vendredi 16 juillet 2021

Berkacalah pada Cerpen

Cerpen merefksikan kondisi masyarakat yang sesungguhnya.
 
Reiny Dwinanda
infoanda.com/Republika
 
Namanya juga pengarang. Ketika situasi politik dan sosial sedang panas, mereka tak kehilangan nyali untuk berkarya. Kondisi seperti itu justru membuat gerah sastrawan. Dan karya-karya cemerlangpun bermunculan.
 
Mari tengok kembali apa yang dihasilkan sastrawan Indonesia di era 1950-an. Jika sempat menghadiri Lampion Sastra 3 di Sanggar Baru, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jumat (13/4) lalu, Anda pasti terkesima mendengar keenam cerita pendek yang dibacakan Iman Saleh dan Epy Kusnandar. ”Seperti tergelitik dibuatnya. Petikan cerpen yang dibacakan memiliki kekhasan tersendiri dalam menyindir,” komentar Adi Bayu, salah seorang penonton.
 
Tahun 1950-an merupakan masa awal-awal kemerdekaan. Indonesia masih bergolak. Kali ini, pertentangan terjadi antar-rakyat. Pencetusnya? Aliran politik dan ideologi yang paling menonjol.
 
Era 1950-an dapat dikategorikan sebagai momen penting dalam perjalanan sastra Indonesia. Terlebih, saat itu terjadi perdebatan tentang masa depan sastra. ”Kala itu, sastra Indonesia disebut-sebut tengah mengalami kevakuman,” papar Zen Hae, ketua Komite Sastra, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
 
Anggapan tersebut muncul lantaran macetnya produktivitas sastrawan pasca era gemilang angkatan 1945. HB Jassin mematahkan asumsi tadi. Hasil karya Sitor Situmorang, AA Navis, Asrul Sani, Utuy Tatang Sontani, Pramoedya Ananta Toer, dan Subagjo Sastrowardoyo, membuktikan sastra Indonesia tak sampai mengalami masa kritis.
 
Di era 1950-an, para pengarang menyodorkan realisme hidup ke ruang baca. Apa yang mereka tulis benar-benar berpijak dari kenyataan. ”Berbeda dengan kenyataan magis yang disorot pengarang masa kini,” kata Zen Hae.
 
Lahirnya partai politik yang mengusung agama bertepatan dengan terciptanya karya besar dari Ali Akbar Navis. Sastrawan yang lebih dikenal dengan nama AA Navis itu menggarap Robohnya Surau Kami di Bukit Tinggi, Sumatera Barat — kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan Indonesia. Kepiawaian Navis menyajikan realita mendudukkan cerpen ini sebagai karya monumental.
 
Robohnya Surau Kami mencerminkan kondisi masyarkat yang apatis terhadap keadaan. Ketika menulis cerpen ini Navis bermukim di Bukit Tinggi, Sumatera Barat yang terkenal dengan semboyan ‘Adat Berlandaskan Agama, Agama Berlandaskan Alquran’. Navis mencoba mengkritik masyarakat yang hanya beribadah, mengharap surga, tanpa bekerja memanfaatkan kekayaan alam.
 
Di era yang sama, pemerintah juga masih belajar menjadi pemimpin bagi rakyatnya. Utuy Tatang Sontani menangkap fenomena itu dengan jeli. ”Utuy menyentil pejabat yang suka sok tahu,” tambah Zen Hae.
 
Adalah cerpen Lukisan yang menjadi medium Utuy untuk mengkritik keadaan. Lukisan bercerita tentang polah pejabat di masa revolusi. Tokoh ‘Yang Mulia’ sebetulnya tak paham apa sebetulnya lukisan surealisme. Tetapi, ia berlagak sok pintar di depan orang banyak.
 
Sementara itu, Pramoedya Ananta Toer berbagi pengalamannya tentang sunat lewat cerita otobiografis, Sunat yang diambil dari kumpulan cerpen Cerita dari Blora. Soebagyo Sastrowardoyo meluncurkan Kejantanan di Sumbing dan Sitor Situmorang melepas Salju di Paris ke publik. ”Keenam cerpen ini mewakili karya-karya cemerlang tahun 1950-an,” tutur Zen Hae.
 
Para cerpenis tahun 1950-an, menurut Zen Hae, telah menunjukkan betapa realisme cukup nikmat untuk dilahap penikmat sastra. Mereka sepertinya hadir untuk menyeimbangkan relaisme sosialis seperti yang ditulis oleh sastrawan golongan kiri. ”Realisme tidak jelek.”
 
Realisme, kata Zen Nae, bisa menjadi kisah yang bagus untuk memuaskan penikmat sastra. Realisme sastrawan Eropa bisa menjadi contoh. ”Sayangnya, ini lahan yang sulit untuk digarap. Sukar membuat karakteristik tokoh yang masuk akal, kuat, dan meyakinkan seperti tokoh-tokoh dalam cerpen era 1950-an.”
 
Para pengarang yang berkarya di tahun 1950-an mewarisi pelajaran berharga bagi sastrawan masa kini. Mereka menolak dipasung oleh ketidaknyamanan hidup. ”Terkadang, mereka malah memakai humor untuk menyampaikan pesan,” kata Zen Hae.
 
Humor bisa ditangkap dalam cerpen Lukisan serta Dari Suatu Masa, Dari Suatu Tempat garapan Asrul Sani. Kedua sastrawan ini mengangkat persoalan sosial dengan bungkus humor. ”Tak mudah membuat humor yang mengena sasaran seperti itu,” ujar Zen Hae.
 
Bagaimana komentar generasi muda tentang sastra era 1950-an? Sebagian besar penonton remaja turut terpingkal dan sesekali melontarkan celetukan ringan yang membuat Lampion Sastra kali ini lebih akrab. ”Walaupun memakai gaya bahasa lama, saya tetap bisa menikmati,” kata Bambang Utoro.
 
Bambang menilai cerita-cerita pendek dari tahun 1950-an amat menarik. Terlebih, ketika dibacakan dengan sangat ekspresif. ”Saya terkesan dengan petikan cerpen Sunat serta Robohnya Surau Kami,” kata pelajar kelas 10 SMA Kanisius, Jakarta Pusat.
 
Menurut Bambang, bobot cerpenlah yang membuatnya betah berjam-jam duduk bersila di atas tikar. Sedikit membandingkan realitas yang dihadirkan dalam cerpen era 1950-an dengan cerpen masa kini, ia berpendapat perbedaan hanya menyangkut latar belakang kehidupan. ”Sementara soal kualitas, tergantung siapa penulisnya,” penggemar karya-karya Ayu Utami ini menandaskan.
***

http://sastra-indonesia.com/2010/07/berkacalah-pada-cerpen/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria