Puthut EA
Kompas, 26 Agu 2007
Ketika aku turun dari angkutan, orang-orang yang mengantar jenazah Bido
baru saja pulang dari kuburan. Sepintas aku melihat, di depan warung kopi Bido,
masih ada tenda kecil dan jajaran kursi, juga ceceran bunga. Aku terus saja
berjalan menuju rumah.
Sore ini, ibuku tidak banyak bicara. Ia hanya membuatkanku kopi, memasukkan
tasku ke kamar, dan membiarkanku sendirian di teras samping. Ia tahu untuk apa
aku pulang, tapi tidak bertanya mengapa aku terlambat mengikuti pemakaman. Aku
juga tidak sempat bertanya, mengapa di dapur ada banyak orang, tikar tergelar
di ruang tamu dan beranda depan. Mungkin akan ada arisan.
Aku bahkan tidak tahu persis apakah aku benar-benar kenal Bido dengan baik
atau tidak. Aku jarang berbicara dengannya, semakin jarang ketika aku sudah
tidak tinggal di kampung lagi. Tapi tidak bisa kumungkiri, ada beberapa
peristiwa di masa laluku yang membuatku merasa mempunyai hubungan khusus
dengannya.
Dua puluhan tahun yang lalu, untuk pertama kalinya aku merasa dikhianati
teman-teman sepermainanku. Saat itu, aku baru duduk di kelas lima sekolah
dasar. Jauh hari, aku dan teman-teman sebayaku merancang untuk menonton wayang
kulit di kota lain yang jaraknya 60-an kilometer dari kampungku. Dalangnya, Ki
Manteb Sudarsono. Semua rencana sudah matang. Tapi tepat di sore hari saat kami
seharusnya berkumpul di pertigaan jalan besar untuk bersama mencegat angkutan,
tidak ada seorang pun yang datang. Padahal aku telah membayar mahal rencana itu
karena sore sebelumnya, aku merengek meminta izin orangtuaku untuk tidak ikut
piknik bareng mereka ke Bali. Sore itu, aku bertekad untuk berangkat sendirian
dengan rasa marah.
Tepat di saat aku hampir melambaikan tangan ke sebuah angkutan yang
terlihat dari jauh, seseorang menyapaku. Aku menoleh. Orang itu bernama Bido.
Umurnya jauh lebih tua dari umurku. Tahu kalau aku akan berangkat sendirian dan
tahu kalau aku tidak mungkin membatalkan rencanaku, ia langsung ikut nangkring
di atas angkutan. Saat aku tanya ia hendak ke mana, ia menjawab ingin
menemaniku. Rasa ragu bepergian jauh dan sendirian, tidak punya famili dan
teman di kota tujuan, mendadak rampung jadi pikiran begitu Bido menemaniku.
Malam itu akhirnya aku menonton sampai tuntas pagelaran wayang yang sudah
kutunggu- tunggu. Malam itu pula, aku merasa seperti laki-laki yang sudah
dewasa. Tidak jauh dari si dalang, aku kelepas-kelepus merokok, bahkan Bido
memberiku segelas kopi yang sudah dicampur dengan sedikit arak, supaya aku
tidak masuk angin karena pagelaran itu diadakan tepat di bibir pantai. Itulah
kali pertama aku minum arak.
Tapi saat itu bukan kali pertama aku merasa ditolong oleh Bido. Beberapa
tahun sebelumnya, Bido juga mengulurkan tangannya, memberi jalan kepadaku untuk
melakukan sesuatu.
Saat itu ada lomba catur menjelang tujuh belasan di kampung. Malam itu aku
masuk babak final. Musuhku bernama Anton, anak seorang mantri suntik yang baru
saja pindah ke kampungku. Ia kelas enam dan aku baru kelas tiga kalau tidak
kelas dua. Aku yakin aku pasti menang di pertandingan itu. Tapi malam itu,
orang-orang berpihak kepada Anton. Mereka itu ada Pak Camat, Pak Lurah,
beberapa polisi dan tentara, ada juga guru ngajiku, semua memihak Anton. Aku
menduga karena bapak Anton juga menonton. Berkali-kali, Anton mengulang
langkah. Kalau aku berpikir lama, mereka menyuruhku cepat-cepat melangkah,
kalau Anton berpikir lama, mereka sibuk mengajarinya. Aku kalah. Aku hanya bisa
membalas ketika di malam resepsi para pemenang diundang naik ke panggung, aku
malah pergi. Ibu yang mengambilkan hadiahku. Begitu sampai di rumah, ketika
hadiah itu diulungkan kepadaku, aku membantingnya. Ibuku hanya diam dan
mengelus-elus rambutku, lalu membuatkanku mi goreng dan telor gulung
kesukaanku.
Kemarahanku kepada Anton mereda ketika suatu saat, sepulang sekolah, Bido
mencegatku. Ia membisiki sesuatu. Segera aku berlari ke rumah. Malamnya, aku
tidak bisa tidur.
Pagi harinya, kampung kami geger. Di halaman depan rumah yang disewa
keluarga Anton terdapat pohon nangka yang sedang berbuah. Dan di pohon itu ada
buah nangka besar yang terpotong separuh. Di dekat buah yang terpotong itu, ada
kertas tertempel dengan bunyi: Njaluk nangkamu separo, ya!
Bukan pencurian nangka yang membuat geger, tapi pencurian nangka dengan
tulisan di pohonlah yang membuat geger. Peristiwa seperti itu baru terjadi
pertama kali di kampungku. Aku semestinya merasa aman. Pohon itu terlalu tinggi
untuk kunaiki. Buah yang hilang separuh itu juga terlalu besar untuk dibawa
oleh anak seumuranku. Lagi pula, malam itu, ibu dan bapakku tahu aku berada di
rumah. Tapi yang tidak pernah kupikirkan adalah, tulisan di kertas itu memakai
spidol besar. Di kampungku saat itu, spidol besar tidak dijual di toko-toko.
Tidak sembarang orang memilikinya. Aku baru sadar kalau aku melakukan kebodohan
ketika siang sepulang sekolah, ibu merapikan spidol besar dari laci dan
menyimpannya di lemari, lalu dikunci. Saat itu, ibu menatapku tajam sekali.
Aku bahkan lupa nama asli Bido. Ia tinggal dengan emaknya di pinggir
kampung, dekat sungai. Rumahnya kecil dan reyot. Mbok Nah, emak Bido, menafkahi
diri dengan mencari kayu bakar dan daun jati yang dicari di hutan.
Awalnya, aku tidak begitu tahu kenapa Bido terlihat begitu perhatian
kepadaku. Barulah ketika aku beranjak besar, aku mengumpulkan kabar-kabar yang
bisa menyusun alasan itu.
Dulu, ibuku adalah wali kelas Bido di sekolah dasar. Tiba-tiba suatu saat,
ibuku diberi tahu kalau Bido ditangkap karena dituduh mencuri kayu dari hutan.
Ibuku marah sekali. Ia lalu ngeluruk pergi seorang diri ke kantor Perhutani
untuk mengeluarkan Bido. Ibuku sangat yakin, Bido tidak bersalah. Bido hanya
membantu emaknya mencari rencek, kayu bakar yang dipunguti dari dahan-dahan yang
sudah jatuh ke tanah. Konon terjadi pertengkaran hebat di kantor Perhutani.
Mungkin karena ibuku menangis, mungkin juga karena ibuku perempuan dan seorang
guru sehingga para petugas Perhutani merasa malu, atau mungkin karena saat itu
ibuku sedang hamil, hari itu juga Bido dikeluarkan dari tahanan polisi hutan
yang terletak di kompleks kantor Perhutani. Aku adalah bayi yang dikandung
ibuku saat ia ngeluruk ke kantor Perhutani itu.
Selepas peristiwa itu, Bido tidak lagi mau meneruskan sekolah. Ia keluar.
Dan semenjak itu, ia tumbuh nyaris menghabiskan waktu di hutan membantu
emaknya. Konon nama Bido diberikan kepadanya karena suatu saat, ia menangis di
sepanjang jalan kampung, melempari dua pemburu yang datang dari kota karena
menembak seekor bido, sejenis elang kecil, yang kerap bertengger di atas pohon
sukun di belakang rumahnya. Bido menangis, melempar kedua pemburu itu dengan
batu sambil berteriak, "Bidoku! Bidoku! Bidoku!"
Jauh di dalam hatiku, aku ingin sekali membalas pertolongan Bido. Dan itu
terjadi ketika aku duduk di bangku sekolah menengah atas. Saat itu, aku harus
sekolah di luar kampung, dan setiap akhir pekan aku pulang. Suatu saat, aku
membawa pulang beberapa kaset film biru. Aku menontonnya dengan beberapa orang
di kampung, termasuk Bido. Setelah itu, Bido sering bertanya kepadaku kapan
lagi aku membawa film ohyes, begitu Bido menyebut film biru karena ada banyak
kata ’oh yes’ di film itu. Beberapa kali aku menyewa film-film ohyes agar Bido
senang.
Tetapi balas budi kepada Bido kurasa impas ketika suatu saat ia tertimpa
masalah. Aku mendengar Bido digelandang ke kantor polisi karena dilaporkan oleh
Haji Munawir. Bido dituduh mencuri rokok di toko kelontong Haji Munawir.
Orang-orang kampung kemudian bisa meyakinkan pihak kepolisian kalau Bido tidak
melakukannya sebab di malam kejadian, Bido tengah berjudi di desa sebelah. Tapi
pengakuan dari orang-orang itu terlambat, Bido sudah telanjur dimasukkan ke sel
berhari-hari, dan ia sudah telanjur malu. Begitu keluar dari sel, Bido mengasah
parang, hampir melabrak Haji Munawir, tapi untunglah ada banyak orang yang
melarang dan menghentikannya di tengah jalan. Yang membuatku tersentuh dan
tiba-tiba merasa ikut terlibat adalah, ketika tengah mabuk arak di warung, Bido
mengatakan betapa menderita emaknya yang sudah tua karena tuduhan itu.
Berminggu-minggu aku berpikir keras, sering pulang ke kampung walaupun
tidak akhir pekan, mengamati sesuatu, membuat perhitungan di secarik kertas,
dan menunggu. Hingga kemudian suatu malam, kupaparkan rencanaku kepada Bido.
Aku bilang, baru saja Haji Munawir menebar benih di kolam ikannya. Jika
habis magrib Bido menutup saluran air yang menuju ke kolam, lalu membobol
tanggulnya dengan lubang dua kepal tangan, maka tepat di tengah malam, kolam
itu akan asat. Dan kalau ia menutup lubang itu lalu membuka lagi saluran air,
maka menjelang pagi, kolam itu akan kembali tergenang air seperti sedia kala.
Tapi kolam itu sudah kosong, tidak ada benih ikan lagi.
Hanya selang beberapa hari, Bido melakukan aksi itu dengan sukses. Butuh
waktu lebih dari sebulan bagi Haji Munawir untuk menyadari bahwa kolamnya sudah
tidak berisi ikan lagi. Tiap sore ia masih ke kolam menebarkan pakan ikan. Baru
sebulan lebih kemudian, seluruh orang kampung melihat Haji Munawir meraung di
sepanjang jalan, menangis, mengumpat dan berdoa.
Setelah kejadian itu, setiap aku bertemu Bido kami saling tersenyum penuh
arti. Tetapi lagi-lagi aku melakukan kesalahan. Saat aku duduk di meja kamarku,
ibu melempar kertas yang berisi coretan-coretan strategi menguras kolam itu.
Coretan itu kusimpan di saku tas sekolahku, dan kali itu aku melemparkan tas
itu di bak pakaian kotor. Seperti biasa, sebelum dicuci, ibu selalu memeriksa
ulang adakah sesuatu yang tertinggal di pakaian-pakaian kotor. Kali itu, ibu
bukan hanya memandangku tajam sekali, tetapi ada air yang berlinang di kedua
pelupuk matanya.
Setelah aku kuliah dan bekerja, hanya sesekali saja aku bertemu Bido,
terutama saat pulang kampung menjelang Lebaran. Beginilah kisah yang kudengar
dan kuamati sepintas, terutama saat aku pulang.
Ketika emak Bido meninggal dunia, Bido menjual tanah dan rumah warisannya,
lalu mendirikan warung kopi di dekat lapangan sepak bola. Ia menyekat warung
kopinya menjadi dua, satu ruang untuk jualan kopi, satu ruang untuk berjudi.
Segera warung kopi itu menjadi warung paling ramai di kampungku. Semua orang
datang ke sana, juga para aparat keamanan. Dan beginilah yang khas dari Bido,
ia duduk-duduk di atas lincak yang terletak di depan warungnya, dengan tenang
menemui polisi atau tentara yang datang. Sementara itu, dua pekerja meladeni
para pengunjung warung kopi dan mereka yang sedang berjudi. Saat itu, Bido
selalu mengenakan sarung, berkopiah, dan memakai pakaian Korpri lengan panjang
yang sudah mangkak, entah lungsuran dari siapa.
Tidak lama kemudian, di warung Bido tersedia arak. Warung itu semakin ramai
saja oleh pembeli dan para penjudi. Bido tetap seperti biasa, menunggu warung
dengan duduk-duduk di depan, tapi saat itu ia sudah mengganti ’seragamnya’
dengan kaus kepolisian berlengan panjang. Dan satu lagi, sebuah jam tangan
melingkar di pergelangan tangannya. Hanya yang aneh, jam yang dikenakannya
tidak jalan lagi alias mati.
Tak lama kemudian, desas-desus berkecamuk. Seusai reformasi, konon Bido
ikut terlibat dalam pencurian kayu di hutan. Ketika nama-nama yang sering
disebut berada di belakang aksi itu membangun rumah mewah dan membeli mobil,
tidak ada yang berubah di diri Bido. Dan saat banyak pencuri tertangkap, para
makelar kayu kehilangan rumah dan mobil mereka, para aparat yang terlibat
dipecat dan dipindah, Bido masih tetap tenang di warung kopinya.
Bido juga disebut-sebut berada di belakang maraknya bisnis judi togel. Tapi
ketika orang-orang penjaga togel berseliweran dengan memakai sepeda motor baru
dan memegang telepon genggam, Bido masih anteng saja, tetap menunggu warung dan
duduk tenang di atas lincak. Hanya lagi-lagi ’seragamnya’ yang berubah, ia
memakai jaket doreng ala tentara. Saat para penjaga togel lari ketakutan karena
operasi judi besar-besaran terjadi, Bido hanya cukup menutup bilik judinya.
Selentingan terakhir yang kudengar tentang Bido adalah saat ia diduga
terlibat mensponsori seorang calon bupati dalam pemilihan langsung di daerahku.
Siapa pun yang tidak mengikuti Bido secara langsung, mungkin akan menepis tudingan
itu, termasuk aku. Bagaimana mungkin seorang yang hanya memiliki warung kopi
dan arak bisa ikut mensponsori pencalonan seorang bupati? Tapi banyak orang
yang bilang, bahwa tandonan uang Bido sejak terlibat pencurian kayu sampai
togel menumpuk, dan semua dipakai untuk urusan pencalonan itu.
Jago Bido kalah. Konon karena kekalahan itulah Bido gampang uring-uringan.
Warung kopinya mulai sepi, dua orang yang membantunya di warung kopi keluar
karena tidak tahan diomeli Bido. Warung kopi Bido semakin sepi ketika
bermunculan warung-warung kopi lain yang memadukan antara warung kopi dengan
meja biliar dan playstation. Bido kemudian jatuh sakit lalu meninggal dunia.
Menjelang magrib, ibu menghampiriku. Ia menyorongkan handuk dan kain
sarung, sambil berpesan singkat, "Cepat mandi. Nanti kamu ya yang mimpin
tahlilan untuk Bido…."
Aku terkejut. Tapi kemudian aku teringat sesuatu. Bido tidak punya istri
dan kerabat. Aku melupakan rasa terkejutku dan segera bertanya ke ibu, di mana
tahlilan akan dilaksanakan?
"Di sini," jawab ibu singkat. Sepasang mata ibu menatapku, tapi
kali ini tidak tajam lagi….
***
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire