jeudi 29 juillet 2021

Cerpen Gelap di Lembaran Sastra

Maria Magdalena Bhoernomo
Suara Karya, 5 Okt 2013
 
BEBERAPA guru yang mengaku pencinta cerpen di sejumlah lembaran sastra, kerap mengeluh dan bingung saat membaca cerpen-cerpen karya penulis – yang sebelumnya dikenal sebagai penyair – yang dianggapnya sebagai cerpen gelap. Kata mereka, penulis-penulis cerpen gelap terlalu mempermainkan kata, sehingga lupa memenuhi kaidah sastra yang ada. Yang dimaksud kaidah sastra adalah rumusan teori mengenai plot, alur, penokohan, latar, managemen konflik, klimaks atau anti klimaks, sebagaimana yang diajarkan di sekolah.
 
Tentu saja saya mengerti keluhan mereka. Sebab, mereka telah terformat menjadi pendidik yang harus mematuhi kaidah-kaidah yang ada. Mereka ibarat telah terbiasa minum susu sebagai minuman utama, kemudian dipaksa atau terpaksa minum bir, tentu pencernakannya kaget dan mabuk. Dan karena mereka adalah guru, maka saya pun membayangkan betapa banyak pembaca awam yang lebih bingung menghadapi cerpen gelap di koran-koran.
 
Maraknya cerpen gelap di sejumlah lembaran sastra koran belakangan ini, mengingatkan kita pada maraknya puisi-puisi gelap yang ditulis oleh Afrizal Malna dan penyair-penyair epigonnya beberapa waktu lalu. Banyak juga pencinta puisi di negeri ini yang mengeluhkannya.
 
Jika dicermati, penyebabnya sederhana, yakni adanya sejumlah penyair muda yang ingin bereksperimen. Namanya saja eksperimen, tentu harus berani melawan kaidah. Persetan dengan pembaca yang bingung.
 
Berkaitan dengan maraknya cerpen gelap, ternyata memang melibatkan sejumlah penyair muda kita (maaf, tulisan ini tidak menyebut nama, agar tidak menimbulkan kecemburuan). Dalam hal ini, mereka menulis cerpen dengan bahasa puisi, sehingga menerjang kaidah yang ada yang tidak mudah untuk dicerna oleh pembaca awam.
 
Saya suka menyebut cerpen gelap sebagai cerpen puitis. Maksud saya, untuk menikmati cerpen gelap itu memerlukan konsentrasi khusus sebagaimana ketika kita menikmati puisi. Dalam hal ini, justru jika ada kalimat yang kacau, kita akan semakin nikmat membacanya.
 
Tentu, kenikmatan di sini boleh sama dengan kenikmatan seorang penggemar minuman keras yang sedang menenggak arak secara over dosis. Dengan kata lain, semakin bingung semakin nikmat. Persetan dengan logika yang seolah-olah diperkosa atau bahkan dibunuh.
 
Dengan demikian, jika dicermati dengan sikap apresiatif, maraknya cerpen gelap layak disambut gembira, karena hal itu merupakan indikator positif bagi perkembangan sastra kita. Bukankah memang sudah selayaknya jika dalam sastra selalu muncul gairah baru penciptaan karya-karya orisinal? Bukankah memang seharusnya seorang sastrawan berani bereksperimen tanpa memikirkan nasib publik dan karyanya di ruang publik?
 
Jika ternyata karya eksperimen itu langsung dicerna publik tanpa masalah, mungkin justru dianggap kurang berhasil, karena berarti tidak spektakuler. Bukankah karya-karya sastra spektakuler yang pernah ada pada mulanya menghebohkan?
 
Novel Saman misalnya, mulanya begitu menghebohkan, justru karena dari segi bentuk dianggap menyalahi kaidah yang ada. Bahkan, jika kita mengingat puisi-puisi karya Chairil Anwar, pada mulanya juga dianggap sebagai puisi yang tidak mematuhi kaidah yang ada.
 
Begitulah, selayaknya pembaca memang harus bersikap apresiatif, sehingga setiap muncul kecenderungan baru dapat merespon dengan proporsional. Tapi, masalahnya, membaca sastra selalu berkaitan dengan minat dan kegemaran yang bersifat subyektif.
 
Bagi si A, cerpen gelap justru dianggap baik, dan bagi si B justru tidak menarik, dianggap cerpen yang buruk. Di sinilah kebebasan publik tetap merupakan wilayah di luar urusan sastrawan. Bagi sastrawan, urusan berkarya bersifat subyektif. Tapi, ada kalanya sastrawan berkarya bukan semata-mata ingin memuaskan pribadinya, melainkan juga agar karyanya bisa dipublikasikan. Dalam hal ini, jika kecenderungan media massa sebagai sarana publikasi sedang memanjakan cerpen-cerpen gelap maka bisa disiasati dengan memproduksi cerpen-cerpen gelap agar tidak tersingkir. Masalah inilah yang sangat mungkin sedang terjadi belakangan ini, dan perlu disikapi dengan penuh apresiasi, karena berkaitan dengan perkembangan sastra.
 
Jika maraknya cerpen gelap di lembaran sastra ternyata membuat banyak penggemarnya mengeluh lalu kapok membaca, tentu saja juga subyektif sifatnya. Bagi redaktur cerpen sebagai pemegang otoritas publikasi, hal demikian mungkin dianggap sebagai risiko. Sebab, tidak mungkin redaktur cerpen memuaskan semua pembaca, juga semua penulis cerpen. Maka, redaktur memang harus juga bersikap subyektif dalam memilih cerpen yang dianggap layak untuk dipublikasikan. Dan jika kenyataannya hanya cerpen-cerpen gelap yang mendapat porsi publikasi terbesar, bisa saja karena memang cerpen-cerpen gelap saja yang menumpuk di mejanya, atau semata-mata karena ada keinginan untuk mendikte publik agar menyesuaikan diri.
 
Jika dicermati, otoritas redaktur memang sangat menentukan. Bahkan, bisa juga memperkosa publik pembaca, dengan tanpa banyak pertimbangan. Jika ada pembaca mengeluh dengan mudah bisa dituduh sebagai bodoh dan tidak apresiatif terhadap perkembangan sastra. Di sinilah naifnya posisi pembaca, manakala muncul kecenderungan baru di dunia sastra. Mau tidak mau, pembaca harus membaca karya-karya yang dipublikasikan, tanpa memperoleh perhatian dari pemegang otoritas publikasi.
 
Jika boleh diibaratkan, posisi redaktur mirip elite politik: redaktur bisa saja merupakan kader partai (media tempatnya bekerja) yang duduk menjadi wakil rakyat, sedangkan pembaca adalah rakyat.
 
Dalam hal ini, hubungan antara redaktur dengan pembaca bisa ada atau sebaliknya bisa saja tidak ada sama sekali.
 
Dan meski naif, pengibaratan demikian agaknya mendekati kenyataan. Sebab, ada redaktur sastra yang bersikeras menganggap pembaca senang dengan keputusannya yang hanya mempublikasikan cerpen-cerpen gelap, meski kenyataannya banyak pembaca yang mengeluh bingung dan pusing lalu kapok membacanya.
 
Harus diakui, perkembangan sastra, dalam hal ini cerpen, selalu berkaitan dengan selera. Jika selera penulis, redaktur dan pembaca ada kesamaan, dan terus berkelanjutan, akibatnya justru negatif, karena ujung-ujungnya akan membuat sastra seperti jalan di tempat. Namun, jika selera salah satu pihak menihilkan oleh selera pihak lain, atas nama apa pun, agaknya sulit untuk bisa dianggap bijak. Di sinilah diperlukan keseimbangan, dalam arti untuk bisa saling bersikap apresiatif terhadap semua selera yang ada. Sebab, keseimbangan demikian akan melahirkan harmoni dan peluang munculnya kecenderungan-kecenderungan baru yang berkaitan dengan perkembangan sastra.
***

http://sastra-indonesia.com/2013/10/cerpen-gelap-di-lembaran-sastra/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria