jeudi 29 juillet 2021

Kami Ingat, Markiyem

Mariana Amiruddin
Jawa Pos, 20 Mei 2007
 
Mereka menebangnya. Daun-daun itu kini berongga. Matahari melaluinya. Menusuk mataku. Aku tak beranjak. Timpalah semua cahayamu ke mataku. Agar aku tak melihat siapapun...
 
Matahari pagi menjelang siang memang ganas. Markiyem memasang kaca mata hitamnya setelah koran pagi itu diletakkan di meja teras. Mulutnya menggeram. Perempuan lanjut usia itu mengambil sebatang rokok yang terselip di kainnya. Ia meraih pemantik, api membakar ujung batangnya. Markiyem mendorong asap dengan mulutnya, jauh. Menimpa wajah cucunya, Rara, yang sedang membawakan teh tubruk panas. "Aduh, Mbah, jangan merokok terus," katanya sambil meletakkan teh. "Ayo diminum Mbah. Sepertinya sedang muram pagi ini."
 
"Lihat ini Ra, baca koran halaman depan." Rara meraih koran dari meja. Ia membacanya: "Aksi Mantan Pelacur". "Aduh, Mbah. Sudahlah jangan dipikirkan."
 
Markiyem menjentik rokoknya, abu yang panjang jatuh tepat di atas asbak. Ia kembali mengisapnya dalam-dalam sampai ke pangkal. Asap dikebulkan lagi. "Kamu lihat kan? Bahkan sudah tua begini, julukan itu masih saja muncul."
 
Rara menghela napas. "Mereka tidak mengerti, Mbah."
"Mereka harus mengerti, kalau masih mau dianggap manusia!" Suara Markiyem berat dan lantang. Rara duduk di sampingnya dengan muka masam. Ia tahu betul masa lalu neneknya.
***
 
Markiyem. Lahir tahun 1929. Waktu kecil ia suka bermain sandiwara. Suatu hari negeri ini di datangi Japun. Mereka datang sampai ke desa. Semua gembira, "Kita tertolong, kita tertolong," begitu teriakan orang sekampung. Orang-orang sudah jenuh miskin. Japun datang dengan senyum. Japun membawa kabar gembira. Markiyem, gadis kecil yang sebentar lagi dewasa itu ditanya dengan manis, "Adik hobinya apa?" Markiyem jawab, "Aku suka sekali bermain sandiwara." Japun mengelus kepalanya, "Adik bisa ikut saya, belajar jadi aktor di sana." Markiyem terbakar gembira. Ia dibawa mereka. Ayah ibu menciumnya dengan cinta. Melambaikan sayang dari jauh. Markiyem menitikkan air mata, berharap kembali dengan sukses.
 
Ternyata Markiyem dibawa ke seberang pulau. Selanjutnya sebuah tempat yang lebih mirip barak. Japun bilang itu asrama sekolah. Katanya ia bersama gadis-gadis lain akan dilatih di situ. Markiyem takut. Malam itu seorang lelaki Japun memaksanya, menindihnya, lalu ia melawan sekuat tenaga. Tapi badannya diangkat naik ke ujung dipan, dan dibanting serta terdorong ke dinding. Belum selesai, datang dua, tiga, dan seterusnya, bahkan semakin hari semakin banyak lelaki Japun menghabisinya.
 
Markiyem bangun dan pergi ke kamar mandi, darah mengucur dari kelamin. Markiyem teriak sekeras-kerasnya. Penjaga datang. Markiyem ditahan dan kepalanya malah dibenturkan ke dinding.
 
Setiap hari selanjutnya Markiyem harus melayani sepuluh lebih orang Japun sekaligus. Akhirnya ia hamil, tapi mereka memaksa menggugurkannya. Perutnya diurut paksa. Selanjutnya terus begitu. Dan dalam paksaan itu Markiyem dipukuli dan ditendangi sepatu lars kalau mereka tak puas.
***
 
Rara masih diam. "Kamu bukan cucuku," tiba-tiba Markiyem bilang. "Tidak ada ibumu. Juga bapakmu. Tidak juga ada yang bisa keluar dari rahimku. Semuanya rusak. Rusak oleh peristiwa itu. Tapi tak ada yang patut disedihkan. Sudah terlalu dalam bekasnya. Sekadar kamu tahu, aku capek dicemooh."
 
Markiyem membuang ludah. "Aku ingin semua orang terutama generasi muda seperti kamu tahu seluruhnya, tidak sepotong-sepotong. Agar semua tahu apa itu perbudakan seks. Apa itu pelacur. Kenapa tubuh remaja perempuan sepertimu jadi sasaran, dengan tipuan mendapatkan pekerjaan. Itu sudah ada sejak dulu. Sekarang pun masih ada. Kamu harus hati-hati. Bangsa penjajah, mental penjajah," katanya dengan nada serak. "Dengar, ternyata sampai hari ini pun mereka tak mengakuinya. Cuih!" Markiyem meludah. Ia meludahi matahari.
 
"Tenang Mbah. Bukan begini caranya, nanti Mbah sakit," ujar Rara. Markiyem terbatuk-batuk. Ia menyeruput tehnya. Dan batuknya semakin hebat, dari mulutnya keluar bercak darah. Ia muntah. Rara menahan tubuhnya yang setelah itu terkulai. Markiyem tak sadarkan diri, ia dibawa ke rumah sakit.
***
 
Rara terdiam di pojok. Markiyem sudah tiada. Ia meninggal di rumah sakit. Rara merenung sendirian, lama ia tinggal dengan Markiyem. Ayah ibunya sudah tiada. Markiyem dianggap neneknya sendiri.
Rara masih terdiam. Pikirannya jauh sekali, jauh ke tahun 1945. Saat Markiyem terlepas dari siksaan itu.
 
Setelah beberapa puluh tahun lamanya, seminggu yang lalu Pemimpin Japun menyatakan tidak pernah ada perbudakan seks waktu itu. Markiyem pun ngamuk. Ia terpeleset di kamar mandi berkali-kali, pikirannya kacau. Merokoknya semakin kuat, Rara dibuat kewalahan.
 
Tiga hari yang lalu Markiyem bersikeras ikut aksi ke Kantor Perwakilan Japun, memprotes pernyataan Pemimpin Japun. Usianya sudah tua sekali, tetapi dengan kain yang melilit tubuh dan kakinya, serta kebaya lusuh yang dikenakannya, Markiyem masih bisa bangkit berdiri dan naik di atas podium, orasi. Kata-katanya sudah tidak jelas. Tapi matanya berapi-api. Rara hanya bisa menjaganya dari jauh. Dari ujung jalan, Markiyem kelihatan tegap dan lantang di atas sana. Beberapa perempuan lanjut usia juga ikut, meskipun tubuhnya sudah bungkuk. Berjalan perlahan dengan kerudungnya yang menjuntai. Dipayungi oleh orang-orang muda karena siang itu panas sekali. Aksi itu ternyata tidak hanya di negeri ini. Di mana-mana, tempat Japun dulu datang dan menjajah. Manusia-manusia yang sudah di ujung hidupnya, masih semangat mencari keadilan.
***
 
Pagi sebelum kepergiannya Markiyem berteriak memanggil-manggil Rara. Ia begitu marah membaca halaman depan surat kabar pagi yang bertuliskan "Aksi Mantan Pelacur". Markiyem tampak terbatuk-batuk dan membiarkan matahari siang memandikan tubuhnya. Sebelumnya ia meminta para tukang menebangi beberapa batang pohon rindang di halaman rumahnya supaya matahari bisa masuk.
 
Markiyem memang tak seperti biasanya pagi itu, ia duduk tak mau beranjak, dan matanya menatap matahari. Ia menantang cahaya. Meski kemudian kacamata hitam itu dipakainya. Rara hanya bisa murung, tak menyangka hari itu adalah hari terakhir Markiyem. Rara memungut surat kabar yang menjadi sebab amarah Markiyem. Tampak beberapa bercak darah yang terpental dari batuk Markiyem pagi tadi. Rara menangis. Ia mengelus surat kabar itu, tepat di foto nenek angkatnya, Markiyem. Foto besar pagi itu di halaman depan. Markiyem orasi, dengan kain kebaya dan sanggulnya yang sederhana. Dan matanya yang berapi-api. Dan mulutnya yang menganga, dan tangannya yang menunjuk ke langit.
 
Ah, Markiyem. Rara menghapus air matanya. Ia menggunting foto surat kabar itu. Tentu dengan membuang kalimat "Aksi Mantan Pelacur". Mengerikan! Rara merobek-robek kata itu dan membuangnya ke tong sampah. Tong sampah itu diliriknya lagi. Ia mengambil kembali sobekan itu, ia bawa ke tengah hamparan daun kering, lalu diambilnya pemantik, api membakar sobekan itu sampai menggunung. Asap mengepul. Ia melempar minyak tanah ke tengah. Api menjulang sampai ke ujung tiang. Rara menatap ujung api dan asap, jauh ke atas langit, seperti menatap Tuhan. Ia melambaikan tangan, "Kami akan ingat itu, Markiyem."
 
Rara berjalan mencapai teras rumah. Ia menemukan selembar kertas kusam, beberapa lembar. Ada tulisan latin di situ. Ia membacanya.
 
Mereka menebangnya. Daun-daun itu kini berongga. Matahari melaluinya. Menusuk mataku. Aku tak beranjak. Timpalah semua cahayamu ke mataku. Agar aku tak melihat siapapun... Semua orang sudah buta. Jaman perang siapa yang paling sengsara? Laki-laki pada angkat senjata. Perempuan yang diperkosa. Dipaksa melayani dulu, dirusak tubuhnya, rahimnya, payudaranya. Mati perlahan-lahan. Lalu orang-orang memanggilnya pelacur. Aku sudah biasa mendengarnya. Aku tertawa saja. Mereka tidak peduli dengan hinaan. Mereka bukan perempuan. Mereka lebih peduli pada laki-laki yang angkat senjata, dan memberinya gelar pahlawan. Siapakah aku? Markiyem. Mantan pelacur Japun. Menjijikan. Ayo matahari! Hanya cahayamu yang kutunggu. Aku mau pergi.
***
 
Percetakan Negara, April 2007 http://sastra-indonesia.com/2021/07/kami-ingat-markiyem/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria