Cerpen merefksikan kondisi masyarakat yang sesungguhnya.
Reiny Dwinanda
infoanda.com/Republika
Namanya juga pengarang. Ketika situasi politik dan sosial sedang panas,
mereka tak kehilangan nyali untuk berkarya. Kondisi seperti itu justru membuat
gerah sastrawan. Dan karya-karya cemerlangpun bermunculan.
Mari tengok kembali apa yang dihasilkan sastrawan Indonesia di era 1950-an.
Jika sempat menghadiri Lampion Sastra 3 di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki
(TIM), Jumat (13/4) lalu, Anda pasti terkesima mendengar keenam cerita pendek
yang dibacakan Iman Saleh dan Epy Kusnandar. ”Seperti tergelitik dibuatnya.
Petikan cerpen yang dibacakan memiliki kekhasan tersendiri dalam menyindir,”
komentar Adi Bayu, salah seorang penonton.
Tahun 1950-an merupakan masa awal-awal kemerdekaan. Indonesia masih
bergolak. Kali ini, pertentangan terjadi antar-rakyat. Pencetusnya? Aliran
politik dan ideologi yang paling menonjol.
Era 1950-an dapat dikategorikan sebagai momen penting dalam perjalanan
sastra Indonesia. Terlebih, saat itu terjadi perdebatan tentang masa depan
sastra. ”Kala itu, sastra Indonesia disebut-sebut tengah mengalami kevakuman,”
papar Zen Hae, ketua Komite Sastra, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Anggapan tersebut muncul lantaran macetnya produktivitas sastrawan pasca
era gemilang angkatan 1945. HB Jassin mematahkan asumsi tadi. Hasil karya Sitor
Situmorang, AA Navis, Asrul Sani, Utuy Tatang Sontani, Pramoedya Ananta Toer,
dan Subagjo Sastrowardoyo, membuktikan sastra Indonesia tak sampai mengalami
masa kritis.
Di era 1950-an, para pengarang menyodorkan realisme hidup ke ruang baca.
Apa yang mereka tulis benar-benar berpijak dari kenyataan. ”Berbeda dengan
kenyataan magis yang disorot pengarang masa kini,” kata Zen Hae.
Lahirnya partai politik yang mengusung agama bertepatan dengan terciptanya
karya besar dari Ali Akbar Navis. Sastrawan yang lebih dikenal dengan nama AA
Navis itu menggarap Robohnya Surau Kami di Bukit Tinggi, Sumatera Barat — kota
yang pernah menjadi pusat pemerintahan Indonesia. Kepiawaian Navis menyajikan
realita mendudukkan cerpen ini sebagai karya monumental.
Robohnya Surau Kami mencerminkan kondisi masyarkat yang apatis terhadap
keadaan. Ketika menulis cerpen ini Navis bermukim di Bukit Tinggi, Sumatera
Barat yang terkenal dengan semboyan ‘Adat Berlandaskan Agama, Agama
Berlandaskan Alquran’. Navis mencoba mengkritik masyarakat yang hanya
beribadah, mengharap surga, tanpa bekerja memanfaatkan kekayaan alam.
Di era yang sama, pemerintah juga masih belajar menjadi pemimpin bagi
rakyatnya. Utuy Tatang Sontani menangkap fenomena itu dengan jeli. ”Utuy
menyentil pejabat yang suka sok tahu,” tambah Zen Hae.
Adalah cerpen Lukisan yang menjadi medium Utuy untuk mengkritik keadaan.
Lukisan bercerita tentang polah pejabat di masa revolusi. Tokoh ‘Yang Mulia’
sebetulnya tak paham apa sebetulnya lukisan surealisme. Tetapi, ia berlagak sok
pintar di depan orang banyak.
Sementara itu, Pramoedya Ananta Toer berbagi pengalamannya tentang sunat
lewat cerita otobiografis, Sunat yang diambil dari kumpulan cerpen Cerita dari
Blora. Soebagyo Sastrowardoyo meluncurkan Kejantanan di Sumbing dan Sitor
Situmorang melepas Salju di Paris ke publik. ”Keenam cerpen ini mewakili
karya-karya cemerlang tahun 1950-an,” tutur Zen Hae.
Para cerpenis tahun 1950-an, menurut Zen Hae, telah menunjukkan betapa
realisme cukup nikmat untuk dilahap penikmat sastra. Mereka sepertinya hadir
untuk menyeimbangkan relaisme sosialis seperti yang ditulis oleh sastrawan
golongan kiri. ”Realisme tidak jelek.”
Realisme, kata Zen Nae, bisa menjadi kisah yang bagus untuk memuaskan
penikmat sastra. Realisme sastrawan Eropa bisa menjadi contoh. ”Sayangnya, ini lahan
yang sulit untuk digarap. Sukar membuat karakteristik tokoh yang masuk akal,
kuat, dan meyakinkan seperti tokoh-tokoh dalam cerpen era 1950-an.”
Para pengarang yang berkarya di tahun 1950-an mewarisi pelajaran berharga
bagi sastrawan masa kini. Mereka menolak dipasung oleh ketidaknyamanan hidup.
”Terkadang, mereka malah memakai humor untuk menyampaikan pesan,” kata Zen Hae.
Humor bisa ditangkap dalam cerpen Lukisan serta Dari Suatu Masa, Dari Suatu
Tempat garapan Asrul Sani. Kedua sastrawan ini mengangkat persoalan sosial
dengan bungkus humor. ”Tak mudah membuat humor yang mengena sasaran seperti
itu,” ujar Zen Hae.
Bagaimana komentar generasi muda tentang sastra era 1950-an? Sebagian besar
penonton remaja turut terpingkal dan sesekali melontarkan celetukan ringan yang
membuat Lampion Sastra kali ini lebih akrab. ”Walaupun memakai gaya bahasa
lama, saya tetap bisa menikmati,” kata Bambang Utoro.
Bambang menilai cerita-cerita pendek dari tahun 1950-an amat menarik.
Terlebih, ketika dibacakan dengan sangat ekspresif. ”Saya terkesan dengan
petikan cerpen Sunat serta Robohnya Surau Kami,” kata pelajar kelas 10 SMA
Kanisius, Jakarta Pusat.
Menurut Bambang, bobot cerpenlah yang membuatnya betah berjam-jam duduk
bersila di atas tikar. Sedikit membandingkan realitas yang dihadirkan dalam
cerpen era 1950-an dengan cerpen masa kini, ia berpendapat perbedaan hanya
menyangkut latar belakang kehidupan. ”Sementara soal kualitas, tergantung siapa
penulisnya,” penggemar karya-karya Ayu Utami ini menandaskan.
***
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire