dimanche 25 juillet 2021

Menuju Format Baru Pengajaran Sastra

Ahmadun Yosi Herfanda *
infoanda.com/Republika
 
Pengajaran sastra di sekolah sampai saat ini belum berjalan secara maksimal. Indikator utama yang memperkuat sinyalemen itu adalah masih rendahnya apresiasi dan minat baca rata-rata siswa dan lulusan SMU terhadap karya sastra. Pengetahuan sastra mereka — meskipun aspek ini lebih mendapat perhatian dibanding aspek apresiasi sastra — umumnya juga masih sempit, tidak seluas pengetahuan mereka tentang dunia selebriti. Mereka, misalnya, umumnya lebih mengenal Britney Spears atau Westlife di negeri Paman Sam daripada Abdul Hadi WM di negeri sendiri.
 
Selain itu, juga tampak masih kuat kecenderungan minat baca mereka yang kurang terarah kepada karya-karya yang masuk dalam kategori sastra, tapi lebih ke fikfi-fikfi pop yang menghibur. Buku-buku chicklit, teenlit, dan fiksi seksual, misalnya, sangat laris di pasaran, tapi buku-buku sastra yang lebih serius dan mengandung nilai-nilai yang luhur, baik novel, kumpulan cerpen maupun puisi, masih kurang laku dan hanya berdebu di toko-toko buku atau menumpuk di gudang penerbit.
 
Secara umum, tingkat apresiasi sastra masyarakat kita — produk dari pendidikan formal sejak tingkat SLTP sampai perguruan tinggi — memang masih rendah. Hal ini, menurut beberapa pengamat dan akademisi sastra, juga disebabkan oleh kegagalan pengajaran sastra di sekolah, khususnya di jenjang SLTP dan SLTA.
 
Persoalan yang sudah dilansir oleh almarhum HB Jassin sejak 1970-an itu hingga kini agaknya belum bisa diatasi secara tuntas oleh pihak-pihak terkait, seperti penyusun kurikulum sekolah menengah dan guru sastra. Kurikulum terbaru, yang disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pun belum menjamin keberhasilan pengajaran sastra di sekolah. Begitu juga KPTS ( ) yang mulai diberlakukan tahun lalu. Sebab, pelajaran sastra masih menjadi bagian kecil (20 persen) dari pelajaran bahasa Indonesia.
 
Sejak zaman HB Jassin (1970-an) sampai sekarang, sebenarnya sudah tidak kurang sastrawan dan pakar pengajaran sastra yang mencoba mengusulkan perbaikan pengajaran sastra di sekolah itu. Dalam tahun 1980-an, misalnya, berkali-kali Suminto A Sayuti membahasnya dalam beberapa artikel di media cetak dan berbagai forum diskusi. Dalam tahun 1990-an dan 2000-an, penyair Taufiq Ismail juga berkali-kali mempersoalkannya.
 
Ketika menyampaikan orasi sastra pada Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII di Surabaya, 27 September 2004, misalnya, Taufiq Ismail masih mensinyalir bahwa pengajaran sastra di sekolah miskin apresiasi dan 0 buku. Sehingga, hasilnya adalah para lulusan SMU yang rendah apresiasi sastranya dan rendah pula minat bacanya.
 
Akan tetapi, ibarat berteriak-teriak di tengah padang pasir, atau menyodok bukit kapur dengan tangkai sapu ijuk, usulan-usulan dan gagasan-gagasan perbaikan itu nyaris tidak berarti apa-apa, dan lenyap ditelah hiruk-pikuk isu politik yang masih malingkar-lingkar pada persoalan korupsi dan kekuasaan.
 
Gagasan-gagasan perbaikan yang sudah muncul sejak 30 tahun yang lalu itu sampai kini belum membuahkan perubahan yang berarti, apalagi radikal, dalam pengajaran sastra di sekolah, baik di tingkat kebijakan pemerintah maupun pada praktek pengajaran sastra di sekolah. Pengajaran sastra masih menjadi ‘bagian kecil’ dari pengajaran bahasa, sehingga tetap berjalan secara kurang maksimal.
 
Kualitas pengajaran sastra di sekolah penting untuk ditingkatkan, karena tidak hanya memiliki tujuan kurikuler yang bersifat jangka pendek untuk menyumbang nilai rapor atau NEM bagi kelulusan siswa. Tapi, juga memiliki tujuan ideal yang bersifat jangka panjang untuk ikut menyiapkan generasi penerus, manusia Indonesia, yang unggul dan berbudaya. Tujuan ideal tersebut hanya bisa dicapai jika pengajaran sastra di sekolah berhasil meningkatkan apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra.
 
Karena itu, aspek apresiasi dan minat baca itulah idealnya yang diberi tekanan dalam praktek pengajaran sastra di sekolah. Sebab, hanya dengan tingkat apresiasi dan minat baca yang tinggi, nilai-nilai budaya bangsa yang luhur dalam karya sastra dapat diwariskan kepada siswa, demi tercapainya tujuan ideal tersebut.
 
Jika hanya tujuan kurikuler yang ditekankan, sangat mungkin sebagian besar siswa tidak tertarik untuk mengikuti pelajaran sastra secara sungguh-sungguh. Sebab, nilai pelajaran sastra hanya akan menyumbang tidak lebih dari 20 persen pada nilai bahasa Indonesia. Persentase nilai lainnya disumbang oleh aspek keterampilan membaca, keterampilan menulis, keterampilan berbicara dan keterampilan mendengarkan.
 
Selain itu, juga aspek pengetahuan dan penguasaan ketatabahasaan. Akumulasi dari nilai tiap aspek kebahasaan itulah — ditambah dengan nilai pelajaran sastra — yang dimunculkan menjadi satu nilai pelajaran bahasa Indonesia pada rapor serta nilai Ebtanas (sekarang diganti namanya menjadi Ujian Akhir Nasional — UAN) siswa.
 
Hasil pengajaran sastra akan lebih parah lagi, jika pelajaran sastra diberikan secara monoton, tidak menarik, dengan kecakapan serta pengetahuan guru yang terbatas dan media serta fasilitas pendukung yang terbatas pula. Misalnya, guru hanya mengandalkan materi yang ada pada buku pelajaran, merenangkan pelajaran secara ala kadarnya dengan metode yang ala kadarnya, dan buku-buku yang tersedia di perpustakaan sekolah pun terbatas.
 
Secara garis besar, tujuan pengajaran sastra dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, tujuan ideal yang bersifat jangka panjang untuk membentuk karakter siswa. Rincian dari tujuan ini, antara lain, (1) membentuk karaktek siswa agar memiliki rasa keindahan dan peduli pada masalah-masalah keindahan; (2) menumbuhkan sifat-sifat mulia pada diri siswa, seperti kearifan, kesantunan, kerendah-hatian, ketuhanan, keadilan dan kepedulian pada nasib sesama; (3) mewariskan nilai-nilai luruh budaya bangsa untuk membentuk jati diri siswa sekaligus jati diri bangsa; (4) menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra, dan (5) menumbuhkan minat baca terhadap karya sastra.
 
Dan, kedua, tujuan praktis yang bersifat jangka pendek sesuai dengan yang tertera pada kurikulum. Berbeda dengan tujuan ideal yang lebih abstrak, berdimensi jangka panjang, dan sulit diukur hasilnya; tujuan yang bersifat praktis ini relatif dapat diukur hasilnya dan hasil akhirnya adalah nilai raport dan nilai UAN siswa.
 
Pada modul pelajaran yang disusun oleh guru, tujuan praktis itu biasa dijabarkan menjadi Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK). Contoh TIU untuk aspek pengetahuan tentang sejarah sastra Indonesia, misalnya saja, siswa memiliki pengetahuan yang cukup tentang angkatan-angkatan dalam sastra Indonesia. TIU tersebut dapat dijabarkan menjadi beberapa TIK, misalnya (1) siswa dapat menyebutkan nama-nama sastrawan Angkatan 66, dan (2) siswa dapat menyebutkan karya-karya sastrawan Angkatan 66.
 
Penjabaran dari TIU ke TIK juga dapat dilakukan pada modul untuk aspek pengetahuan tentang teori dan apresiasi sastra. TIU untuk teori sastra, misalnya, siswa memiliki pengetahuan yang memadai tentang prinsip-prinsip estetika puisi. TIU ini dapat dijabarkan menjadi beberapa TIK, misalnya, (1) siswa dapat menyebutkan empat dari lima metode puisi, (2) siswa dapat menyebutkan dua fungsi tipografi, serta (3) siswa dapat menyebutkan tiga macam citraan dan contohnya.
 
Sedangkan TIU untuk aspek apresiasi sastra, misalnya, siswa dapat memahami dan menghargai karya sastra. TIU ini dapat dijabarkan menjadi, misalnya, (1) siswa dapat menyebutkan tokoh protagonis dan antagonis novel X, (2) siswa dapat menyebutkan jenis alur novel X, (3) siswa dapat menyebutkan tema novel X, (4) siswa dapat menyebutkan jenis ending novel X, (5) siswa dapat menyebutkan gaya-gaya bahasa dalam novel X, dan (6) siswa dapat menyebutkan pesan-pesan moral novel X.
 
—-
Tulisan ini merupakan makalah untuk Seminar Pengajaran Bahasa dan Sastra dalam rangka Gebyar Bahasa dan Sastra Indonesia 2007, HMBSI FPBS UPI Bandung, di gedung PKM UPI, 10 April 2007.

*) Sastrawan dan wartawan Republika. http://sastra-indonesia.com/2010/09/menuju-format-baru-pengajaran-sastra/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria