mercredi 28 juillet 2021

Ibu Kita Raminten karya Muhammad Ali: Novel Potret Sosial

Tirto Suwondo
Kedaulatan Rakyat, 19 April 1987
 
Sebagai seorang pengarang, atau sastrawan, Muhammad Ali dapat dikategorikan sebagai pengarang yang banyak mengangkat dunia sosial. Baik di dalam novel, cerpen, drama, maupun puisi-puisinya, pengarang kelahiran Surabaya pada 23 April 1927 ini lebih sering mempermasalahkan manusia bawah (orang miskin). Ajip Rosidi menyatakan bahwa, sebagai contoh, sandiwara berjudul “Lapar” karangan Muhammad Ali mengungkap persoalan orang-orang yang karena lapar bersedia menjual apa pun miliknya sekedar sebagai pengisi perut. Bahkan termasuk menjual diri dan atau anak-anaknya.
 
Tidak terkecuali dalam novelnya Ibu Kita Raminten yang diterbitkan oleh Sinar Harapan tahun 1982. Novel ini juga menghadirkan masalah sosial, yakni orang miskin, si Raminten, istri Markeso, seorang pengamen yang hidupnya bergelimang dalam suasana kemelaratan akibat kebodohan dirinya. Dalam berbagai hal, Muhammad Ali memang tajam dalam melukiskan manusia yang beraneka ragam sifatnya meskipun di sana sini masih terlihat unsur humor yang segar. Sebagai sastrawan yang berorientasi pada soal-soal kemasyarakatan ia mengangkat lingkungan sekitar yang sering dilihat dan digelutinya terutama lingkungan kota Surabaya.
 
Di antara sepuluh buah novelnya, agaknya novel Ibu Kita Raminten paling jelas menghadirkan tema dan masalah sosial. Di dalam novel ini tampak ada jarak atau kesenjangan sosial (kota dan desa) yang tajam akibat dari proses urbanisasi sehingga manusia dan eksistensinya tidak sanggup mempertahankan satu ‘kepastian cita-cita’ tertentu. Oleh karenanya, ia seolah berdiri di antara dua jurang yang sama-sama tidak menguntungkan.
 
Dilukiskan oleh Muhammad Ali dalam novel ini bahwa Raminten hidup dengan tiga belas orang anak. Akan tetapi, sejak kelahiran anak pertama (tahun 1945) hingga anak ke dua belas, anak-anaknya itu selalu diberikan pada orang lain. Sebab, menurutnya, memelihara anak sementara biaya hidup tidak ada, lebih baik anak dipelihara orang lain dengan tujuan agar anak-anak itu kelak dapat menikmati hidup yang layak. Karena itulah, dua belas anak yang lahir antara 1945 sampai 1955 semuanya menjadi anak angkat orang lain. Anak-anak itu ialah Ruba’i, Lastri, Gani, Fitri, Alamsyah, Syamsi, Joko, Fadli, Dewi, Ningsih dan Ningrum (kembar), dan Anwar. Oleh karena dua belas anaknya diberikan kepada orang lain, akibatnya kini Raminten dan Markeso suaminya merasa kesepian. Oleh sebab itulah, ia merencanakan lagi untuk mempunyai anak. Tetapi, mereka cemas karena anak yang didambakan tidak kunjung datang. Kecemasan mereka baru surut setelah beberapa tahun kemudian Raminten ternyata mengandung. Kemudian lahirlah Stambul, anak yang diidamkan itu.
 
Ketika sedang mengandung, sebelumnya Raminten memang telah mendapatkan isyarat lewat mimpinya, yakni mimpi tentang seorang raksasa yang akan mencekik leher Raminten. Barangkali itulah yang menandai bahwa anak yang bakal lahir akan memiliki tabiat yang tidak baik. Ternyata, impian itu menjadi kenyataan. Stambul, anak terakhir yang sangat didambakan oleh Raminten, setelah dewasa menjadi seorang berandal, suka mabuk-mabuk, merampok, dan semacamnya.
 
Pada suatu hari, terjadilah peristiwa perampokan dan pembunuhan terhadap juragan Cina, bernama Babah Wong. Pelaku pembunuhan itu tidak lain ialah Stambul, anak Raminten. Setelah diringkus oleh pihak yang berwajib dan kemudian disidangkan di pengadilan, Stambul akhirnya dijatuhi hukuman selama lima tahun. Dan pada bagian akhir cerita, yang mengejutkan ialah, ternyata persidangan itu dipimpin oleh Ningrum S.H. (anak ke sebelas Raminten) dan disaksikan oleh sepuluh keluarga dari anak-anak Raminten yang telah diberikan pada orang lain. Meskipun dalam persidangan itu Raminten bebas dari segala tuduhan, dan bertemu pula dengan dua belas anaknya, tapi tak lama kemudian Raminten meninggalkan mereka untuk selamanya.
 
Boleh jadi cerita ini dimaksudkan untuk mencoba menyoroti masalah penegakan hukum terhadap berbagai bentuk penyelewengan yang sering terjadi baik oleh pihak pemerintah/aparat maupun oleh siapa pun di bidang kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Dan maksud atau upaya penegakan hukum ini, dan ini mungkin merupakan tendensi si pengarang, terlihat jelas pada sikap seorang hakim ketua, yaitu Ningrum S.H. Meskipun yang diadili adalah adik kandungnya sendiri, ia tetap bersikap adil sebagaimana halnya hukum yang berlaku. Ini barangkali semacam isyarat bahwa ‘segala yang menyimpang harus diluruskan’, dan oleh karena itu hukuman lima tahun terhadap terdakwa, Stambul, tetap dijatuhkan dengan semestinya. Bahkan, untuk membuktikan kebenaran kata-kata Raminten tentang nama-nama anak-anaknya yang telah diberikan kepada orang lain, Ningrum S.H. juga mengundang nama-nama yang telah disebutkan untuk hadir dalam sidang. Dan ternyata, apa yang disebutkan Raminten benar, mereka semua adalah anak Raminten, dan juga saudara Ningrum sendiri.
 
Dilihat secara struktural, novel Ibu Kita Raminten termasuk novel yang tidak terlalu sulit untuk dipahami. Pelukisan watak tokoh-tokohnya jelas, yakni hitam dan putih, baik dan buruk. Sesungguhnya, novel ini dapat diibaratkan sebagai semacam cerita pendek saja. Dikatakan demikian karena pada bagian pertama dilukiskan ketika sidang kasus pembunuhan akan dilangsungkan. Akan tetapi, pada bagian berikutnya dan seterusnya cerita membalik ke masa-masa lalu tentang kehidupan, perkawinan, dan proses pembunuhan. Karena itu, alur cerita menjadi sorot balik (flash back). Dan pada bagian akhir cerita, peristiwa kembali ke masa persidangan itu. Kalau seandainya cerita ini hanya dilukiskan bagian pertama dan terakhir saja, barangkali cerita tidak kehilangan identitasnya sebagai cerita. Itulah sebabnya mengapa cerita novel dapat diibaratkan sebagai cerita pendek.
 
Latar sosial budaya yang mendominasi cerita ini ialah sekitar Surabaya atau tepatnya di daerah Jawa Timur. Hal itu dapat kita lihat, misalnya, ungkapan bahasa yang khas, kesenian daerah yang khas pula seperti ludruk ontang-anting, ludruk garingan, dan bermacam-macam dialek Jawatimuran seperti camilan, umpatan cialat, dan sejenisnya. Itulah fakta-fakta cerita yang terdapat dalam novel ini. Novel yang diungkapkan dengan gaya bahasa sederhana, kadang ironis, sedikit simbol, ternyata mampu pula mengungkapkan masalah yang sesungguhnya amat besar. Dan agaknya harus demikianlah novel yang baik.
 
Sebagai catatan akhir, setelah menikmati novel ini, kita dapat menyatakan bahwa novel Ibu Kita Raminten dapat dikategorikan sebagai novel yang mengarah pada potret (protes?) sosial. Kahidupan sosial yang tidak berjalan semestinya haruslah diluruskan atau ditegakkan, misalnya, kebiasaan tak bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, penyelewengan terhadap hukum dan keadilan, penyimpangan moral, dan sebagainya. Meskipun termasuk pengarang periode 40-50-an, tetapi dengan terbitnya novel ini (1982) Muhammad Ali boleh jadi dapat dikategorikan sebagai pengarang yang tak ketinggalan zaman. Sebab, ide, gagasan, dan pikiran-pikirannya tidak mudah surut oleh terpaan ruang dan waktu.
***

http://sastra-indonesia.com/2021/07/ibu-kita-raminten-karya-muhammad-ali-novel-potret-sosial/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria