jeudi 29 juillet 2021

Pejuang

Maria Magdalena Bhoernomo
Seputar Indonesia, 19 Agu 2007
 
Lelaki tua itu selalu suka mengenakan lencana merah putih yang disematkan di bajunya. Di mana saja berada, lencana merah putih selalu menghiasi penampilannya.
 
Ia memang seorang pejuang yang pernah berperang bersama para pahlawan di masa penjajahan sebelum bangsa dan negara ini merdeka. Kini semua teman seperjuangannya telah tiada. Sering ia bersyukur karena mendapat karunia umur panjang. Ia bisa menyaksikan rakyat hidup dalam kedamaian.
 
Tak lagi dijajah oleh bangsa lain. Tidak lagi berperang gerilya keluar masuk hutan. Tapi ia juga sering meratap-ratap setiap kali membaca koran yang memberitakan keadaan negara ini semakin miskin akibat korupsi yang telah dianggap wajar bagi semua pengelola negara.
 
Banyak kekayaan negara juga dikuras habis-habisan oleh perusahaan-perusahaan asing yang berkolaborasi dengan elite politik. Kini, semua elite politik hidup dalam kemewahan, persis seperti para pengkhianat bangsa sebelum negara ini merdeka. Dulu, pada masa penjajahan, para pengkhianat bangsa menjadi mata-mata Kompeni.
 
Mereka tega mengorbankan anak bangsa sendiri demi keuntungan pribadi. Mereka mendapat berbagai fasilitas mewah. Seperti rumah, mobil dan juga perempuan-perempuan cantik yang dijadikan gundiknya. Ia tiba-tiba teringat pengalamannya membantai sejumlah pengkhianat bangsa di masa penjajahan.
 
Saat itu ia ditugaskan oleh Jenderal Sudirman untuk membersihkan negara ini dari pengkhianat bangsa yang telah tegamengorbankan siapa saja demi keuntungan pribadi. ”Para pengkhianat bangsa adalah musuh yang lebih berbahaya dibanding Kompeni. Mereka tak pantas hidup di negara sendiri. Kita harus menumpasnya sampai habis. Mereka tak mungkin bisa diajak berjuang karena sudah nyata-nyata berkhianat,” Jenderal Sudirman berbisik di telinganya ketika ia ikut bergerilya di tengah hutan.
 
Ia kemudian bergerilya ke kota-kota menumpas kaum pengkhianat bangsa. Ia berjuang sendirian menumpas kaum pengkhianat bangsa.Dengan menyamar sebagai penjual tape singkong dan air perasan tape singkong yang bisa diminum sebagai pengganti arak atau tuak,ia mendatangi rumah-rumah kaum pengkhianat bangsa. Banyak pengkhianat bangsa yang gemar membeli air perasan tape singkong.
 
Mereka bilang, air perasan tape singkong lebih nikmat ditenggak dibanding arak atau tuak.Air perasan tape singkong juga bisa bikin mabuk secara pelan-pelan sehingga nikmat untuk diminum sebelum bercinta dengan istri atau dengan gundik-gundik. Dengan minum air perasan tape singkong, mereka mengaku bisa lebih perkasa sehingga bisa lebih memuaskan istri dan gundik-gundiknya.
 
Dasar kaum pengkhianat, senangnya hanya mengumbar nafsu saja. Ia begitu dendam kepada kaum penkhianat bangsa. Mereka harus ditumpas habis dengan cara apa saja. Dan ia memilih cara paling mudah tapi sangat ampuh untuk menumpas kaum pengkhianat bangsa. Air perasan tape singkong sengaja dibubuhi racun yang diperoleh dari seorang sahabatnya berkebangsaan Tionghoa yang sangat mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
 
Entah terbuat dari bahan apa, racun itu sangat berbahaya. Jika dicampur dengan air perasan tape singkong, lalu diminum, maka dalam waktu dua jamsetelah meminumnya maka si peminum akan tertidur untuk selamanya. Tak ada yang tahu, betapa kaum pengkhianat bangsa tewas satu persatu setelah menenggak air perasan tape singkong yang telah dicampur dengan racun.
 
Dokter-dokter yang menolong mereka menduga mereka mati akibat serangan jantung. Dukun-dukun yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat terkena santet. Pemuka-pemuka agama yang mencoba menolong mereka menduga mereka mati akibat kutukan Tuhan karena mereka telah banyak berbuat dosa.
***
 
LELAKI tua itu merasa ingin tetap menjadi pejuang, meski pada saat ini usianya sudah 80 tahun. Meski sudah tua, tubuhnya tetap sehat dan ingatannya masih normal. Sering ia ingin berjuang menumpas kaum pengkhianat bangsa yang kini semakin membuat negara ini miskin tertimbun hutang yang berbunga-bunga.
 
Ia sering membayangkan sedang menyamar sebagai penjual tape singkong dan air perasan tape singkong yang sudah dicampur dengan racun kepada kaum pengkhianat bangsa yang kini hidup bermewah-mewahan. Mereka pasti sama dengan kaum pengkhianat pada masa penjajahan. Mereka pasti juga suka bersenang-senang dengan istri dan perempuan-perempuan simpanannya.
 
Cuma bedanya mereka mungkin tidak suka minum air perasan tape singkong karena sekarang sudah banyak minuman keras denganberbagai rasa yang jauh lebih nikmat. ”Zaman telah berubah. Mungkin untuk menumpas kaum pengkhianat pada saat ini tidak lagi bisa dengan air perasan tape singkong bercampur racun. Perlu cara-cara lain”. Ia bergumam sambil duduk di kursi goyang di rumah cucunya.
 
Sejak istrinya wafat, ia memang diminta tinggal bersama cucunya yang paling kaya. Tanpa sepengetahuannya, cucunya itu adalah seorang pengusaha besar yang diam-diam ikut mengekspor kayu ke negara-negara lain secara ilegal. Cucunya bekerja sama dengan kaum penebang liar yang telah merusak ribuan hektar hutan di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera.
 
Di depannya, cucunya selalu berpura-pura membenci kaum pengkhianat bangsa yang telah merusak hutan. Dan pagi itu, ia bersama cucunya menikmati sarapan bersama, lalu membaca koran yang baru saja diantar loper. Koran itu memberitakan rusaknya hutan Indonesia akibat kerakusan sekelompok orang yang layak disebut sebagai pengkhianat bangsa dan negara.
 
Mereka betul-betul telah mengkhianati bangsa dan negara yang telah memberinya kepercayaan untuk menjaga hutan tapi kemudian merusak hutan. ”Pada masa penjajahan, hutan kita tidak rusak padahal tidak ada yang menjaganya. Kini hutan kita semakin rusak padahal dijaga banyak pihak”. Ia bergumam dengan kesal dan sedih. Cucunya tertawa dan menghiburnya dengan kata-kata lembut.
 
”Jangan sedih, Eyang. Hutan kita pasti akan kembali baik setelah tunastunas pohon tumbuh besar. Tapi kalau hutan kita semakin gundul, lebih baik dibuka untuk lahan pertanian atau berkebunan saja”. Ia tersenyum kecut. Kata-kata cucunya itu membuatnya masygul. Sebab, kenyataannya, lahan pertanian dan lahan perkebunan yang ada semakin sempit akibat pemekaran kampungkampung penduduk.
 
Banyak perkampungan baru di buka di mana-mana karena banyak orang kaya di negeri ini yang suka mengoleksi rumah mewah. Kaum koruptor juga suka menyembunyikan hasil korupsinya dalam bentuk kepemilikan rumah-rumah mewah di berbagai daerah atas nama keluarga dan kerabatnya agar sulit dilacak setelah kasus korupsinya terbongkar. ”Eyang sudah tua. Lebih baik menikmati kemerdekaan ini dengan sebaik- baiknya tanpa memikirkan bangsa dan negara yang sudah damai ini”.
 
Cucunya kembali menghiburnya dengan kata-kata lembut. Ia masih saja tersenyum kecut. Rasanya ia ingin tetap berjuang menumpas kaum pengkhianat bangsa dan negara yang saat ini merajalela memperkaya diri sendiri.
***
 
LELAKI tua itu baru saja habis sarapan bersama cucunya. Dan seperti biasanya, ia lalu membaca koran yang baru saja diantar loper.Tiba-tiba cucunya disergap oleh satu regu aparat penegak hukum dengan tuduhan sebagai penjarah hutan. Mereka juga menggeledah rumah mewah itu untuk mencari barang bukti yang dibutuhkan untuk proses hukum di persidangan nanti.
 
”Benarkah cucuku ikut merusak hutan?” tanyanya kepada seorang aparat yang sedang sibuk menggeledah kamar tidur. ”Ya, betul,Pak Tua. Cucu Anda sudah lama kami lacak.Semula kami menduga dia tinggal di luar negeri.Tapi ternyata dia tinggal di rumah ini”.
 
”Dengan siapa saja cucuku merusak hutan?” Seorang aparat itu hanya tersenyum sambil memandangi lencana merah putih yang disematkan di baju lelaki tua itu. Lalu bertanya, ”Maaf, apakah Pak Tua dulu seorang pejuang yang pernah berperang melawan Kompeni?” ”Ya, begitulah. Dan sampai sekarang aku ingin tetap berjuang. Sekali berjuang tetap berjuang sampai mati,” ”Bagaimana perasaan Pak Tua setelah melihat si cucu ternyata telah menjadi pengkhianat bangsa dan negara dengan ikut merusak hutan?” ”Aku sangat kecewa dan sedih. Dan jika ternyata cucuku memang terbukti bersalah, aku akan menghukumnya dengan mengeksekusi mati”.
 
”Dengan cara apa Pak Tua akan mengeksekusi mati si cucu yang telah ikut merusak ribuan hektar hutan itu?” ”Dengan cara yang sama seperti yang dulu sering kulakukan untuk menumpas kaum pengkhianat bangsa pada masa penjajahan”.
***
 
LELAKI tua itu menjenguk cucunya yang ditahan di dalam sel khusus.Tampak cucunya sangat murung dan kedinginan. Biasanya tidur di atas kamar tidur mewah, kini terpaksa tidur di sel yang sempit dan dingin. ”Tolong Eyang, kalau datang menjenguk saya lagi, bawakan minuman yang bisa menghangatkan badan,”Cucunya berpesan sambil tersipu malu.
 
”Kamu mau minum air perasan tape singkong?” tanyanya. Cucunya mengangguk. Esoknnya, ia datang lagi menjenguk cucunya di dalam sel khusus dengan membawa sebotol air perasan tape singkong yang telah dicampur dengan racun tikus. Racun tikus itu mirip dengan racun yang dulu digunakan untuk menghabisi kaum pengkhianat bangsa dan negara. Air perasan tape singkong itu hanya dicampur dengan sedikit racun tikus, agar cucunya tidak langsung mati sehabis meminumnya.
 
Mungkin dua atau tiga jam kemudian baru tertidur untuk selamanya setelah menenggaknya. ”Sebaiknya air perasan tape singkong ini kamu minum menjelang malam nanti, biar kamu tidak kedinginan, sehingga bisa tidur nyenyak sampai pagi,” ujarnya ketika menyodorkan sebotol air perasan tape singkong bercampur racun tikus kepada cucunya. Dan esoknya, pagi-pagi sekali ada kabar cucunya sudah tewas di dalam sel tahanan. Dokter yang memeriksa jenazah menduga cucunya mati akibat serangan jantung.
***
 
LELAKI tua itu tersenyum lega sehabis mengikuti prosesi pemakaman cucunya. Sambil berdiri di depan cermin, ia melihat lencana merah putih tersemat di bajunya. Ia merasa semakin bangga karena bisa melanjutkan perjuangan pada saat bangsa dan negara ini sudah merdeka lebih dari setengah abad. Ia yakin, sampai kapan pun pasti selalu ada pengkhianat bangsa dan negara. Dan ia ingin terus berjuang menumpas pengkhianat bangsa dan negaranya. Ia benar-benar seorang pejuang sejati.
***

Griya Pena Kudus, 2007 http://sastra-indonesia.com/2021/07/pejuang/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria