jeudi 29 juillet 2021

Nana Sarea

Dina Oktaviani *
Jawa Pos, 13 Jan 2008
 
Ketika lalat-lalat kerotot menghampiri pondoknya suatu pagi hari, Tuan Sarea telah berada di perbatasan antara kampungnya dan kampung Arah Barat, jauh dari ladang-ladangnya. Bersama Layantara ia menyusuri pohon-pohon kering terakhir yang menjadi bagian kampungnya yang berada di Tengah Pulau Besar.
 
Layantara seorang pemuda dari seorang kakek buyut yang merupakan perantau dari Timoor. Tubuhnya kecil dan kuat. Usianya sembilan belas tahun, dan baru sekali itu ia mengikuti perjalanan ke kampung-kampung suku lain untuk melakukan barter. Ia merasa tersanjung sekaligus waswas tanpa alasan menyadari dirinya melakukan perjalanan hanya bersama seorang lelaki, sebab menurut kebiasaan perjalanan jenis ini dilakukan oleh sekelompok lelaki yang berjumlah sebelas orang.
 
Sebagai pelatihan, dan ini merupakan kebiasaan, Layantara dilarang mengenakan pakaian tebal atau makan garam sepanjang perjalanan. Tuan Sarea sendiri dapat seenaknya mengenakan dan melepas rompi bulu di setiap bagian dari petualangannya.
 
Tuan Sarea berusia 45 tahun. Berdasarkan silsilah yang dikisahkan secara lisan dan turun-temurun, ia salah seorang keturunan paling asli dari penemu Pulau Besar. Setidaknya sampai seorang peneliti berani membuktikan bahwa silsilah penemu Pulau Besar telah ditutup sejak pembantaian dan pembakaran hutan beberapa ribu tahun yang lalu oleh penjajah. Tuan Sarea adalah seorang keturunan asli penemu Pulau Besar. Wataknya terkenal keras. Tak kenal ampun bagi pelanggar.
 
Tuan Sarea menyuruh Layantara menghafalkan setiap jenis burung, jenis siul dan ke arah mana terbangnya sepanjang perjalanan. Dan pemuda kecil itu mengikuti semua perintah dengan cermat dan tulus. Layantara tidak mempertanyakan perihal berbagai kebiasaan yang dilanggar mengenai perjalanan ini. Di antara banyak kebiasaan itu, melakukan perjalanan bukan setelah panen adalah yang paling mengherankan. Dan jika pun ia mempertanyakan hal itu, ia tidak akan menyimpan jawaban yang buruk.
 
Dalam pemahaman Layantara, hal ini amat wajar bila mengingat dirinya merupakan calon menantu Tuan Sarea. Setidak-tidaknya, hanya nama Layantara yang disebut-sebut seluruh penghuni Kampung Tengah jika mereka membicarakan putri semata wayang Tuan Sarea, Nana Sarea, tiga bulan terakhir.
 
Perihal jodoh-jodohan oleh para penghuni Kampung Tengah tersebut, Tuan Sarea menampakkan sikap paling dingin, cenderung sinis, seperti sikap semua ayah Suku Tengah terhadap calon menantu yang bekerja sebagai peladang di hutan-hutan yang dikelola Perusahaan Canggih. Namun tepat dan selama seminggu sebelum memulai perjalanan, yakni dua minggu yang lalu, Tuan Sarea bersikap lebih lunak terhadap para pemuda Kampung Tengah termasuk kepada Layantara, sampai akhirnya, tanpa merasa perlu memberi penjelasan panjang karena terlalu menyadari otoritasnya, Tuan Sarea membuat Layantara ikut melakukan perjalanan ke kampung-kampung lain untuk barter.
 
Hari itu Layantara tampak amat gembira, sehingga ketika melewati pancuran tempat Nana Sarea mencuci rambut dalam perjalanannya bersama rekan-rekannya dari salah satu hutan Perusahaan Canggih ke pondoknya, ia tak bisa menahan diri untuk tidak menyikut lengan rekan-rekannya sambil memejamkan-pejamkan mata seperti sedang menahan rasa sakit.
 
Malamnya, malam sebelum berangkat, kakak sepupu Nana Sarea, Anggau Sarea, mendatangi pondok Layantara dan berbincang-bincang dengan ayah Layantara dalam bahasa tua Suku Tengah. Layantara, yang lebih banyak dididik dalam bahasa Timoor dan memahami bahasa Tengah dari pergaulan di luar, tidak dapat sepenuhnya mengerti percakapan itu. Tapi Layantara mendengar Anggau Sarea bersiul menirukan suara salah satu jenis burung di akhir percakapan sebelum kemudian berlari tergesa-gesa meninggalkan pondok dan Layantara mengerti maksudnya. Maka, keesokan harinya, sebelum matahari terbit, berangkatlah Layantara mengikuti Tuan Sarea yang menjemputnya mengunjungi kampung-kampung suku lain.
 
Di tengah perjalanan, yang dalam pikiran Layantara sekaligus merupakan perjalanan untuk saling mengenal antarcalon anggota keluarga itu, dengan nuansa bangga Tuan Sarea menceritakan kisah sungai Sarea yang ditemukan pada zaman penjajahan. Tanpa menyebut nama bangsa, Tuan Sarea mengisahkan orang-orang putih yang pertama-tama datang ke Pulau Besar. Orang-orang putih itu sering minta diantar oleh pribumi ke pedalaman-pedalaman dan mencari lubang-lubang emas. Anak-anak sungai yang belum dinamai, pada zaman itu dinamai oleh orang-orang putih. Nama yang biasa digunakan adalah nama pribumi yang mengantar orang-orang putih tersebut. Nenek moyang Sarea waktu itu merupakan pemberani yang berwibawa, sehingga orang-orang putih tidak berani meminta pertolongannya tanpa menawarkan kekuasaan dalam sistem pemerintahan jajahannya.
 
Untuk memimpin suku yang terdiri atas kampung-kampung, nenek moyang Sarea telah menyelamatkan orang-orang putih dari buaya sepanjang lima belas meter di sebuah sungai yang amat besar yang belum dinamai dalam sebuah perjalanan menemukan tambang emas terbesar. Setelah peristiwa heroik itu, sungai tak bernama itu dinobatkan sebagai sungai Sarea. Sementara gigi-gigi sang buaya disimpan keluarga Sarea dan boleh ditukar hanya dengan nyawa.
 
Layantara memasang telinga dengan gaya amat hati-hati dan tegas --khawatir melewatkan satu jenis siul burung dan kisah-- sambil terus berjalan ke Arah Barat. Dalam sikapnya itu, terdapat pula nuansa bangga yang misterius. Nuansa bangga yang terpancar dari seseorang yang sedang merasa menjadi calon menantu seorang suku besar.
 
Tuan Sarea dan Layantara tiba di sebuah kampung suku lain di Arah Barat. Dari tas besar misterius yang diseret Tuan Sarea sepanjang perjalanan, Tuan Sarea mengeluarkan seperangkat gigi-gigi besar yang tajam dan menyerahkannya kepada Kepala Kampung. Dari sang Kepala Kampung, Tuan Sarea harus meminta gantinya, namun ia menyerahkan kekuasaan itu kepada Layantara. Dengan pertimbangan yang paling intuitif, Layantara meminta parang dan tikar rotan halus yang menjadi hasil karya paling sohor dari kampung Arah Barat. Mulanya Tuan Sarea tampak terkejut dengan pilihan Layantara, tapi kemudian tersenyum mendengar alasannya yang polos.
 
Keluar dari kampung tersebut, di sebuah rimba yang telah dilewati dalam perjalanan sebelumnya, Tuan Sarea mengajak Layantara berhenti dan berbicara, "Aku tidak bisa kembali ke kampungku. Aku telah muak dengan keadaannya dan orang-orangnya, dengan alamnya yang tak lagi subur. Sebagai keturunan Sarea yang jantan, tugaskulah menemukan ladang-ladang baru.
 
Namun jangan engkau hiraukan keluhanku. Engkau masih muda, punya pekerjaan pula, dan sedang jatuh cinta. Tak ada tugas yang berat bagi seorang perantau selain mendapatkan permata dari tanah barunya."
 
Setelah diam beberapa saat, Tuan Sarea mengajukan sebuah pertanyaan. "Hai pemuda keturunan Timoor yang pemberani, engkau telah menjadi penghuni Pulau Besar dan menikmati pohon-pohonnya, dan engkau yang telah memilih parang dan tikar rotan sebagai ganti dari gigi-gigi buayaku, apakah engkau akan terus mengembara bersamaku mencari ladang-ladang baru dan hidup mandiri atau kembali ke tanah di mana engkau dilahirkan dan menikmati kembali pohon-pohonnya?"
 
Layantara terdiam. Baginya, pertanyaan itu tidak bisa dijawab kecuali dengan mengabaikan rasa malu. Sebab jika ia memutuskan ikut mengembara, ia tahu betul itu berarti meninggalkan kekasihnya, Nana Sarea, menderita tanpa cinta dan perlindungannya. Dan jika ia memilih mendapatkan Nana Sarea, ia merasa dirinya amat pengecut di hadapan keturunan Sarea.
 
Akhirnya ia memilih kembali ke Kampung Tengah untuk menikahi Nana Sarea berdasarkan cara-cara agama Kahrangan yang dianut Suku Tengah. Tuan Sarea tersenyum dan menjabat tangan Layantara dan mengingatkan Layantara pada petunjuk burung-burung yang sejak awal ia minta untuk dipelajari dan hafalkan.
 
Sementara Layantara berjalan menuju Kampung Tengah, Tuan Sarea berbelok kembali ke Arah Barat dan menemui sepuluh orang lelaki keturunan Sarea. Sebelas orang itu kemudian berjalan terus ke dalam Arah Barat dan bertemu tenda-tenda kelompok-kelompok yang masing-masing terdiri dari sebelas lelaki suku asli Tengah Pulau Besar.
 
Sesampai Layantara di kampungnya, yang ia temukan hanya pondok-pondok yang terbakar, lalat-lalat kerotot yang lapar, dan matahari siang berwarna semerah senja yang menelan cintanya sampai hangus.
 
Di hari pertama, Layantara menggelar tikar rotan halus dan menangis bisu di atasnya. Sementara itu, rombongan perempuan yang naik trailer rampokan dari Perusahaan Canggih tiba di pedalaman Arah Barat. Di antara rombongan yang baru datang itu, tampak seorang perempuan muda dengan kecantikan yang sulit direlatifkan, yang berkulit cokelat dengan mata sipit dan hidung mungil yang menantang. Para pemuda bersorak dengan suara yang dicekat, "Nana Sarea! Tak mungkin jadi istri peladang Canggih!"
 
Begitulah, di pagi hari kedua, Layantara menggorok sendiri lehernya dengan parang --konon karena musim telah berganti sehingga burung-burung berubah arah dan bunga-bunga tumbuh tidak pada tempatnya.
***

*) Dina Oktaviani, lahir di Tanjungkarang 11 Oktober 1985. Banyak menulis puisi dan cerpen, yang dipublikasikan di berbagai media pusat dan daerah. Buku pertamanya, Como Un Sueto (Kumpulan cerpen-Orakel, 2005). Buku puisinya yang akan segera terbit, Biografi Kehilangan (Penerbit InsistPress, 2006). Kini menjadi editor pada BlockNotPoetry untuk BlockNotInstitute Yogyakarta. http://sastra-indonesia.com/2021/07/nana-sarea/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria