jeudi 29 juillet 2021

Konsolidasi Publik Teater Modern, Siapa Peduli?

Maria Magdalena Bhoernomo
sinarharapan.co.id
 
Memperjuangkan teater modern di Indonesia agar dapat hidup sebagai seni panggung (yang dibutuhkan dan membutuhkan publik atau penonton) memang bukan pekerjaan sederhana. Diperlukan napas panjang, kesabaran dan ketekunan yang prima dalam kurun waktu yang bisa saja tak terbatas. Beberapa tahun lalu, seorang pekerja teater, yang juga dikenal sebagai penyair, Sosiawan Leak, pernah berkata bahwa dirinya sedang suntuk melakukan semacam konsolidasi publik teater modern di Solo (Taman Budaya Surakarta), dengan memprakarsai pertunjukan teater yang telah “mapan” dengan teater kampus dan teater sekolahan secara bergiliran di hari yang sama.
 
Maksudnya agar publik teater yang sudah “mapan” dan publik teater kampus atau teater sekolahan bisa bersama-sama hadir untuk menonton semua penampilan teater. Dan hasilnya cukup melegakan, karena setiap pertunjukkan teater selalu dihadiri penonton dengan jumlah yang lumayan. Tapi belakangan, agaknya Sosiawan Leak telah kehabisan napasnya sebagai pejuang teater di Solo. Dan ia pernah mengeluh, betapa ia sebagai seniman perlu juga memperhatikan keluarganya. Dengan kata lain, ia tidak bisa terus-menerus menjadi pejuang atau pahlawan bagi teater modern, yang tidak pernah memperoleh “bayaran semestinya”, karena anak-istrinya butuh makan. Maklumlah, ia telah menjadikan seni sebagai semacam ideologi, maka ia harus memperoleh apresiasi yang layak dari publik yang menikmati keseniannya. Misalnya, kalau ia diundang untuk membaca puisi, ia harus mendapat imbalan.
 
Romantisme Konyol
 
“Kasus Sosiawan Leak” tersebut, agaknya dapat menjadi cermin, betapa memperjuangkan teater modern agar bisa hidup dan punya banyak penonton tidak cukup hanya dengan romantisme. Bahkan, romantisme dalam hal ini tampak konyol, jika dilakukan oleh seseorang yang ingin mengaktualisasikan dirinya secara profesional. Dan dalam sejarahnya, kehidupan banyak teater modern Indonesia memang bergantung pada romantisme yang konyol tersebut. Sehingga, hampir tidak ada teater modern yang mampu menjadi lahan profesi permanen bagi para pekerjanya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa semua pekerja teater modern di Indonesia memerlukan lahan profesi di bidang lain untuk menghidupi diri dan keluarganya kalau tidak ingin mati kelaparan!
 
Namun, jika dicermati, bukan hanya seniman teater modern yang butuh lahan profesi lain untuk bertahan hidup. Seniman-seniman di Indonesia, di luar teater juga membutuhkan lahan profesi lain, karena tingkat apresiasi seni di Indonesia, relatif rendah. Selain itu, pihak pemerintah pun cenderung tidak punya apresiasi terhadap seni. Jika dibandingkan dengan perhatiannya terhadap olahraga misalnya, perhatian pemerintah terhadap seni dapat dikatakan selalu jauh panggang dari api.
 
Agenda Kompetisi
 
Mungkin, teater modern Indonesia akan dapat hidup dengan memiliki publik yang besar jumlahnya, dan para pekerjanya juga bisa menjadikannya sebagai lahan profesi primer, jika diadakan semacam agenda kompetisi mirip kompetisi sepakbola. Dalam hal ini, semua Taman Budaya yang ada di setiap provinsi dapat dijadikan panggung untuk melangsungkan kompetisi dengan skala nasional.
 
Untuk menentukan mana teater yang layak mengikuti kompetisi berskala nasional, sebelumnya perlu dilakukan seleksi atau kompetisi berskala lokal. Misalnya, di masing-masing daerah kabupaten, dipilih teater yang paling bagus untuk mengikuti kompetisi di tingkat provinsi. Dan di masing-masing provinsi, dipilih satu atau tiga teater terbaiknya untuk mengikuti kompetisi berskala nasional.
 
Dalam pelaksanaannya, kompetisi teater modern Indonesia berskala nasional harus dilaksanakan secara rutin setiap bulan di Taman Budaya di semua provinsi, dengan sistem sebagaimana yang dikenal di dalam kompetisi sepakbola. Sehingga, semua kelompok teater berkesempatan manggung di daerah lain, di samping di daerahnya sendiri. Misalnya, kelompok teater dari Sumatera, Jawa dan Bali bisa manggung di Kalimantan dan di Sulawesi, begitu sebaliknya.
 
Dalam pembentukan kepanitiaan dan penyediaan dananya, bisa dilakukan oleh instansi yang berwenang. Misalnya, Menteri Pariwisata dan Budaya yang menjadi penanggung jawab tertinggi, bisa merangkul pihak sponsor yang berasal dari swasta. Kalau Bank Mandiri bisa menjadi sponsor kompetisi sepakbola Liga Mandiri, apakah tidak mungkin jika bank-bank lain tertarik untuk menjadi sponsor kompetisi teater modern?
 
Aset Pariwisata dan Budaya
 
Jika kompetisi teater modern Indonesia benar-benar dapat dilaksanakan secara rutin setiap tahun, bukan tidak mungkin akan menjadi aset pariwisata dan budaya yang sangat berharga. Dalam hal ini, wisatawan domestik bisa dari kalangan pengamat dan penggemar teater di daerah-daerah. Dan wisatawan asing bisa dari berbagai negara yang ingin menontonnya sekaligus melihat obyek-obyek wisata yang ada di Indonesia. Jika dalam sepakbola ada suporter yang disebut “Bonek” yang sangat fanatik mendukung kesebelasan di daerahnya, maka dalam kompetisi teater juga mungkin akan bermunculan fans-fans berat dari banyak daerah yang punya gairah seperti “Bonek”. Sehingga, publik teater akan terkonsolidasi dengan sendirinya.
 
Untuk menjadi “Bonek” dalam kompetisi teater, tentu sangat menyenangkan dibanding menjadi “Bonek” dalam kompetisi sepakbola. Sebab, dalam kompetisi teater tidak akan muncul kerusuhan atau kekerasan yang membabi buta dan membahayakan jiwa.
 
Harus ditegaskan, betapa persoalan kesenian dan kebudayaan, khususnya persoalan teater modern, selayaknya diperhatikan oleh pemerintah, bukan saja demi para pekerja teater saja, melainkan demi seluruh bangsa. Jika sepakbola nasional kita yang melulu kalah di dalam kompesiti regional maupun internasional terus-menerus dimanja-manja dengan dana alokasi dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN), kenapa kesenian semacam teater modern dibiarkan merana? Dalam hal ini, membangun taman-taman budaya di semua provinsi, tanpa mengadakan semacam kompetisi seni (teater), ternyata tidak cukup, dengan bukti betapa banyak taman budaya yang selalu nyaris sunyi tanpa agenda kesenian yang kontinu dengan skala besar (nasional).
 
Pemain Profesional
 
Dengan adanya kompetisi teater modern berskala nasional, maka para pekerja teater mungkin akan bisa menjadi pemain profesional, sebagaimana pemain sepakbola. Dalam hal ini, setiap kelompok teater terbaik di masing-masing provinsi bisa mengontrak pekerja-pekerja teater yang dapat bermain dengan bagus. Maka, penulis skenario dan sutradara pun bisa dikontrak secara profesional. Maka, sistem transfer antarpemain teater bukan hal yang perlu dianggap aneh lagi. Untuk selanjutnya, pemain-pemain profesional dalam dunia teater modern juga bisa ditransfer untuk bermain di sinetron atau di dalam acara-acara drama yang ditayangkan oleh teve. Dengan demikian, dunia teater modern akan berkembang pesat, menjadi bagian dari dunia hiburan yang lebih bergengsi, di mana pemain-pemainnya akan menjadi bagian dari hiruk pikuk dunia selebritis yang bermobil mewah dan punya rumah megah.
***
 
*) Penulis adalah Pencinta Teater, tinggal di Kudus. http://sastra-indonesia.com/2009/12/konsolidasi-publik-teater-modern-siapa-peduli/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria