vendredi 16 juillet 2021

Kisah dengan Tokoh Fragmentaris oleh Agus Noor

Hudan Hidayat
 
BELAKANGAN ini, pada banyak kesempatan saya kerap mengutarakan kegelisahan seputar menghilangnya “tokoh” dalam cerpen kita. Dan saya yakin, bahwa tak banyak ditemukannya “tokoh-tokoh yang otentik” dalam cerpen terkini bukanlah semata persoalan keterbatasan ruang penceritaan. Ketika Sunaryono Basuki KS menegaskan bahwa characterless short story adalah tak mungkin, maka di sanalah sebenarnya persolan itu berada: bahwa yang jadi soal adalah ketiadaan “tokoh”, bukan ketiadaan pengembangan tokoh atau “penokohan”.
 
Tokoh sebagai personifikasi karakter, juga menjadi semacam representasi gagasan pengarang seputar manusia – atau sebagai upaya menghadirkan “varian dari genus manusia” seperti diyakini Iwan Simatupang – ketika menghadapi peristiwa dan sejarahnya. Pada tingkat itulah pergulatan tokoh akan menentukan karakter dan keotentikannya. Bagaimana pergulatan tokoh itu dihadirkan, itulah yang disebut penokohan dalam cerita.
 
Diskripsi penokohan boleh pendek, boleh berupa sapuan-sapuan kecil, karena keunikan cerpen memang ada pada kepadatannya, kependekannya. Tetapi reaksi dan tanggapan tokoh atas peristiwa yang dihadapi itulah yang akan memunculkan karakterisasi yang kuat dari tokoh itu. Pergulatan pemikiran dan kejiwaan tokoh itulah, yang akan menentukan apakah tokoh itu memang merupakan tokoh yang memiliki karakter yang otentik, yang tak tergantikan.
 
Sepanjang sejarah cerpen Indonesia, barangkali hanya dua kumpulan cerpen yang memperlihatkan upaya untuk melakukan eksplorasi penokohan, yakni “Orang-orang Bloomington” Budi Darma dan “Tentang Delapan Orang” Satyagraha Hoerip. Kisah-kisah dalam kumpulan itu nyaris bertumpu pada tokoh. Tokoh Orez (cerpen “Orez” Budi Darma) misalnya, menjadi otentik bukan semata-mata karena cara pelukisan tokohnya (penokohannya) tetapi karena reaksi dan tanggapan tokoh itu atas peristiwa yang dihadapinya. Emosinya, kemarahannya, kelebatan pikirannya ketika berinteraksi dengan tokoh-tokoh lainnya dan saat memandang dan menghadapi dunia sekelilingnya begitu otentik, hingga tokoh ini tak mungkin tergantikan dengan tokoh dengan karakter yang berbeda.
 
Begitu pun tokoh-tokoh dalam kumpulan Satyagraha Hoerip itu, seperti Miranda Devanand atau Umiko Matsui terasa otentik bukan semata-mata lantaran diskripsinya yang memang benar-benar detail, seperti “Ada tahi lalat kecil di sudut mata kirinya. Kecil sekali.”
 
Dua buku ini, saya kira, menarik untuk dilihat sebagai upaya seorang pengarang melakukan “proyek penokohan” dalam proses kreatifnya. Dengan begitu, tokoh menjadi kuat atau tidak, tipis atau tidak, sesungguhnya bukan hanya dikarenakan ketiadaan detail diskripsi tokoh tersebut. Bukan pada ketiadaan atau kurangnya penokohan, tetapi karena memang tiadanya otentisitas karakter.
 
Cerpen “Safrida Askariyah” Alimudin bisa kita jadikan soal. Tokoh dalam cerpen ini adalah seorang perempuan Aceh korban kekerasan DOM yang kemudian menjadi anggota Askariah, pasukan perempuan GAM. Dalam cerpen ini kita nyaris tak menemukan diskripsi tokoh itu, hingga kita tak pernah tahu seperti ada rupa wajah tokoh yang bernama Safrida ini. Kalau dia orang Aceh, tak ada ciri apa pun yang membuat kita yakin bahwa Safrida memang perempuan Aceh. Bukan perempuan Jawa, atau Manado. Dan lebih-lebih kita tak melihat reaksinya yang khas dan otentik sebagai seorang pejuang yang tetap memendam dendam ketika orang-orang di sekelilingnya bergembira menyambut perjanjian damai.
 
Reaksinya yang umum dan nyaris sama saja sebagaimana reaksi para korban lainnya, membuat tokoh ini hanya semata-mata menjadi “gambaran umum” tentang seorang perempuan korban kekerasan.
 
Inilah gejala yang banyak kita rasakan dalam cerpen kita terkini, di mana tokoh lebih sering menjadi representasi dari gambaran sosiologis.
 
Mungkin benar seperti dinyatakan Sunaryono, cerpen “yang berfokus pada tokoh dianggap mengekang”, hingga kemudian “mengeksploitasi unsur-unsur lain dari sebuah cerpen”.
 
Cerpen Indonesia terkini memang sepertinya lebih mementingkan eksplorasi cara berbahasa dan bercerita, hingga yang lebih menonjol adalah unsur suasana dan peristiwa. Tak mengherankan bila dalam cerpen “Anak Ibu” Reda Gaudiamo kita tak menemukan diskripsi penokohan, karena alur dan karakter tokohnya hanya bisa “kita duga-duga” melalui percakapan seorang ibu dan anaknya.
 
Hal yang sama bisa kita rasakan pada cerpen-cerpen Djenar Maesa Ayu, yang selalu hadir samar-samar, hingga kita selalu tergoda untuk mengidentifikasi tokoh-tokoh itu dengan pengarangnya. Seolah-olah, kita baru bisa memperoleh gambaran tokoh Nayla, misalnya, bila kita mengaitkannya dengan sosok Djenar sendiri.
 
Tentu saja, pada banyak cerpen kita masih menemukan tokoh dengan karakter yang otentik. Seperti tokoh-tokoh jembel yang ditulis Joni Ariadinata, yang sarkas, kasar dan keras.
 
Atau kegilaan dan keganjilan tokoh-tokoh Hudan Hidayat yang selalu terobsesi dengan darah dan kematian.
 
Pada Joni, kita menemukan reaksi-reaksi yang khas dari orang-orang jenis bromocorah. Sedang pada Hudan kita berhadapan dengan tokoh yang memiliki cara berpikir yang memang aneh.
 
Tetapi sebagaimana pada kasus Djenar, karena pemberian tokoh yang kadang tak terlalu kuat, pembaca kemudian kerap mengaitkan tokoh-tokoh yang ditulis itu dengan riwayat pengarangnya.
 
Dalam konteks ini, contoh paling gres adalah cara Mariana Amiruddin melihat tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen “Manusia Ikan” Hudan Hidayat, sebagai bagian integral dari obsesi pengarangnya: “Bahwa karya-karya Hudan adalah dirinya dan hidupnya”.
 
Apa yang bisa dibaca dari gejala itu?
 
Pertama, barangkali kita (atau para pengarang kita) memang tak lagi menemukan karakter-karakter yang unik dan otentik dalam lingkungan sosiologis kita. Bila ini benar, tiadanya tokoh dalam cerita kita adalah gambaran sebuah masyarakat yang tengah mengalami penyeragaman karakter. Atau bagaimana situasi sosial politik kita sekarang ini tidak memungkinkan bagi hadirnya satu kepribadian yang unik dan otentik. Apakah ini akibat dari upaya membangun masyarakat yang “berkepribadian nasional”?
 
Kedua, itu adalah gejala ketidakmampuan kita untuk menemukan dan menghadirkan tokoh dengan otentisitas karakter yang kuat. Karena ketidakmampuan itulah, para pengarang kita kemudian memakai riwayat dan sejarah hidupnya untuk menjadi model tokoh-tokoh yang ditulisnya.
 
Di sinilah, saya kemudian tertarik dengan apa yang dikembangkan oleh Radhar Panca Dahana dalam cerpen-cerpen yang belakangan ini ditulisnya, seperti “Senja Buram, Daging di Mulutnya”.
 
Radhar seperti meyakini bahwa saat ini kita tak mungkin menghadirkan “tokoh yang bulat utuh”, round character, karena memang kenyataan di mana para pengarang hidup juga semakin fragmentaris, di mana potongan-potongan peristiwa nyaris hadir serempak menghentak.
 
Karena itu, penokohan yang fragmentaris menjadi jalan yang mungkin untuk ditempuh.
 
Mungkin, yang terjadi saat ini memang bukan cerpen dengan “tipis tokoh” seperti dinyatakan Goenawan Mohamad, tetapi cerpen dengan tokoh-tokoh yang fragmentaris. Tokoh dengan penghadiran yang fragmentaris. Pikiran dan kejiwaan yang fragmentaris. Dan ini menjadi gambaran bagi realitas kita yang memang makin fragmentaris.
 
Inikah salah satu gejala postmodernisme dalam cerpen kita?

2008-02-27 05:52:46 http://sastra-indonesia.com/2009/03/kisah-dengan-tokoh-fragmentaris-oleh-agus-noor/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria