menganalogikan Max Havelaar dengan mahakarya Charles Darwin, Origin of Species, yang terbit setahun sebelum karya Multatuli. Analogi ini dibenarkan guru besar filsafat Universitas Indonesia,
 
Toeti Heraty Noerhadi Rooseno. Menurut Toeti, Max Havelaar mampu bertahan dan eksis dalam perjalanan waktu. “Analogi ini sangat relevan,” katanya. Toeti juga mengakui pengaruh besar Max Havelaar. Dalam karya tulis yang dibuat untuk Museum Multatuli, Toeti mengutip pandangan sastrawan Pramoedya Ananta Toer tentang Havelaar: “pembunuh kolonialisme”.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/09/dari-politik-moral-hingga-cerutu/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria