vendredi 16 juillet 2021

Suara 14

Taufik Ikram Jamil *
Koran Tempo, 23 Agu 2015
 
SAYA kira, Anda pun menerima pesan pendek pada telepon genggam itu, yang mengatakan bagaimana warga di sebuah negara merasa diserang oleh suara. Ya, tak sekedar diganggu suara, tapi diserang suara. Dengan demikian, ada upaya besar-besaran yang dilakukan pihak tertentu untuk mencapai tujuan khusus tanpa memedulikan dampak buruknya yang melibatkan semua warga; tak sipil, tak militer, tak besar, tak kecil, semua terlibat.
 
Kalau memanglah betul perkiraan saya, baiklah kita baca sekali lagi pesan itu, kemudian kita diskusikan bersama-sama. Mana tahu, kita dapat membantu warga di negara tersebut dalam menghadapi persoalan ini. Terlebih lagi, bukankah kita dapat mempelajari kejadian itu, sehingga dapat berjaga-jaga agar peristiwa serupa tidak menimpa warga negara kita pula. Terus-terang, saya khawatir serangan suara itu bisa saja menjalar ke tempat kita, bagaikan perang dunia. Mana tahu….
 
Ya, sudahlah, usah kita berandai-andai terlalu jauh. Mari kita baca pesan itu sekali lagi. Pelan-pelan, usah buru-buru. Saya usulkan agar kita membacanya dari awal, dari siapa asal pesan itu. Pengirim pertamanya mungkin menggunakan nama samaran, hanya menyebutkan dirinya dengan satu suku kata saja, Au. Alamatnya jelas terbaca, kota dan negara asal pesan tersebut terpampang serta-merta. Waktu yang meliputi pukul alias jam, tanggal, bulan, dan tahun, juga serupa. Jelas dan terlacak, tiada sedikit pun mengelak.
 
Au. Ya, kita sebut saja Au. Ia mengawali pesan itu dengan menulis, “Tuan-tuan dan Puan-puan. Tabik hamba kepada pemilik alam, menulis pesan dalam diam. Bukan khayalan, bukan pula igauan. Bukan pula hendak mengada-ada, menebar berita dengan berdusta. Yang pendek tidak secekak, yang panjang tidak diperpanjang. Sudah menjadi suratan, demikian akhir dalam ingatan, kerajaan kami sedang rawan. Suara menyerang seluruh warga, azabnya, aduh mak, tiada terkira.” Begitu, bukan?
 
Barangkali, untuk tidak membingungkan penerima pesan, Au menjelaskan suara yang dimaksudkannya. Ya, suara. Kalau ditulis, demikian kata Au, suara itu berbunyi “siung….” Simbol bunyi dengan titik-titik di belakangnya tersebut jelas menyarankan bahwa bunyi “ng” terdengar sangat panjang. Bunyi dengung, begitulah kira-kira. Seberapa bunyi dengung itu, tidak pula disebutkan, tetapi jelas dapat dirasakan bahwa itu akan lebih panjang daripada jika bunyi “siung” ditulis tanpa titik-titik di belakangnya.
 
Tidak disebutkan berapa kali suara tersebut menyambar telinga tiga warga negara tersebut dalam suatu momen. Tetapi keberadaannya berkali-kali dalam sehari, waktunya di antara hari yang satu dengan hari yang lainnya berbeda-beda. Seorang warga, misalnya, pada hari Selasa, disambar suara tersebut pada pukul-pukul 07.00, 10.30, 14.00, 17.00, 21.00, 00.02, dan seterusnya. Tetapi tidak demikian pula hari Rabu, Kamis, dan berikutnya. Senantiasa berbeda-beda jam, itulah kesimpulan yang tepat untuk menggambarkan waktu terjadinya serangan suara tersebut.
 
AGAKNYA, serangan suara ini lebih gawat dari serangan senjata api dalam semua bentuk, dalam suatu perang yang berkobar. Pasalnya, tidak ada tanda-tanda akan adanya serangan suara. Betapa pun cepatnya, serangan bom akan ditandai oleh suara bergemuruh atau sejenis dengannya, sebelum benda tersebut meledak. Tidak sama halnya dengan serangan suara ini, yang datang tiba-tiba saja tanpa dapat diduga sama sekali meskipun kejadian sudah berlangsung berhari-hari.
 
Au menulis, sebagaimana lazimnya sesuatu yang baru, suara “siung…” itu semula dirasakan sebagai peristiwa pribadi. Dia sendiri saja, misalnya, semula menganggap biasa-biasa saja. Apalagi suaranya tidak begitu kuat memang. Tetapi setelah berkali-kali mendengar suara itu, Au mulai berpikir, ada apa dengan telinganya. Dikorek-koreknya si telinga dengan jari, bahkan dilihat oleh isteri maupun anaknya, tak ada yang salah dengan alat pendengaran itu.
 
Pun pada awalnya tidaklah begitu mengganggu. Tetapi bayangkan saja kalau makin lama makin sering suara tersebut menyembar telinga. Kadang-kadang serangan suara itu datang ketika ia sedang makan, misalnya; bagaimana pun acara santap tersebut pasti terhenti sejenak. Ketika ia tidur, menyetir, bekerja, atau apa saja, suara tersebut menyembar begitu saja tanpa aba-aba dan tanpa memedulikan apa kesibukannya.
 
Atas saran keluarga, Au memeriksakan diri ke seorang dokter spesialis telinga. Tanpa ia duga, antrean orang dengan keluhan serupa memang tak tanggung-tanggung. Mereka juga mengalami apa yang dialami Au. Hasil pemeriksaan itu mulai mengecutkan hati, yakni bahwa tidak ada masalah dengan telinga Au dan warga lainnya itu. Dokter spesialis telinga itu sendiri pun terheran-heran dan mengatakan bahwa ia sendiri belum pernah menjumpai kasus semacam ini. Dengan amat sungguh-sungguh, ia berjanji akan mempelajari kasus yang mereka hadapi.
 
Tambah mengherankan karena dua hari setelah hari itu, isteri Au juga mengalami serangan suara. Perempuan itu terpelanting dari tempat tidur ketika pertama kali diserang suara itu, padahal ia sedang berlayar dalam mimpi yang indah. Waktu itu pukul 03.13 dinihari, isteri Au mulai mendengar “suara…” tersebut. Ia berharap hanya terjadi sekali atau mungkin dua-tiga kali, ternyata semakin hari semakin banyak suara itu menyerang telinganya.
 
Begitulah, boleh dikatakan setiap jam, ada saja warga yang mulai diserang suara. Menjadi puncaknya karena dokter-dokter spesialis telinga di negara ini juga mengalami hal serupa. Kejadian tersebut disebut sebagai tragedi nasional, setelah presiden, menteri-menteri, pokoknya semua pejabat sampai ke rakyat biasa, diserang suara itu. Diserang oleh sesuatu yang serupa dengan tempo dan volume yang sama pula.
 
“Masih untung aduhai untung, anak-anak tak dihitung. Suara tak menyerang pada mereka yang belum berusia 17, entah karena ditimang dengan rasa memelas. Jadilah mereka sebagai batas, kepada mereka dapatlah kami beralas. Menumpang senang pada yang disayang, berharap bakti pada yang berhati. Umpama malam dengan siang, silih berganti datang berdatang. Begitulah kami wahai makhluk insani,” tulis Au.
 
MUNGKIN seperti Anda, berbagai pertanyaan begitu banyak menggumpal di benak saya. Paling besar di antaranya adalah, mengapa peristiwa tersebut terjadi. Tidak mungkin ini semua turun begitu saja dari langit, sebab senantiasa ada sebab-akibat dari suatu peristiwa. Banyak terjadi, sebab-akibat tersebut malahan kait-berkait, jalin-menjalin; kadang-kadang, karena begitu rapatnya jalinan tersebut, sampai kita tidak bisa lagi membedakan mana ujung dan mana pangkal dari sebuah peristiwa. Setiap yang bernama jalinan menjadi sebab sekaligus akibat, begitu pula sebaliknya.
 
Lalu mengapa pula, orang-orang berusia di bawah 17 tahun tidak atau belum terserang suara? Berarti ada batas antara manusia yang tergolong anak-anak dan remaja dan seterusnya. Tentu muncul lagi pertanyaan sehubungan dengan hal ini, yaitu mengapa batasan tersebut tercipta? Pertanyaan ini makin melebar, manakala kita sadar bahwa suara yang menyerang itu tahu benar sasarannya dan bagaimana pula mereka mengetahuinya?
 
Amati pula gaya bahasa yang digunakan Au dalam menulis pesan-pesan pendeknya. Saya rasakan, kalimat-kalimat yang digunakannya tidak biasa dalam jejaring sosial melalui dunia maya yang begitu marak saat ini. Au seperti beriya-iya benar mengungkapkan sesuatu dengan pilihan bunyi yang tampak tertata dengan sengaja. Bukan suatu kebetulan. Ya, untuk apa Au melakukan hal ini? Apakah ia hanya ingin orang senang membacanya, pada yang dikabarkannya adalah suatu kenestapaan? Apalagi gaya bahasa yang digunakannya tidak lazim, yang tentu saja menjadi hambatan komunikasi tersendiri pula.
 
Cuma, hal terpenting dari semua pernyataan di atas adalah sebagaimana yang ditulis Au, “Tolonglah kami Tuan-tuan dan Puan-puan, sebelum semuanya menjadi makin tak karuan, membujur berlawanan, melintang bertentangan, segala yang tampak serba ancaman, semua yang terdengar menjadi makian. Berat diringankan, runsing diasingkan; umpama kusut hendaklah dilurutkan, laksana bengkok jangan dibelokkan. Jasa Tuan-tuan dan Puan-puan, pasti tak akan kami lupakan, tak akan tergeser dari ingatan.”
 
Meskipun demikian, mencari penyebab terjadinya peristiwa ini bukan sesuatu yang kecil. Bagaimana pula sebarang tindakan dapat diambil kalau penyebabnya tidak diketahui. Bisa saja serangan tersebut terjadi setelah suara diperlakukan semena-mena, misalnya, setelah dinista atau diperjualkan, seperti yang selalu kita dengar. Jangan katakan tidak mungkin, sebab sekurang-kurangnya begitu banyak hal yang tak dapat dicerna oleh akal pikiran.
 
Terlepas dari hal itu, sungguh tak alang kepalang bergetarnya hati saya ketika membaca kalimat Au berikutnya, “Mengapa Tuan-tuan dan Puan-puan masih diam tiada berpaham, membiarkan kami dalam kesengsaraan. Adakah perangai kami yang senantiasa hitam, sehingga semua penjuru menaruh dendam. Seumpama kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau. Umpama layang-layang putus benang, terombang-ambing tinggi mengawang. Laksana air di padang pasir, sekejap hilang tiada mengalir. Mengapa diam, aduhai diam?”
 
“Ya, mengapa?” tanya saya pada diri sendiri. Anda juga, bukan? Buktinya, mendiskusikan hal ini saja Anda seperti tak berkenan. Pesan pendek yang saya tebarkan untuk hal ini, sampai sekarang belum dihiraukan. Wahai…
***
 
*) Taufik Ikram Jamil menetap di Pekanbaru, Riau.

http://sastra-indonesia.com/2021/07/suara-14/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria