vendredi 25 juin 2021

Keterasingan, Luka, dan Kehancuran

Aik R Hakim *
Jawa Pos, 27 Des 2020
 
Puisi-puisi Nanda Alifya Rahmah tidak berpretensi sebagai perlawanan terhadap maskulinitas atau hanya berbicara tentang perempuan.
 
Akan lebih mudah membicarakan puisi dari penyair perempuan dalam bingkai keperempuanan, bagaimana pengalaman penyair sebagai perempuan membentuk puisi.
 
Menjadi semakin sulit untuk menahan godaan tersebut apabila puisi juga menampakkan kecenderungan ke arah tersebut, seperti tampak dalam petikan puisi ’’Laila Bekerja’’ berikut: //…tapi kini bahasa dan laki-laki, bahasa laki-laki, wahai kegelapan, bertambah tebal seperti tembok kota yang selalu kesepian: mencakar langit// (halaman 46).
 
Pembaca yang bebal membaca puisi pun dapat menangkap dikotomi antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki yang opresif pada perempuan melalui bahasa sebagai simbol kuasa yang membungkam perempuan, napas yang sama dengan tradisi ecriture feminine.
 
Begitu pula motif tubuh yang merupakan bahan mentah dalam membentuk imaji dalam puisi: mengganti kulit hitamku dengan gambar malaikat yang terluka (halaman 43). Kiasan tersebut berasal dari puisi ’’Perempuan di Jari-Jari Tanganku’’. Sederhana, namun kuat. Hitam dan terluka. Kita dapat mengorelasikannya dengan realitas aktual tentang stereotipe kecantikan perempuan.
 
Tapi, benarkah antologi yang terdiri atas 66 puisi ini merupakan perlawanan terhadap maskulinitas atau hanya berbicara tentang perempuan?
 
Saya kira bukan itu yang ingin dituju. Dikotomi laki-laki dan perempuan dalam antologi ini bukan berbicara pemisahan dan relasi kuasa, bukan pula gender empowerment. Pada puisi ’’Laila Bekerja’’, Nanda menulis, ’’seorang laki-laki yang menolak tua meracik warna kabut dalam puisiku’’.
 
Tidak kita dapati penjelasan warna yang dimiliki kabut dalam puisi. Namun, dapat kita tangkap penerimaan terhadap sebuah kondisi tentang relasi seksualitas.
 
Tradisi ecriture feminine berbicara tentang perebutan phallus melalui bahasa, sebuah hal yang sebenarnya tidak kita dapati dalam puisi Nanda. Akulirik dalam puisi berbicara tentang subjek yang mengalami dan memaknai konstruksi identitas tanpa pretensi menghadirkan wacana gender.
 
Dalam antologi Yang Tersisa dari Amuk Api berserakan tema-tema keterasingan, luka, dan kehancuran subjek. ’’Biarkan diriku menenggelamkan diri dalam air, menjelma kertas larut- hancur’’ (’’Di Sebuah Kampung’’) atau ’’jiwaku tak berjalan, angkasa tak berlantai’’ (’’Menyelami Ruang Kosong’’) merupakan abstraksi atas tema utama puisi juga berkaitan dengan subjek dalam tradisi romantik.
 
Kedua penggalan puisi merupakan pola imaji berkaitan dengan kesadaran subjek dalam kumpulan puisi Yang Tersisa dari Amuk Api. Kesadaran subjek dalam puisi dibentuk melalui kesejajaran posisional dalam teks antara subjek dan benda.
 
Subjek dan benda dalam memiliki kesadaran. Kesadaran kertas adalah untuk larut dalam air, subjek yang merujuk pada benda mengambil alih kesadaran benda.
 
Strategi naratif tersebut merupakan logika teks tentang penyatuan akulirik sebagai semesta puisi untuk menghadirkan sensasi yang merujuk pada kondisi psikologis manusia, tepatnya ego akulirik.
 
Di sisi lain, strategi naratif macam itu membuat puisi dapat mengarah pada beberapa makna yang ingin disematkan pembaca pada puisi. Lapis makna disebabkan tanda-tanda dalam puisi eksis untuk kepentingan penanda, yakni abstraksi atas tema.
 
Oleh karena itu, pembacaan puisi penyair perempuan dengan menempatkan keperempuanan sebagai konteks merupakan kesia-siaan. Saya menikmati Yang Tersisa dari Amuk Api sebagai sebuah strategi subjek, manusia dalam memahami eksistensinya, salah satunya relasi subjek dengan kota sebagai sebuah ruang. Sebuah upaya ’’mengada’’ sekaligus pembebasan.
 
Dalam sebuah puisi berjudul ’’Dengarlah Kota, Impian Kita’’, Nanda menulis: //telingamu melingkar, bundaran taman di perempatan, merekam kesibukan, menonton keputusasaanku, turut di tubuh mesin yang terus bingung mencatat lintasan mahasuram di telapak tanganku// (halaman 24).
 
Personifikasi kota sebagai subjek merupakan pemaknaan tempat yang menghadirkan wacana ruang dalam puisi Nanda sekaligus keterputusan atau isolasi yang dialami akulirik.
 
Kota dalam antologi ini merupakan sebuah representasi kuasa atas subjek. Dalam puisi yang lain berjudul ’’Tanda-Tanda pada Kota’’, Nanda menuliskan ’’sejauh ingatanku menangkap igauan hanya ada kutukan yang menandai kota sebagai kubur’’.
 
Diksi “kota” mengarahkan kita pada sebuah lokasi dengan bangunan kukuh dan suasana yang ramai dengan aktivitas yang padat, menjadikan manusia sebagai mesin penggerak. Merelasikan kota dengan kubur merupakan sebuah upaya pembebasan atas reduksi subjek sebagai sebuah benda.
 
Pembebasan macam itu dimungkinkan sebab antologi ini pada dasarnya merupakan sebuah sensasi. Sensasi yang dihadirkan melalui imaji dalam puisi.
 
Puisi Nanda tidak hadir untuk menyatakan sesuatu, melainkan menampilkan sesuatu. Seperti sebuah monolog yang tak interaktif, Yang Tersisa dari Amuk Api abai pada kehadiran pembaca.
 
Sebab, melalui pengabaian terhadap pembaca, imaji-imaji dalam puisi juga subjek puisi menghadirkan ketidakpastian pembacaan. Bagaimanapun, sebuah antologi yang dilahirkan penyair perempuan rentan dikaji dalam bingkai feminis seperti yang saya nyatakan di awal tulisan.
***
 
Judul buku: Yang Tersisa dari Amuk Api
Penulis: Nanda Alifya Rahmah
Cetakan: I, Oktober 2020
Penerbit: Pelangi Sastra
Halaman: xii + 98 halaman
ISBN: 978-623-7283-90-4

*) Peresensi: Alumnus Sastra Indonesia Universitas Airlangga yang kini menempuh studi S-2 Ilmu Susastra Universitas Indonesia. http://sastra-indonesia.com/2021/06/keterasingan-luka-dan-kehancuran/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria