mercredi 28 juillet 2021

Memaknai Puasa dengan Puisi Tardji

Kuswaidi Syafi’ie
Jawa Pos, 31 Agu 2008
 
Ibadah puasa adalah sebujur ritual yang paling rahasia di antara sekian ritual yang lain. Salat, zakat, dan haji adalah ritual-ritual yang selalu ”terpublikasikan” dengan sendirinya dan bersinggungan secara langsung dengan orang-orang sekitar. Sementara puasa sepenuhnya merupakan ”perjumpaan aku-Engkau” yang tidak mungkin terendus oleh siapa pun yang lain kecuali kalau perjumpaan sakral itu sengaja dipamerkan.
 
Dalam telaga dan diskursus sufisme, pelaksanaan puasa yang ideal sesungguhnya tak lain merupakan penyerahan diri seseorang (shaim) secara habis-habisan ke hadapan-Nya. Ketika dia menahan diri dari kemungkinan makan, mencegah diri dari kemungkinan minum, menyingkirkan diri dari kemungkinan melakukan hubungan seksual di siang hari, pada dasarnya dia sebenanrnya sedang berusaha memampatkan ”jalan-jalan” hidupnya yang nisbi demi memutlakkan dan menyuburkan satu-satunya jalan lempang yang berujung nun di hadirat-Nya sana.
 
Berupaya memutlakkan dan menyuburkan satu-satunya jalan itu tentu saja tidak bisa serta merta membuat seseorang terhindar dari cekaman risiko. Dirinya yang merupakan adonan kuat antara dimensi kebendaan dan kerohanian yang nirbenda, antara dimensi nasut yang sumpek dan dimensi lahut yang melampaui angkasa, pada tahap-tahap awal pasti dia merasakan gigitan-gigitan sakit, bahkan mungkin sakit itu tidak kepalang.
 
Inilah barangkali yang coba diisyaratkan oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam sebiji puisinya yang berumbul Perjalanan Kubur (Jakarta: O Amuk Kapak, Yayasan Indonesia dan Majalah Horison, cet. ke-2, 2002): ”luka ngucap dalam badan/ kau telah membawaku ke atas bukit ke atas karang ke atas gunung/ ke bintang-bintang.”
 
Idiom luka itu pastilah merupakan referensi sekaligus representasi dari sekujur badan, tidak boleh tidak. Sebab pasti, hanya badan dan bayang-bayangnya yang berujud dunia psikis yang sangat mungkin tergocoh luka. Sementara dimensi rohani yang tak lain merupakan semburan ruh-Nya sendiri, dengan sendirinya pasti berkelebat ketika luka mau mencengkeramnya.
 
Luka yang bertaut dengan badan itu minimal terbelah menjadi dua. Yang satu adalah luka yang tidak tertanggungkan, baik oleh badan maupun oleh dimensi psikis. Luka jenis ini adalah badai prahara yang pasti tega menyorong seseorang pada jurang kehancuran yang kelam. Orang yang digandoli luka jenis ini tidak akan menemukan kejembaran dan keceriaan hakiki dalam hidupnya. Yang bertahta padanya hanyalah murung dan rengsa. Baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Na’udzu billahi min dzalik.
 
Sedangkan yang satunya lagi adalah luka yang tertampung secara apik di lubuk keimanan seseorang. Luka macam ini tertebus oleh tangguhnya kesabaran yang secara sufistik jauh lebih kukuh dan lebih luas ketimbang seluruh alam raya. Orang yang memiliki kesabaran seperti ini menjelma keluasan tak terkira sehingga dia menjadi makrokosmos di hadapan semesta yang ”mengecil” menjadi mikrokosmos. Segala sesuatu yang beraneka ragam dan berjibun-jibun bisa tertampung di dalam hatinya. Bahkan Allah swt pun sudi untuk bersemayam di dalamnya, sebagaimana yang pernah diwartakan-Nya sendiri melalui sepotong hadis qudsi: ”Langit dan bumiKu tidak sanggup menampungKu, tapi hati seorang hambaKu yang beriman dan sabar sanggup menampungKu.”
 
Luka jenis yang terakhir inilah yang sewaktu-waktu bisa menjadi piranti bagi seseorang untuk mendapatkan sayap-sayap rohani yang menjuntai ramah dari alam malakut-Nya. Dan ketika dia telah mengenakan sayap-sayap rohani itu, maka dia akan mudah sekali untuk terbang ke bukit, ke karang, ke puncak gunung, ke bintang-bintang, sebagaimana diungkap oleh baris puisi di atas.
 
Sebagaimana yang lazim digunakan dalam kepustakaan bahasa puisi, idiom bukit, karang, gunung, dan bintang-bintang dalam puisi Sutardji itu pastilah bermakna majazi atau simbolik. Idiom-idiom itu tidaklah menunjuk kepada benda-benda atau wilayah-wilayah tertentu secara wadag, akan tetapi mengacu pada sejumlah tahapan atau pengalaman spiritual (experience of religion) yang merupakan penanda bagi adanya pencapaian-pencapaian yang telah diterobos oleh seseorang.
 
Ketika seseorang dengan girang mengalami pencapaian-pencapaian rohani itu, maka puasa secara substansial baginya betul-betul merupakan sumbat terhadap berbagai lubang atau jalan yang menuju ke arah selain-Nya. Hidupnya menjadi laksana pohon yang tidak bercabang, tapi sepenuhnya runcing dan ”menohok” ke arah ketakterhinggaan-Nya.
 
Seseorang yang berpuasa secara hakiki seperti ini tidak akan merasa menahan lapar ataupun haus. Sebab, lapar dan hausnya semata tertuju kepada Allah swt, bukan terutama kepada makanan ataupun minuman yang sangat menggiurkan sekalipun. Dan, Allah swt yang keramahan-Nya tidak perlu diragukan oleh siapa pun itu senantiasa bersedia untuk memenuhi raungan lapar dan gelegar hausnya dalam sebuah perjumpaan transendental yang bernama cinta.
 
Seluruh rangkaian hidup dan mati orang itu diletakkan di atas nampan cinta dan disodorkan sepenuhnya kepada Allah swt. Dan, tidak tanggung-tanggung balasannya: Dia Yang Mahapemurah itu juga menghablurkan seluruh kedirian-Nya kepada orang itu. Itulah yang oleh orang-orang sufi disebut dengan ridha, nilainya bisa melampaui keimanan seluruh alam semesta. Sehingga kalau ditimbang antara ”sebutir” ridha dengan seluruh keimanan yang ada, maka seluruh keimanan itu belumlah berarti apa-apa.
 
Dalam kondisi dibaluri oleh ridha itu, dia bisa dengan legawa berucap sebagaimana Sutardji berucap: ”lalat-lalat menggali perigi dalam dagingku/ untuk kuburmu alina.” Yakni, segala sesuatu yang pahit begitu leluasa menggedor-gedor lapis permukaan dari aku-lirik. Dan, si aku-lirik membiarkannya dengan penuh ketulusan dan penerimaan demi sesuatu yang sungguh mulia: terkuburnya segala kekasih yang selain-Nya (alina) demi tercapainya puncak pergulatan cinta dengan Yang Mahaesa.
 
Allahummaj’al hubbaka ahabba ilayna minal mail barid. Amin.
***

*) Kuswaidi Syafi’ie, penyair yang juga dosen Tasawuf di PP Universitas Islam Indonesia Jogjakarta. http://sastra-indonesia.com/2008/09/memaknai-puasa-dengan-puisi-tardji/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria