samedi 3 juillet 2021

PARA PENIPU

Taufiq Wr. Hidayat *
 
Sebuah ruang. Ruang yang tak meniscayakan dinding. Ia boleh saja suatu wilayah terbuka atau tertutup. Tetapi di dalam ruang itu, terjadi peristiwa dalam satuan waktu dan sebentang jarak. Di situ, peristiwa dan tokoh-tokohnya---yang kalah maupun yang mengalahkan, “berputar-putar dalam lingkaran,” kata lagu “Kuda Lumping” (SWAMI II, 1991).
 
... ... .
Berbaju sutra pandai menipu
Membabi buta cari mangsa
Mulut penipu berbau busuk
Mempertahankan hidup yang busuk
 
Para penipu berkeliaran
Makan tanah memperkosa fakta
Saling menipu sesama penipu
Tidak menipu jadinya tertipu
... ... .
 
Apa sebenarnya harapan para penipu? Sedemikian licik dan bulusnya suatu tipuan, sesungguhnya bukan yang pertama-tama. Bagi Derrida, suatu kebohongan bukan pada narasinya. Melainkan apa tujuan dari si pembohong atau kebohongan itu sendiri. Tetapi tipuan meniscayakan ruang dan tenggat waktu. Meski suatu tipuan akan bertahan sejauh waktu, tatkala ia dijaga oleh kepentingan-kepentingan. Tipuan yang kemudian diyakini sebagai kebenaran.
 
Tapi baiklah.
Sahdan kaum Pandawa kerepotan menghadapi Reksi Dorna di tengah peperangan panjang Mahabharata, yang tragis dan melelahkan. Pada ruang peperangan itulah, Reksi Dorna yang sebelumnya---dalam versi wayang Jawa, pernah menipu Brantasena agar mencari “kayu gung susuhe ngangin”, maju ke gelanggang perang. Seorang resi, ahli agama dan ketuhanan, dan ahli perang, murid kebanggaan Resi Bargawa Parasurama, dengan gampang dan culas membabat habis pasukan musuh hanya dengan sebelah tangan saja. Reksi Dorna termasuk makhluk kekal. Tak bisa dibunuh. Tak ada satu pun dewa dapat mengakhiri hidupnya. Langgeng selawase. Dia yang telah menciptakan lingkaran Cakrabyuha, membuat Abimanyu terjebak, lalu tewas dalam lingkaran Reksi Dorna tersebut. Dengan usia yang tua renta, tapi congkak dan memandang remeh siapa saja, Reksi Dorna membantai ribuan pasukan Pandawa seorang diri. Namun tak satu pun dari lima kesatria Pandawa berani menghadang Reksi Dorna, yang tak lain adalah guru mereka sendiri. Panah Arjuna yang ampuh tak berkutik, hatinya pun tak mau menggerakkan panah-panah. Mustahil ia membidikkan panah pada gurunya sendiri. Meski panah ditembakkan pada Reksi Dorna sekalipun, Reksi Dorna tidak akan mati. Jangankan senjata ampuh sejagat raya, bahkan takdir pun tak bisa menyentuhnya, apalagi melukai dan membunuhnya. Reksi Dorna tak terkalahkan.
 
Keadaan menjadi runyam. Lantaran Reksi Dorna, sang ahli agama dan ketuhanan sekaligus ahli perang itu, membabibuta menjatuhkan banyak korban. Basudewa bersiasat. Ia memahami kelemahan telak Reksi Dorna. Yakni putranya, Bambang Aswatama. Seorang ahli agama, guru ketuhanan, dan begawan perang, Reksi Dorna sangat menyayangi putranya lebih dari apa pun di jagat raya ini. Seluruh harta, jiwa-raga, dan ilmunya ia persembahkan dan akan ia wariskan pada Bambang Aswatama. Ia berharap Bambang Aswatama kelak meneruskan posisinya sebagai resi agung Ngastinapura. Bagaikan kebanyakan seorang ahli atau tokoh agama yang cenderung mewariskan perguruan pada anaknya. Dan anak dari seorang tokoh agama selalu dibangga-banggakan meneruskan ketokohan orangtuanya sebagai trah ahli agama. Sebagaimana kebanyakan orangtua yang cenderung membangga-banggakan anaknya, Reksi Dorna sangat mengutamakan dan membangga-banggakan Bambang Aswatama. Dialah putra harapan. Segala-galanya.
 
Basudewa berspekulasi. Jika seandainya Bambang Aswatama mati, Reksi Dorna tak akan punya alasan tetap hidup. Ia akan menyerahkan nyawanya, lantaran tak ada lagi harapan dalam hidupnya. Trah seorang ahli agama dan guru agung bakal lenyap dalam sejarah, jika sang anak yang dibanggakan telah tewas terlebih dahulu sebelum orangtuanya. Tapi membunuh Bambang Aswatama adalah urusan lain. Tak mudah menumbangkan Bambang Aswatama dalam waktu singkat, sang anak resi yang pongah dan menepuk-nepuk dada mewarisi kesucian bapaknya.
 
“Bunuh Esti Aswatama!” perintah Basudewa. “Lalu teriakkanlah ke mana-mana, bahwa Aswatama sudah tewas!” pungkasnya dengan senyum yang licik penuh muslihat.
 
“Kita tidak boleh berdusta. Itu bukan sikap kesatria,” ujar Yudistira, kesatria jujur yang tolol saat mempertaruhkan segala-gala dalam permainan dadu.
 
“Kita tidak berbohong. Dan engkau tak perlu berbohong. Katakanlah dengan sebenarnya, bahwa Esti Aswatama memang benar-benar telah mati, jika Reksi Dorna bertanya padamu,” jawab Basudewa.
 
Esti Aswatama adalah nama seekor gajah milik Pandawa. Gajah itu dibunuh. Dikorbankan. Seluruh pasukan berteriak-teriak girang.
 
“Aswatama mati!”
“Aswatama tewas!”
“Aswatama habis!”
“Modar!”
“Mampus!”
 
Siasat itu berhasil. Mendengar Aswatama mati, seluruh tubuh Reksi Dorna menjadi dingin. Kecongkakannya meredup. Ia lupa, hanya Hyang Widi yang berhak sombong, bukan dirinya sesuci apa pun. Tubuhnya yang tua menjadi semakin renta, melemah, seluruh kesaktiannya runtuh. Segenap ilmu agama dan ilmu ketuhanannya tak berfungsi lagi. Lenyap. Ia menyerahkan nyawanya. Dengan tangkas, dipenggallah kepala Reksi Dorna. Sang begawan perang, tokoh dan guru agama yang agung itu pun ambruk mengakhiri keabadiannya di dunia.
 
Agaknya tak mudah menjadi seorang yang mengajarkan ilmu, menjadi seorang ahli ketuhanan atau tokoh agama. Ia akan diserang ketergantungan atau pemujaan keturunan yang tak lain bentuk pemujaan terhadap dirinya sendiri. Ditipu kebanggaan-kebanggaan, ditipu keahliannya sendiri, ditipu kecongkakannya sendiri, diperdaya kesombongan membangga-banggakan anaknya dan murid-muridnya sendiri yang telah dianggap berhasil. Reksi Dorna dibunuh keagungannya sendiri.
 
Tapi siapa sebenarnya para penipu, atau siapa sesungguhnya yang paling mungkin bisa melakukan penipuan? Penipu yang tertipu itu bisa saja Reksi Dorna dengan mulutnya yang manis mendayu-merdu. Tapi siapa yang menipu penipu? Pada sisi lain, di situ Basudewa pun menipu. Tinggal siapa dan atas kepentingan apa peristiwa itu dilihat atau dikerjakan. Dunia tak pernah selamanya hitam dan putih. Begitu pula sejarah. Para penipu itu---sebagaimana dalam lagu “Kuda Lumping” (SWAMI II, 1991) yang dinyanyikan Iwan Fals dan Sawung Jabo, tak lain adalah mereka yang “berbaju sutra”, sehingga dengan baju kehormatannya itu ia “pandai menipu”. Dan mulutnya “berbau busuk”, yang berusaha terus menerus “mempertahankan hidup yang busuk”.
 
Tembokrejo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/07/para-penipu/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria