jeudi 29 juillet 2021

Rumah Warisan

Yonathan Rahardjo *
Republika, 13 Jan 2008
 
Kematian perempuan tua itu membangunkan duka. Terik matahari, yang membuat penduduk malas keluar rumah, tak sanggup menahan hati menuju gelap, ditutupi mendung kesedihan. Menantu perempuan tua itu, yang pertama kali menjumpai kematian sang perempuan tua, menjerit pilu.
 
Tangis janda anak kedua almarhumah itu mengundang cucu-cucu dan keponakan serta tetangga-tetangganya untuk datang. Kabar duka pun menyebar dari mulut ke mulut, memagnet anak-anak jenazah untuk segera berdatangan. Keluarga besar anak pertama, anak ketiga dan anak kelima, melengkapi anak cucu terdekat, menyatu dengan saudara dekat, tetangga-tetangga dan semua pelayat.
 
Suasana perkabungan bergulir dari satu acara ke acara lain, ditangani mereka yang ada. Sedang anak keempat beserta keluarganya dalam perjalanan dari luar kota.
 
“Catur sebentar lagi tiba.”
 
“Apa Ragil sudah dalam perjalanan?” tanya anak lelaki ketiga yang paling percaya diri menjadi pemimpin perkabungan.
 
“Sudah. Namun, ia hanya dikabari bahwa Emak dalam kondisi kritis.”
 
Banjir air mata terus mengalir merata pada diri para anak perempuan tua itu. “Emak menyusul Bapak dan Mas Dwi.”
 
“Kita segera berangkat begitu Catur datang.”
 
Keberangkatan jenazah pun dipastikan ketika dari ujung gang terdengar raung tangis Catur, anak lelaki keempat. Catur berjalan limbung, dipapah oleh istri dan anak-anaknya.
 
Prosesi harus berkejaran dengan perginya siang. Secepat langkah iring-iringan pengantar jenazah, secepat itu pula pemakaman yang diiringi nyanyian duka pengantar kepergian sang perempuan ke pemakamannya. Baru esok harinya si bungsu, anak perempuan almarhumah, Ragil, tiba, setelah menempuh perjalanan sepanjang Pulau Jawa. Yang menyambut adalah ketiadaan orang tersayang. Saudara-saudaranya tidak mungkin berdusta dengan suasana perkabungan yang begitu jelas. Meski, mereka membiarkannya membuka kain pintu kamar emaknya dan di situ tidak ia jumpai perempuan tua itu di atas pembaringannya.
 
Tangis kembali memecah hari. Wajah-wajah sedih kembali dibanjiri air mata duka, tidak mampu menahan diri sekaligus mencegah luapan duka cita anak bungsu yang baru tiba.
 
“Mengapa kalian membohongiku? Emak sudah dikubur! Aku tak boleh memberi penghormatan terakhir padanya?”
 
“Ragil, jangan salah paham. Sekarang kami antar ke makam Emak.”
 
Di tanah kuburan yang masih basah, perempuan muda itu pingsan. Tangan-tangan saudara-saudaranya mencegahnya tersungkur mencium tanah bertabur bunga yang belum kering.
 
“Anakku, Emak sudah tenang di sini. Emak sudah bertemu dengan Bapakmu.”
 
“Emak, mengapa lebih sayang Bapak daripada aku, anak kesayanganmu?”
 
“Sayangku pada Bapakmu sebesar sayangku padamu, anakku.”
 
“Mengapa tidak menungguku datang agar aku mencium Emak sebelum Emak bertemu Bapak?”
 
“Itu bukan kemauanku, anakku. Saudara-saudaramu yang menginginkan jasad Emakmu ini segera dimakamkan sebelum petang.”
 
“Bukankah Emak masih bisa disemayamkan malamnya, diiringi doa-doa penghiburan, dan baru dimakamkan esok harinya, ketika aku sudah pasti tiba?”
 
“Ragil, Emak tak kuasa menahan kakak-kakakmu. Sedang mereka bersiteguh dengan adat kebiasaan yang mereka kenal.”
 
Diiring senyum ibunya yang sangat ia kenal, perempuan muda itu tersilaukan oleh cahaya yang begitu terang. Ragil melihat ibunya tak setua yang ia kenal, bergandeng tangan dengan lelaki muda yang rasanya sangat ia kenal.
 
“Bapak…!”
 
Ragil, perempuan muda itu, tiba-tiba sadar. Saudara-saudaranya memandangnya dengan penuh rasa heran.
 
“Adik bungsu, mari kita pulang. Biarkan Emak tenang bersama Bapak dan Mas Dwi di rumah baru ini,” ajak saudara-saudaranya ketika Ragil siuman.
 
“Mas Dwi? Aku tadi tidak berjumpa dengan Mas Dwi. Aku hanya berjumpa dengan Emak dan Bapak.”
 
Saudara-saudara lelaki, kakak-kakak dari anak bungsu itu, terhenyak.
 
“Mengapa hanya Emak dan Bapak? Mengapa tidak bersama Dwi?”
 
Perjalanan pulang dari makam digelayuti pikiran-pikiran kusut, suasana duka diracuni hati cemburu.
 
“Jangan-jangan Emak dan Bapak tidak sayang pada Dwi,” pikir si sulung Eko tentang hubungan adik kandungnya dengan kedua orang tuanya yang sama-sama sudah tinggal nama.
 
“Jangan-jangan Emak dan Bapak juga tidak sayang padaku seperti tidak sayangnya mereka kepada Dwi,” pikir Tri, anak ketiga.
 
“Jangan-jangan…. Ah, biarlah,” pikiran gundah tapi pasrah mendera anak ke empat, Catur.
 
“Wajar kalau Emak paling sayang pada Ragil. Sebab, ia anak bungsu dan satu-satunya perempuan,” anak lelaki kelima, Ponco, punya pikiran sendiri.
 
Bagaimanapun, mereka, empat anak lelaki dan satu perempuan yang masih hidup, bersama istri, suami dan janda anak kedua, beserta semua anak mereka, tak dapat menghindar dari suasana duka. Tidak ada lagi orang tua yang melahirkan dan membesarkan mereka.
 
Mereka merasa masih melihat kehadiran kedua orang tua terkasih di antara wajah-wajah mereka dalam cermin. Darah yang mengalir dalam tubuh mereka adalah darah orang tua yang sama. Tapi, mengapa harus ada perasaan aneh ini?
 
“Rumah ini adalah rumah Emak dan Bapak, cermin kehadiran beliau berdua. Pasti beliau berdua pun membagi rumah ini bagi kita berenam,” tiba-tiba Tri, anak nomor tiga, berkata dengan suara keras.
 
“Apa maksudmu, Tri?”
 
“Kita masih dalam suasana duka!”
 
“Ya, kita memang berduka. Tapi, kita semua adalah anak-anak Emak dan Bapak.”
 
“Maksudmu?”
 
“Emak dan Bapak pasti sayang kita semua. Karena sayang kita, pasti Emak dan Bapak mau anaknya yang paling mampu menukar rumah ini dengan harga tertinggi untuk menggantikan hak semua anaknya.”
 
“Berhenti!”
 
“Karena aku yang paling mampu, maka aku yang akan membeli rumah ini.” “Tutup mulutmu, Tri! Soal ini kita bicarakan sesudah seribu hari meninggalnya Emak!”
 
“Sudah! Sudah! Ngaco, kalian semua! Ngomong tidak berperasaan!” Isak tangis dari Ragil, adik perempuan bungsu mereka, menampar setiap mulut untuk langsung terdiam.
 
“Tanah kuburan Emak masih basah, kalian sudah ngomong soal warisan.”
 
“Ragil, aku tahu, kamu tidak memikirkan soal duniawi ini, karena kamu memang menjadi perempuan pemimpin umat bersama suamimu. Begitu juga aku. Selain berhasil menjalankan ibadah tertinggi dalam agamaku, aku tetap mengimbangi dengan sukses duniawi seperti usahaku jadi jagal sapi yang sukses bersama mbakyumu, istriku! Tapi, kakak-kakakmu? Lihat, bisa apa mereka? Mencari nafkah saja dengan membesarkan betis. Menghidupi keluarga saja kembang-kempis. Apalagi mau membahagiakan Emak yang baru saja menyusul Bapak. Mana bisa?”
 
Tidak ada upaya menghentikan celoteh lelaki anak ketiga dari enam bersaudara dan tinggal hidup lima orang itu. Si bungsu diam. Bahkan suaminya yang sedari tadi hanya menjadi penonton ‘pergulatan’ lima bersaudara itu hanya diam dan menenangkan istrinya dengan meremas telapak tangannya.
 
Sejak saat itu, sekembali ke kota tempat tinggalnya, Ragil tidak pernah lagi berkunjung ke rumah yang baru saja ditinggalkan emaknya. Sedang kakak-kakaknya, Eko, Tri, Catur dan Ponco, tersekat tenggorokannya. Tri, yang mengumbar hasrat sebelum waktunya itu, meneguk ludah sendiri. Wajahnya merah, menanggung cibiran dan sorotan mata menghina dari siapapun yang terhitung keluarga dan para tetangga.
 
“Kuburan orang tua masih basah, sudah ribut soal warisan…,” celoteh meraka.
***

*) Yonathan Rahardjo, kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur 17 Januari 1969. Karya-karyanya diantaranya: Novel: Lanang (2008), Taman Api (2011), Wayang Urip (2012), Anak Turun Airlangga (2019), Pertobatan Seorang Golput (2019), Antologi Cerita Pendek: 13 Perempuan (2011), Antologi Puisi: Jawaban Kekacauan (2004), Kedaulatan Pangan (2009), Ilmiah Popular dan Jurnalistik: Avian Influenza, Pencegahan dan Pengendaliannya (2004), Air Sehat untuk Ternak Ayam (2012), Mengatasi Stres Ayam (2012), Flu Burung, Kajian dan Penanggulangan (2014), Beternak Ayam Petelur (2016), Sejarah Sastra dan Literasi Bojonegoro (2018). http://sastra-indonesia.com/2021/07/rumah-warisan/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria