jeudi 29 juillet 2021

Jalan Soeprapto

Yetti A. KA *
Jawa Pos, 17 Feb 2008
 
TURUN di Simpang Lima lepaslah pandang ke arah patung kuda. Beberapa waktu lalu -aku lupa tepatnya kapan, segalanya cepat berubah, tiba-tiba aku sudah berada di tempat asing dengan segala sesuatu serba baru- bukan patung kuda itu yang berdiri di sana, melainkan patung perahu indah yang mampu membawaku ke dunia khayali; pelayaran ke pulau-pulau rempah di tengah lautan luas pada masa dulu, embusan angin menerobos batas-batas, membuat asin laut menguar di desa-desa nelayan pinggir pantai. Kenapa kukatakan demikian, karena aku memang sangat suka apa pun tentang laut, terutama perahu-perahu nelayan yang mengembangkan layar melawan cuaca buruk dan ombak besar pada waktu tertentu. Eksotis.
 
Dan kau malah mengajakku bertemu di Simpang Lima, sebab hanya tempat itu yang paling kau inginkan setelah aku menolak tawaranmu bertemu di hotel tempat kau menginap. Celakanya lagi, aku sudah berkata, "Baiklah, tunggu aku."
 
Kau mengancam, "Awas kalau terlambat. Aku bisa menghukummu, Nona."
 
Aku tidak tahu apa aku benar-benar menginginkan pertemuan itu, bahkan ketika aku sudah menunggumu, berdiri di pinggir jalan menghadap patung kuda yang tidak terlalu kusukai itu. Aku merasa biasa-biasa saja, seakan kedatanganmu bukan lagi sesuatu yang bisa mengaduk-adukku. Terlebih, sebelum ini kita sudah membuat sejumlah janji pertemuan di kota lain. Hubungan pertemanan yang hangat, begitu kita beralasan tentang pertemuan demi pertemuan itu.
 
Seorang diri di tepi jalan, dekat traffic light, aku menjelma sebutir buah jatuh yang diabaikan orang-orang. Aku hanya bisa menciptakan keasyikan sendiri dengan menerka-nerka berapa nomor sepatu orang yang lewat di depanku atau menguping sebuah rahasia tidak terduga tentang penyelewengan dana sebuah kantor pemerintah dari dalam mobil berkaca gelap. Tapi sayang, seorang pengamen justru mendekat ke arahku, minta permisi menyanyikan sebuah lagu sendu era 80-an. Mataku terasa sedikit tegang sebelum lagu itu benar-benar berakhir. Kemudian pengamen itu bertanya, bagaimana kalau satu lagu lagi. Aku tertawa. Pengamen itu pergi setelah ia menyanyikan sejumlah lagu lama.
 
Aku kembali sendiri, dan aku lebih suka begini. Tanpa siapa-siapa. Aku bisa menyaksikan banyak hal. Seperti di ujung sana, tepat di depan lampu merah dari arah Jalan Soeprapto, aku melihat kerumunan anak-anak tibatiba pecah seperti bunga durian gugur ditiup angin. Berserakan. Pertunjukan itu dimulai -drama yang seharusnya bisa menganggu perasaan siapa saja bila kebetulan lewat di sana. Dari manakah mereka datang. Aku tahu pasti, tempat ini hanya kota kecil yang dulu begitu lugu dan memiliki harga diri. Nyeri sekali, rasanya, bila sekarang mendapati mata bening kanak-kanak yang lucu berhamburan di jalanan. Anak-anak itu dengan mudahnya berbohong; memasang mata sedih, memelas-melas, bahkan terkadang setengah memaksa. Siapa yang merebut dunia bermain mereka. Dunia bau kencur atau seumur jagung itu.
 
Aku ingin sekali memikirkannya lebih serius sekali waktu. Ya suatu pagi, barangkali, ketika aku bangun tidur dan menyeruput segelas jus belimbing sambil menunggu embun benar-benar luruh dari dedaunan. Saat-saat di mana hatiku sedikit ringan. Sedikit lepas. Bukankah kita perlu berada dalam situasi yang tepat untuk berpikir tentang sesuatu, sekecil atau sesederhana apa pun itu.
 
Tiga puluh menit aku menunggu, kau baru muncul. "Apa aku membuat Nona menunggu lama," kau terlihat santai. Pipiku sudah merah terbakar. Aku tidak bisa lagi tersenyum. Hatiku terasa keras. Kita jalan berdiam-diam, dari Simpang Lima hingga
 
Jalan Soeprapto tanpa tahu tujuan kita sesungguhnya.
 
"Kita cari makan yang enak," suaramu terdengar lebih tenang, jernih dan terkendali. Tidak sepertiku, lebih sering meledak-ledak, terutama dalam keadaan marah atau terpojok. Kau pernah bilang, begitulah kebanyakan perempuan, suka bermain hati. Kalimat yang sama sekali tidak aku sukai karena seolah di balik kata-kata itu kau mau berkata, laki-laki tentu tidak demikian, mereka lebih rasional, lebih cerdas karena itu mereka ditakdirkan berdiri di depan.
 
Aku menahan sesuatu di dada. Bukan waktu yang tepat untuk berdebat soal lelaki dan perempuan. Bukan tempat yang tepat.
 
"Hei," kau memecah ketegangan di kepalaku.
 
"Bagaimana kalau minum teh’di rumah saja," tawarku nyaris kehilangan semangat. Aku sengaja bersikap begitu agar kau menyadari kalau aku mulai tidak menyukai situasi.
 
"Tidak. Tidak. Itu bukan ide yang bagus. Kau tidak boleh berpikir apa pun mengenai rumah karena kita tidak akan pulang sebelum menghabiskan waktu di bawah langit kelabu ini. Ingat, seminggu lalu aku sudah minta sedikit waktu padamu dan kita sudah sepakat saat kita membuat janji pertemuan di kota kecilmu ini. Aku sama sekali tidak berharap kau mengkhianatinya."
 
Aku tersenyum malas,’berdecak kecil. Kukira, kota tempat aku tinggal tidak menempatkan urusan makanan di tempat yang paling penting, sebagaimana kota-kota lain. Teman-temanku bilang, itu karena tradisi orang-orang di sini yang lebih senang makan di rumah ketimbang di luaran. Bisnis makanan akhirnya tidak begitu ramai. Untuk itu jika suatu hari menginjakkan kaki di kotaku, jangan tanyakan tempat makan yang enak. Aku tidak akan pernah tahu ke mana membawamu, selain ke rumahku. Aku bisa menyuguhkan segelas teh aroma melati dan satu toples kacang tojin sebelum hidangan makan malam di meja makan, tentunya. Tapi kau telah menolaknya sebelum aku berpikir apa aku harus mengganti menu kacang tojin itu dengan yang lain atau mengganti teh aroma melati dengan aroma asam manis kopi Sumatera.
 
Kau tertawa sangat lebar, "Kenapa kelihatan bingung."
 
"Entahlah," ujarku ringan.
 
Tawamu tertahan. "Aku tahu kau sedang berpikir ingin mengacaukan pertemuan ini, dan kau tengah memainkan perasaanmu."
 
Kembali kita saling diam. Kaki kita bergerak lambat menyusuri Jalan Soeprapto yang tidak terlalu ramai; beberapa remaja berseragam sekolah tertawa ceria, penjual CD bajakan di pinggir jalan tengah termenung dan sesekali berusaha tersenyum pada orang-orang berwajah dingin yang kebetulan lewat. Berada di Jalan Soeprapto, mengingatkanku pula pada beberapa kawan. Andom dengan bukubuku tergelar di lantai dingin depan sebuah toko manisan (barangkali milik Cina), masihkah dia memasang tulisan "menerima buku bekas". Juga Bagus dengan macam-macam kerajinan dari kulit kayu. Lalu sedang melukis apakah Safrin dan Topik sore ini, ketika udara mulai terasa panas dan awanawan bergerak lambat di langit sana. Acank, apa kabar. Mungkin saja ia tengah mengaransemen sebuah lagu baru atau menulis puisi pendek. Sudah lama aku tidak bertemu mereka. Beberapa bulan ini aku lebih sering keluar kota, mengikuti seminar atau acara. Alasan lain, bisa jadi karena aku mulai ngeri berada di Jalan Soeprapto, apalagi harus melewati Simpang Lima, tempat puluhan mata kanak-kanak dibiarkan berhamburan. Bergulir begitu saja.
 
"Tunggu sebentar, aku belikan kau es krim." Kau berhenti dan singgah di salah satu restoran siap saji yang sedang sepi pengunjung.
 
Beberapa menit kemudian kau keluar dengan dua mangkuk kecil es krim rasa vanilla yang disiram coklat di atasnya. Kesukaanku.
 
"Kau gila," kataku,"’kita jarang sekali menemukan seseorang makan es krim sambil berjalan di sepanjang Jalan Soeprapto, apalagi ia seorang perempuan, dan berumur hampir tiga puluh tujuh tahun."
 
"Kalau lelaki?"
 
"Kadang lelaki bisa makan di mana saja. Mana ada orang yang begitu peduli. Lelaki bebas peraturan."
 
"Lelaki yang malang, hahaha...." Kita tertawa begitu ekspresif. Hatiku lumer sebagaimana es krim mulai menetes di jejari tanganku. Sudah lama aku tidak begini terbuka, telah bertahun-tahun ini. Tepatnya sejak aku menolak seseorang yang mencuri seluruh diriku, dari ujung rambut sampai ujung kaki, karena satu alasan: aku benci sebuah pernikahan, sementara dia menganggap sudah waktunya untuk menikah atau akan terlambat. Perpisahan yang membuatku demikian biru. Beberapa hari aku hanya bisa berada di tempat tidur. Membuka kembali beberapa surat lama dan merobeknya kecilkecil jika ternyata aku tidak menyukai beberapa kata di dalamnya.
 
Kami memutuskan duduk di depan toko sepatu, dekat sekelompok anak muda menjual macam-macam souvenir.
 
"Kenapa kau ingin kita bertemu di kota kecil ini," aku bertanya pelan.
 
"Kau terlalu terburu-buru," sindirmu.
 
Kembali kami tertawa, tidak peduli menjadi tontonan orang-orang.
 
"Waktu bergerak cepat, bukan. Sebentar lagi malam datang," kataku.
 
"Aku ingin kita ditawan malam tepat di Jalan Soeprapto ini, tempat sepuluh tahun lalu kau menolakku. Dulu aku terluka jika mengingat peristiwa itu, tapi sekarang aku sudah bisa tertawa."
 
Aku menangkap segaris sembilu keluar dari tubuhmu, dan matanya mengarah tajam ke dadaku. Jangan. Jangan. Itu sudah berlalu. Telah diredam waktu. Aku merintih. Aku mengeluh. Aku cair bersama sisa es krim dalam mangkuk kecil. Aku ingin jadi es krim. Manis. Harum. Lezat. Terutama karena es krim disukai anak-anak. Aku mau anak-anak. Pipi montok, aroma bedak, minyak telon dan tangis keras malam hari. Tapi aku tidak bisa menikah. Aku takut tidak cocok. Aku ngeri membayangkan perpisahan. Agamaku melarang perceraian kecuali kematian. Lelaki itu meniup udara kosong. Aku menyandarkan tubuh yang mulai terasa berat pada tiang bercat putih kusam. Sampai hari gelap, aku dan dia belum beranjak. Kami hanya diam serupa patung perahu di Simpang Lima. Aku tinggalkan dia. Aku berlayar naik perahu itu. Pelayaran yang hening dan sepi. Hingga dia menarikku kembali dan berbisik, ayo kita pulang! Dan aku tahu, itu artinya aku dan dia sudah berakhir.
 
Sepuluh tahun, dulu.
 
Sudah berlalu. Jauh.
 
Kini ia kembali tumpah dan berceceran di Jalan Soeprapto. Betapa aku ingat sekali detailnya, betapa aku ingat warna muram hari malam. Burung-burung walet berterbangan di atas ruko di Jalan Soeprapto. Suara mereka riuh, membuat tubuhku meremang. Suara yang membuatku tidak pernah nyaman mendengarnya. Entah ada apa.
 
Jalan Soeprapto akan makin tua. Orang-orang pergi. Kau pergi. Lantas aku menjadi perempuan yang menumpuk ketakutan-ketakutan di atas kedua kaki. Lalu masihkah mata kanak-kanak akan berhamburan di Simpang Lima, dan tidak pernah tahu jalan pulang, seperti aku yang tidak pernah bisa pulang pada lelaki.
 
"Kau tahu besok barangkali matahari benar-benar lupa untuk kembali hingga kita terkurung dalam malam selama-lamanya," kau berbisik.
 
Aku tidak mungkin bisa, kataku untuk kesekian kali. Aku harus keluar dari Jalan Soeprapto, melangkahkan lagi kedua kakiku yang makin berat ke tempat-tempat terjauh.
 
Bkl-Pdg, 07-08

*) Yetti A. K, lahir di Bengkulu, bergiat di Komunitas Daun, Padang. Kumpulan cerpennya yang sudah terbit, Numi (Logung Pustaka Jogjakarta, 2005). http://sastra-indonesia.com/2021/07/jalan-soeprapto/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria