jeudi 29 juillet 2021

Parousia

Agus Noor
Kompas, 23 Des 2007
 
Pada malam Natal tahun 3026, aku terlahir kembali ke dunia ini sebagai seekor ular. Aku keluar dari cangkang kesunyianku. Mendesis pelan dan muncul lewat gorong-gorong. Kusaksikan cahaya terang kota yang gemerlapan. Tak ada bintang, dan langit hanya basah. Di kulitku yang licin, udara terasa seperti permukaan piring keramik yang dingin. Sayup kudengar gemerincing lonceng mekanik Jingle Bells mengalun dari juke box di etalase hypermarket, seperti rintihan kesepian. Mobil-mobil silver metalik bertenaga magnetik mendesing lalu lalang di jalanan. Orang-orang bergegas membawa keranjang belanjaan dan kado-kado Natal berbungkus kertas warna-warni. Seorang Sinterklas terkantuk-kantuk di trotoar. Aku benar-benar tak lagi mengenali kota ini. Kota di mana bertahun-tahun lampau, dalam kehidupanku yang lain, aku pernah begitu mencintainya.
 
Dulu aku memang berharap, aku ingin dilahirkan kembali di kota ini, tidak lagi sebagai bocah idiot yang sering diganggu dilempari kerikil atau tomat busuk. Aku tak pernah mengerti, kenapa dulu orang-orang di kota ini begitu senang menggangguku. Mungkin mereka hanya menggodaku. Mungkin mereka butuh hiburan. Mungkin mereka merasa bahagia bila bisa menggangguku. Apabila melihat aku lagi berjalan, orang-orang akan menghentikanku. Memberiku moke, yang membuat kepalaku berdenyut-denyut lembut. Lalu mereka menyuruhku menyanyi dan menari. Mereka tertawa-tawa melihat aku menari-nari. Pasti aku tampak lucu di mata mereka. Aku ikut tertawa saat mereka tertawa. Biasanya, mereka kemudian akan bertanya hal-hal yang terdengar aneh di telingaku.
 
”Berapa dua ditambah dua?”
 
”Tujuh,” jawabku, sambil menunjukkan empat jariku.
 
Mereka tertawa.
 
”Kalau tiga ditambah empat?”
 
”Tujuh,” jawabku, sambil menunjukkan empat jariku.
 
Dan mereka kembali tertawa.
 
”Dasar idiot!”
 
Aku tak pernah mengerti kenapa mereka mengatakan aku idiot. Mungkin karena mulutku yang peyot. Mungkin karena celanaku yang selalu melorot. Mungkin karena tampangku yang terlihat dungu dengan liur kental yang terus menetes. Mungkin karena itulah orang-orang melihatku dengan jijik. Aku ingat, bagaimana orang-orang selalu mengusirku bila melihatku memasuki halaman rumah mereka. Aku tak mengerti, kenapa orang-orang tak memperbolehkan aku masuk rumah mereka. Padahal, bila ada ular masuk ke pekarangan, mereka tak pernah mengusirnya. Mereka selalu membiarkan ular masuk ke rumah mereka. Bila ada ular masuk ke rumah, mereka selalu memberi telur atau sejumput beras buat ular itu. Alangkah menyenangkan jadi ular. Begitu aku selalu merasa iri pada ular-ular yang banyak berkeliaran di kota ini. Aku sering bertemu ular-ular itu. Di ladang, di pinggir jalan, di pepohonan. Kadang kulihat seekor ular melintas menyeberang jalan, dan semua kendaraan yang lewat berhenti. Kurasakan, betapa orang-orang lebih menyukai ular ketimbang diriku.
 
Dari omongan orang-orang, yang kudengar sepotong-sepotong dan tak gampang aku pahami, aku mulai tahu kenapa orang-orang di kota ini suka pada ular. Mereka percaya ular-ular itulah leluhur mereka. Ketika mula dunia tercipta, ketika Bumi masih rapuh, kabut bagaikan putih telur, ketika batu masih berupa buah muda, saat tanah masih serupa kuntum yang ranum, ular-ular itulah muasal leluhur yang mendiami pulau. Leluhur yang selalu membawa rezeki dan nasib baik bagi siapa pun yang didatanginya. Sejak itulah aku mulai berkhayal, betapa enaknya jadi ular. Aku ingin suatu hari nanti bisa berubah menjadi ular. Aku ingin Tuhan akan melahirkanku kembali ke kota ini sebagai seekor ular.
 
Aku mendesis, takjub sekaligus merasa asing memandangi kota yang gemerlapan. Kerlap-kerlip pohon Natal menjulang di tengah-tengah plaza. Lampu-lampu aneka warna menerangi pertokoan yang berderet sepanjang jalan. Aku benar-benar bingung dengan kota ini. Seingatku, sepanjang jalan ini hanya berderet pepohonan, juga beberapa rumah kayu sederhana. Dulu, setiap hari, aku selalu berjalan sepanjang jalanan ini, yang berkelok turun menuju bukit kecil. Kini terentang jalan layang dan jembatan penyeberangan yang bagai digantungkan begitu saja di udara. Mestinya, di pojokan itu ada sebuah gereja. Tapi di situ, kini aku melihat sebuah mal yang megah. Gerbangnya yang menjulang bagai mulut raksasa menganga mengisap orang-orang yang lalu lalang. Cahaya seperti telah menyihir kota ini dan membuatku tak mengenalinya lagi.
 
Kudengar lonceng gereja. Seperti sayup ingatan yang membuatku merasa tak tersesat. Bunyi lonceng seperti itulah yang dulu selalu menuntun perjalananku. Aku suka berjalan mengelilingi kota karena aku suka mendengarkan lonceng gereja. Aku tiba-tiba terkenang pada gereja-gereja yang dulu sering aku singgahi. Aku senang dan merasa tenang bila mendengar suara lonceng gereja yang mengapung menggetarkan udara senja. Dulu, kota ini penuh dengan gereja. Kota dengan seribu gereja. Kudengar kembali gema lonceng itu, seperti memanggilku. Aku merayap menyeberangi jalan. Tiba-tiba kudengar suara jeritan.
 
”Ular! Ular!”
 
Kulihat orang-orang beringsut ketakutan, menatapku yang mendesis merayap pelan menyeberangi trotoar. Meski terkejut dengan reaksi mereka, aku mencoba tak panik. Aku teringat bagaimana dulu orang-orang memberi makanan menyambut kedatangan ular leluhur mereka. Tapi kudengar seseorang berteriak, “Cepat bunuh ular itu! Usir! Pukul” Dan dengan gerakan cepat seseorang mengacungkan tongkat.
 
Instingku merasakan bahaya dan dengan cepat aku melesat menyelusup tumpukan tong sampah. Kenapa mereka ingin membunuhku? Kudengar teriakan-teriakan mengejarku. Terdengar suara-suara tong ditendang. Aku begitu ketakutan, menghilang dalam kegelapan. Saat itulah kudengar suara mendesis pelan.
 
”Ssttt?. Cepat sini?.” Kulihat gadis cilik meringkuk di pojok gelap. “Cepat sembunyi sini?.”
 
Aku memandanginya ragu. Sepasang matanya yang bening membuatku pelan-pelan merasa tenang. Ia mengulurkan tangan, memberiku cuilan roti yang dipungutnya dari tumpukan sampah. “Kamu bandel sekali berani keluar gorong-gorong.” Ia berkata sambil mengelus kepalaku.
 
Kupandangi mata gadis itu, seperti kupandangi sepasang bintang yang menandai kelahiranku kembali ke dunia ini.
 
Dengan tangannya yang mungil, gadis itu memungutku. Aku merasa nyaman dalam dekapannya. Kemudian ia berjalan mengendap-endap, menjauhkan aku dari orang-orang yang kudengar masih memburuku. Suara-suara itu perlahan lenyap dalam gelap. Di belakangku, cahaya kota yang gemerlapan kulihat meredup perlahan ketika gadis ini terus memasuki lorong kelam. Ketika gelap dan sepi terasa lengket seperti ampas kopi, kulihat gadis cilik yang mendekapku ini mengeluarkan rosario dari kantung roknya. Kulihat rosario itu menyala kemerahan, memancarkan sulfur cahaya. Ditentengnya rosario itu seperti ia menenteng lentera. Cahaya pucat kemerahan menerangi lorong yang kami lalui, lorong yang berkelok-kelok, membuatku merasa seperti menyusuri labirin kesunyian yang pastilah akan membuatku tersesat bila sendirian.
 
Sampai kemudian aku melihat bayangan deretan rumah yang rapuh, berdesakan dan bau tengik.
 
”Kita sampai,” kata gadis cilik, sambil menurunkanku dari dekapannya. Saat itulah kudengar suara-suara mendesis pelan keluar dari reruntuhan tembok dan tumpukan kayu lapuk. Kulihat puluhan ular, ratusan ular, mendesis-desis menatapku.
 
Kudengar lonceng gereja yang layu dari kejauhan. Aku diam melingkar di pojokan, menyaksikan bayangan rumah-rumah kumuh yang bagai mengapung dalam kegelapan. Sungguh kota ganjil yang serba temaram. Aku merasa asing, meski aku bisa segera mengenali jajaran pepohonan di sepanjang jalan kota ini. Aku langsung teringat pada kelokan jalan itu, reruntuhan gereja yang kini hanya terlihat sebagai tetumpukan batu bata, juga bayangan bukit-bukit di kejauhan, di mana matahari terlihat menyandarkan cahayanya. Inilah kota yang pada kehidupanku yang dulu selalu kususuri jalan-jalannya. Aku merasa ini tak lebih dari kota lama yang ingin dikekalkan dalam ingatan.
 
Dan seperti menyusuri ingatan, aku merayapi jalanan kota ini, belajar memahami apa yang sesungguhnya telah terjadi. Aku kemudian tahu bahwa kota ini sesungguhnya tak terlalu jauh jaraknya dengan kota yang kulihat saat malam Natal sebulan lalu. Kota ini terletak di pinggiran kota yang gemerlapan itu, hanya dipisahkan oleh kenangan. Lorong di mana dulu gadis cilik itu membawaku adalah jalan menuju ke kota yang penuh cahaya itu. Tapi ular-ular yang kutemui selalu mengingatkan agar aku jangan pernah berani-berani lagi muncul di kota itu. Cara mereka mengingatkanku, seperti tengah meyakinkan betapa tempat terbaik bagi ular macam kami adalah di kota ini
 
Di kota ini, kami ‘ular-ular’ memang dibiarkan berkeliaran. Para penduduk memberi kami sisa makanan mereka meski kadang busuk dan berjamur. Sering kami duduk-duduk dekat anak-anak, saat mereka berkumpul mendengarkan orangtua mereka mendongeng. Aku sangat senang mendengarkan dongeng-dongeng itu dituturkan, terdengar seperti tengah menyanyikan kesedihan. Dongeng tentang kehidupan mereka yang perlahan-lahan terpinggirkan dari kota. Ketika kota mempercantik diri. Ketika bangunan-bangunan bertingkat mulai dibangun. Ketika banyak gereja diruntuhkan, untuk diganti dengan mal-mal. Pada saat itulah, sebagian orang yang mencoba bertahan memunguti sisa bangunan gereja itu, membawanya masuk ke dalam kabut kesunyian. Berusaha membangunnya kembali sebagai tumpukan-tumpukan kenangan. Mereka memunguti puing kota lama yang dihancurkan kemajuan. Pelan-pelan mereka kembali membangun kota mereka, dengan nyanyian dan upacara yang penuh ratapan pada leluhur. Dan ular-ular mengikuti mereka karena di kota yang baru mereka diburu dan tak lagi dituahkan. Di kota yang remang dalam ingatan inilah para ibu mencoba bertahan hidup dengan memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas, dan menghidangkannya buat sarapan pagi anak-anak mereka. Dan pada malam hari mereka memeras air mata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya saat anak-anak mereka sakit.
 
Aku belajar mencintai kota ini. Apalagi gadis cilik itu selalu mengajakku jalan-jalan, seakan-akan ia ingin agar aku mengenal setiap cuil kota ini. Kami belajar saling mengerti kesepian masing-masing. Kami bercakap-kacap dengan bahasa leluhur yang hanya bisa kami mengerti. Ia bercerita bahwa sebenarnya ada jalan tembus melalui gorong-gorong untuk mencapai kota di seberang sana. Aku menemukannya tak sengaja, katanya. Dulu aku sering pergi lewat jalan itu, kalau aku mau menjual rosario. Dulu, bila menjelang Natal, kami memang sering berjualan rosario. Kami mesti menjualnya diam-diam. Sebab bila ketahuan, kami bisa ditangkap petugas keamanan. Dulu banyak warga kota ini yang setiap hari pergi ke kota itu, berjualan biji-biji embun dan bermacam daun, rempah-rempah dan artefak kenangan, menjualnya di lapak trotoar, tetapi selalu diusir. Ia kemudian mengatakan kalau sekarang ia makin sulit menjual rosario. Tak hanya karena dikejar-kejar petugas, tetapi karena sekarang ini sudah jarang yang mau membeli rosario. Sudah lama, anak-anak di kota itu lebih suka dapat hadiah Natal boneka Barbie atau nitendo daripada rosario. Padahal rosario buatan kami luar biasa. Kamu sudah melihatnya, kan?
 
Aku mendesis mengangguk. Kuingat rosario yang memancarkan cahaya itu. Aku pernah melihat bagaimana rosario itu dibuat. Ada salib di tengah reruntuhan gereja di kota ini. Salib itu menjulang, tapi terlihat rapuh, dan Kristus tampak murung dan sengsara dalam lindap cahaya. Pada tubuh Kristus terlilit selang kecil, dengan mangkuk perak berbentuk piala di ujung selang itu. Itulah selang yang dipakai untuk menampung air mata Kristus. Dalam keremangan, salib itu seperti pokok pohon karet yang tengah disadap. Para penduduk di kota ini menampung air mata Kristus, yang mereka percaya, pada waktu-waktu tertentu akan mengalir. Kadang air mata itu menetes bening. Kadang merah serupa darah. Butiran air mata itulah yang kemudian mereka kumpulkan untuk diuntai jadi rosario. Kemudian dijual. Aku ingat, gadis cilik itu pernah berkata kepadaku. “Begitulah, dulu kami bertahan: dengan menyadap air mata Tuhan?”
 
Kepada gadis cilik itu pun aku bercerita tenang kehidupanku dulu. Ia begitu senang saat mendengar kalau pada kehidupanku yang dulu, aku juga penduduk kota ini.
 
”Wow, siapa tahu aku ini salah satu keturunanmu,” teriaknya riang.
 
Tidak. Aku tidak menikah, kataku.
 
”Kamu Pater?”
 
Aku mendesis tersenyum. Dulu aku idiot. Tak ada seorang pun perempuan suka dengan orang idiot.
 
”Tapi aku suka kamu!”
 
Aku menggeliat-geliat dalam dekapannya. Ia menyimak ceritaku dengan mata berkejap-kejap. Ia mendadak terbelalak saat aku bercerita tentang Gereja St Paulus yang sering kudatangi dulu.
 
”Kau tahu,” katanya, “Itu satu-satunya gereja yang masih berdiri!” Mungkin tepatnya: itulah satu-satunya gereja yang sengaja dibiarkan berdiri, boleh jadi sebagai tugu kenangan.
 
Ada perasaan sendu ketika kudengar itu. Kukatakan betapa aku ingin melihat gereja itu. Ah, ia memang gadis yang usil dan nakal, tapi setidaknya ia memahami kerinduanku. “Kita bisa diam-diam ke sana,” katanya.
 
Maka pada malam Natal beberapa bulan kemudian, gadis itu memasukkanku ke dalam keranjang kecil. Ia hendak membawaku mendatangi gereja yang kurindukan itu. Jangan sampai orang-orang di kota itu melihatmu, katanya. Ketika ia berjalan, ia seperti tengah membawa keranjang makanan dan hendak pergi tamasya. Aku melingkar tenang dalam keranjang. Kenangan-kenangan dalam kehidupanku yang dulu seperti bermunculan menenteramkanku. Kami menuju kota itu melalui gorong-gorong rahasia. Kami keluar dari gorong-gorong, tepat di belakang gereja. Dari dalam keranjang anyaman, samar-samar bisa kurasakan cahaya kota yang gemerlapan. Aku takut ada penduduk yang memergoki gadis cilik ini. Pasti mereka mengusir kami..
 
Puji Tuhan, kudengar gadis itu berbisik pelan mengatakan kalau kami sudah sampai dalam gereja. Pelan aku dikeluarkan dari dalam keranjang. Kusaksikan ruangan yang remang, seperti rongga semesta. Kudengar koor Malam Kudus dinyanyikan. Terdengar syahdu dan megah. Cahaya terasa ultim dan kusaksikan fresko katakombe di atas altar itu bagai bergetar.
 
Sampai kemudian aku menyadari, betapa sunyi gereja ini. Tak ada seorang pun mengikuti misa Natal, ternyata. Di dekat altar, kulihat stereo set diputar untuk mengumandangkan nyanyian puji-pujian. Kulihat gadis kecil di sampingku yang hanya menunduk. Mataku nanar melihat tubuh Kristus yang tersalib memandangi bangku-bangku kosong.
***
 
Ledalero, 2006
 
Catatan:
1. Nama tuak/minuman keras lokal di Maumere, Nusa Tenggara Timur.
2. Disitir dan ditulis ulang dari syair tradisi yang mengisahkan penciptaan alam semesta, versi Krowe-Sika.

3. Dikutip dan ditulis ulang dari puisi ‘Ibu yang Tabah’ karya Joko Pinurbo. http://sastra-indonesia.com/2021/07/parousia/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria