Taufik Ikram Jamil *
Koran Tempo, 23 Agu 2015
SAYA kira, Anda pun menerima pesan pendek pada telepon genggam itu, yang
mengatakan bagaimana warga di sebuah negara merasa diserang oleh suara. Ya, tak
sekedar diganggu suara, tapi diserang suara. Dengan demikian, ada upaya
besar-besaran yang dilakukan pihak tertentu untuk mencapai tujuan khusus tanpa
memedulikan dampak buruknya yang melibatkan semua warga; tak sipil, tak militer,
tak besar, tak kecil, semua terlibat.
Kalau memanglah betul perkiraan saya, baiklah kita baca sekali lagi pesan
itu, kemudian kita diskusikan bersama-sama. Mana tahu, kita dapat membantu
warga di negara tersebut dalam menghadapi persoalan ini. Terlebih lagi,
bukankah kita dapat mempelajari kejadian itu, sehingga dapat berjaga-jaga agar
peristiwa serupa tidak menimpa warga negara kita pula. Terus-terang, saya
khawatir serangan suara itu bisa saja menjalar ke tempat kita, bagaikan perang
dunia. Mana tahu….
Ya, sudahlah, usah kita berandai-andai terlalu jauh. Mari kita baca pesan
itu sekali lagi. Pelan-pelan, usah buru-buru. Saya usulkan agar kita membacanya
dari awal, dari siapa asal pesan itu. Pengirim pertamanya mungkin menggunakan
nama samaran, hanya menyebutkan dirinya dengan satu suku kata saja, Au.
Alamatnya jelas terbaca, kota dan negara asal pesan tersebut terpampang
serta-merta. Waktu yang meliputi pukul alias jam, tanggal, bulan, dan tahun,
juga serupa. Jelas dan terlacak, tiada sedikit pun mengelak.
Au. Ya, kita sebut saja Au. Ia mengawali pesan itu dengan menulis,
“Tuan-tuan dan Puan-puan. Tabik hamba kepada pemilik alam, menulis pesan dalam
diam. Bukan khayalan, bukan pula igauan. Bukan pula hendak mengada-ada, menebar
berita dengan berdusta. Yang pendek tidak secekak, yang panjang tidak
diperpanjang. Sudah menjadi suratan, demikian akhir dalam ingatan, kerajaan
kami sedang rawan. Suara menyerang seluruh warga, azabnya, aduh mak, tiada
terkira.” Begitu, bukan?
Barangkali, untuk tidak membingungkan penerima pesan, Au menjelaskan suara
yang dimaksudkannya. Ya, suara. Kalau ditulis, demikian kata Au, suara itu
berbunyi “siung….” Simbol bunyi dengan titik-titik di belakangnya tersebut
jelas menyarankan bahwa bunyi “ng” terdengar sangat panjang. Bunyi dengung,
begitulah kira-kira. Seberapa bunyi dengung itu, tidak pula disebutkan, tetapi
jelas dapat dirasakan bahwa itu akan lebih panjang daripada jika bunyi “siung”
ditulis tanpa titik-titik di belakangnya.
Tidak disebutkan berapa kali suara tersebut menyambar telinga tiga warga
negara tersebut dalam suatu momen. Tetapi keberadaannya berkali-kali dalam
sehari, waktunya di antara hari yang satu dengan hari yang lainnya
berbeda-beda. Seorang warga, misalnya, pada hari Selasa, disambar suara tersebut
pada pukul-pukul 07.00, 10.30, 14.00, 17.00, 21.00, 00.02, dan seterusnya.
Tetapi tidak demikian pula hari Rabu, Kamis, dan berikutnya. Senantiasa
berbeda-beda jam, itulah kesimpulan yang tepat untuk menggambarkan waktu
terjadinya serangan suara tersebut.
AGAKNYA, serangan suara ini lebih gawat dari serangan senjata api dalam
semua bentuk, dalam suatu perang yang berkobar. Pasalnya, tidak ada tanda-tanda
akan adanya serangan suara. Betapa pun cepatnya, serangan bom akan ditandai
oleh suara bergemuruh atau sejenis dengannya, sebelum benda tersebut meledak.
Tidak sama halnya dengan serangan suara ini, yang datang tiba-tiba saja tanpa
dapat diduga sama sekali meskipun kejadian sudah berlangsung berhari-hari.
Au menulis, sebagaimana lazimnya sesuatu yang baru, suara “siung…” itu
semula dirasakan sebagai peristiwa pribadi. Dia sendiri saja, misalnya, semula
menganggap biasa-biasa saja. Apalagi suaranya tidak begitu kuat memang. Tetapi
setelah berkali-kali mendengar suara itu, Au mulai berpikir, ada apa dengan
telinganya. Dikorek-koreknya si telinga dengan jari, bahkan dilihat oleh isteri
maupun anaknya, tak ada yang salah dengan alat pendengaran itu.
Pun pada awalnya tidaklah begitu mengganggu. Tetapi bayangkan saja kalau
makin lama makin sering suara tersebut menyembar telinga. Kadang-kadang
serangan suara itu datang ketika ia sedang makan, misalnya; bagaimana pun acara
santap tersebut pasti terhenti sejenak. Ketika ia tidur, menyetir, bekerja,
atau apa saja, suara tersebut menyembar begitu saja tanpa aba-aba dan tanpa
memedulikan apa kesibukannya.
Atas saran keluarga, Au memeriksakan diri ke seorang dokter spesialis
telinga. Tanpa ia duga, antrean orang dengan keluhan serupa memang tak
tanggung-tanggung. Mereka juga mengalami apa yang dialami Au. Hasil pemeriksaan
itu mulai mengecutkan hati, yakni bahwa tidak ada masalah dengan telinga Au dan
warga lainnya itu. Dokter spesialis telinga itu sendiri pun terheran-heran dan
mengatakan bahwa ia sendiri belum pernah menjumpai kasus semacam ini. Dengan
amat sungguh-sungguh, ia berjanji akan mempelajari kasus yang mereka hadapi.
Tambah mengherankan karena dua hari setelah hari itu, isteri Au juga
mengalami serangan suara. Perempuan itu terpelanting dari tempat tidur ketika
pertama kali diserang suara itu, padahal ia sedang berlayar dalam mimpi yang
indah. Waktu itu pukul 03.13 dinihari, isteri Au mulai mendengar “suara…”
tersebut. Ia berharap hanya terjadi sekali atau mungkin dua-tiga kali, ternyata
semakin hari semakin banyak suara itu menyerang telinganya.
Begitulah, boleh dikatakan setiap jam, ada saja warga yang mulai diserang
suara. Menjadi puncaknya karena dokter-dokter spesialis telinga di negara ini
juga mengalami hal serupa. Kejadian tersebut disebut sebagai tragedi nasional,
setelah presiden, menteri-menteri, pokoknya semua pejabat sampai ke rakyat
biasa, diserang suara itu. Diserang oleh sesuatu yang serupa dengan tempo dan
volume yang sama pula.
“Masih untung aduhai untung, anak-anak tak dihitung. Suara tak menyerang
pada mereka yang belum berusia 17, entah karena ditimang dengan rasa memelas.
Jadilah mereka sebagai batas, kepada mereka dapatlah kami beralas. Menumpang
senang pada yang disayang, berharap bakti pada yang berhati. Umpama malam
dengan siang, silih berganti datang berdatang. Begitulah kami wahai makhluk
insani,” tulis Au.
MUNGKIN seperti Anda, berbagai pertanyaan begitu banyak menggumpal di benak
saya. Paling besar di antaranya adalah, mengapa peristiwa tersebut terjadi.
Tidak mungkin ini semua turun begitu saja dari langit, sebab senantiasa ada
sebab-akibat dari suatu peristiwa. Banyak terjadi, sebab-akibat tersebut
malahan kait-berkait, jalin-menjalin; kadang-kadang, karena begitu rapatnya
jalinan tersebut, sampai kita tidak bisa lagi membedakan mana ujung dan mana
pangkal dari sebuah peristiwa. Setiap yang bernama jalinan menjadi sebab
sekaligus akibat, begitu pula sebaliknya.
Lalu mengapa pula, orang-orang berusia di bawah 17 tahun tidak atau belum
terserang suara? Berarti ada batas antara manusia yang tergolong anak-anak dan
remaja dan seterusnya. Tentu muncul lagi pertanyaan sehubungan dengan hal ini,
yaitu mengapa batasan tersebut tercipta? Pertanyaan ini makin melebar, manakala
kita sadar bahwa suara yang menyerang itu tahu benar sasarannya dan bagaimana
pula mereka mengetahuinya?
Amati pula gaya bahasa yang digunakan Au dalam menulis pesan-pesan
pendeknya. Saya rasakan, kalimat-kalimat yang digunakannya tidak biasa dalam
jejaring sosial melalui dunia maya yang begitu marak saat ini. Au seperti
beriya-iya benar mengungkapkan sesuatu dengan pilihan bunyi yang tampak tertata
dengan sengaja. Bukan suatu kebetulan. Ya, untuk apa Au melakukan hal ini?
Apakah ia hanya ingin orang senang membacanya, pada yang dikabarkannya adalah
suatu kenestapaan? Apalagi gaya bahasa yang digunakannya tidak lazim, yang
tentu saja menjadi hambatan komunikasi tersendiri pula.
Cuma, hal terpenting dari semua pernyataan di atas adalah sebagaimana yang
ditulis Au, “Tolonglah kami Tuan-tuan dan Puan-puan, sebelum semuanya menjadi
makin tak karuan, membujur berlawanan, melintang bertentangan, segala yang
tampak serba ancaman, semua yang terdengar menjadi makian. Berat diringankan,
runsing diasingkan; umpama kusut hendaklah dilurutkan, laksana bengkok jangan
dibelokkan. Jasa Tuan-tuan dan Puan-puan, pasti tak akan kami lupakan, tak akan
tergeser dari ingatan.”
Meskipun demikian, mencari penyebab terjadinya peristiwa ini bukan sesuatu
yang kecil. Bagaimana pula sebarang tindakan dapat diambil kalau penyebabnya
tidak diketahui. Bisa saja serangan tersebut terjadi setelah suara diperlakukan
semena-mena, misalnya, setelah dinista atau diperjualkan, seperti yang selalu
kita dengar. Jangan katakan tidak mungkin, sebab sekurang-kurangnya begitu
banyak hal yang tak dapat dicerna oleh akal pikiran.
Terlepas dari hal itu, sungguh tak alang kepalang bergetarnya hati saya
ketika membaca kalimat Au berikutnya, “Mengapa Tuan-tuan dan Puan-puan masih
diam tiada berpaham, membiarkan kami dalam kesengsaraan. Adakah perangai kami
yang senantiasa hitam, sehingga semua penjuru menaruh dendam. Seumpama kerakap
tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. Umpama layang-layang putus benang,
terombang-ambing tinggi mengawang. Laksana air di padang pasir, sekejap hilang
tiada mengalir. Mengapa diam, aduhai diam?”
“Ya, mengapa?” tanya saya pada diri sendiri. Anda juga, bukan? Buktinya,
mendiskusikan hal ini saja Anda seperti tak berkenan. Pesan pendek yang saya
tebarkan untuk hal ini, sampai sekarang belum dihiraukan. Wahai…
***
*) Taufik Ikram Jamil menetap di Pekanbaru, Riau.
vendredi 16 juillet 2021
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire