mardi 20 juillet 2021

Puisi, Ekspresi dan Kesadaran Kolektif Personal

Indra Tjahyadi *
suarakarya-online.com
 
Dapat dikatakan, bahwa puisi merupakan sebentuk ekspresi, yang meskipun teramat sangat bersifat individual, acapkali, entah sifatnya mengkritisi atau mempertegas, masih saja terikat dengan solidaritas kesadaran kolektif personal. Hal ini seperti yang dapat dilihat pada puisi-puisi yang terkumpul dalam kumpulan puisi “Duka Atjeh Duka Bersama” (Dewan Kesenian Jawa Timur & Logung Pustaka, 2005), seperti contohnya pada puisi karya Bonari Nabonenar yang berjudul:
 
“Tragedi Bangsa Pemabuk”:
 
dan layaknya pemabuk
dengan gagah kita berkata
kita adalah para pecinta
tetapi siapakah yang sejak
berpuluh tahun lalu
mengembangkan layar dengan serakah
dan mengebarkan bendera dengan
pongah
(2005: 15).
 
Atau juga pada puisi karya Adi Setijowati yang berjudul
 
“Tragedi I”:
 
Kita sama-sama terasing
di tengah semburatnya
hiruk pikuk yang menyumbat otak
menjadi robot manusia baru
(2005: 1).
 
Pun hal yang sama juga dapat ditemui dalam baris-baris puisi karya Isbedy Stiawan SZ yang berjudul
 
“Suatu Hari Kuingat Aceh”:
 
Nuh telah pergi, saudaraku
perahunya sudah terdampar
tiada lagi pohon di kota ini
karena terlanjur hanyut
tiada tempat singgah
sebab gedung-gedung luluh
(2005: 28).
 
Puisi, meskipun terikat dengan solidaritas kesadaran kolektif personal, ia bukanlah kesadaran kolektif personal itu sendiri. Bentuk sifatnya yang lebih merupakan ekspesi individual menjadikan sebuah puisi lebih merupakan manifestasi ungkapan rasa haru biru manusia sebagai seseorang yang, entah mau atau tidak, sadar atau tidak, juga merupakan bagian dari dunia. Yang terus menerus, tanpa letih dan penuh kesabaran, berusaha diwujudkan melalui kata-kata.
 
Meskipun demikian, kata-kata tersebut bukanlah hanya sekedar kata-kata bersifat biasa seperti yang acapkali dapat ditemukan dalam interaksi sosial kehidupan sehari-hari. Melainkan, bersepakat dengan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana mengenai puisi, kata-kata yang mesra. Dalam pemahaman, bahwa pada kata-kata dalam sebuah puisi adalah kata-kata yang hadir dengan segenap enerji dan geliat-gelubat batin seorang penyair, dalam usahanya untuk mengakomodir rasa kepekaannya atas segala sesuatu yang terjadi di dunia, dengan tanpa pernah meninggalkan rasa kekagumannya atas hidup dan keberadaannya. Seperti contohnya yang terlihat pada puisi karya Aming Aminoedhin yang berjudul “Serambi Mekah II”:
 
kota indah serambi mekah
tak hanya murung tak hanya muram
kota sepi seperti mati
hujan airmata tiada henti
hujan airmata itu sampai kepada kita
hujan airmata itu sampai ke ujung dunia
(2005: 9).
 
Atau juga pada puisi karya Binhad Nurrohmat yang berjudul
 
“13”:
 
dengan apa bisa kuseka petaka
petaka bisa kuseka dengan apa
dengan apa bisa kuseka derita
derita bisa kuseka dengan apa
(2005: 13).
 
Dari kutipan puisi Aming Aminoedhin dan Binhad Nurrohmat dapatlah dilihat betapa mereka masih saja, dengan segala kemampuan artistik dan kepekaannya, berusaha menghadirkan puisi-puisinya dengan segala kekuatan estetik kata-kata yang puitis. Dan hal tersebut dapatlah dilihat dari bagaimana keduanya masih senantiasa menjaga harmonisasi bunyi kata, meskipun secara tematik puisi-puisi mereka tersebut terikat dengan solidaritas kesadaran kolektif personal mereka sebagai bagian dari dunia dan masyarakat. Seperti juga pada puisi karya Muhammad Aris yang berjudul “Bunga Disebar Sesaji Dilayar” (2005: 35-36), atau puisi karya Herry Lamongan “Wilayah Mati Tanpa Pemakaman” (2005: 22).
 
Bencana alam, atau mungkin lebih tepatnya malapetaka alam, yang terjadi di Aceh, sebuah geografi yang ada di salah satu bagian negri ini, telah menimbulkan banyak sensifitas kepekaan rasa kebersamaan bagi banyak individu yang tinggal di negri ini. Pun juga, terlebih lagi, bagi para penyair di negri ini. Bagi para penyair tersebut, bencana ataupun malapetaka alam yang menimpa Aceh tersebut seakan-akan mengasah enerji artistik penyair dan kemampuan renjananya sebagai seorang manusia. Tengok saja larik-larik puisi “Kota Mati Gentayangan” karya W. Haryanto:
 
kuziarahi namamu. DIRI; juga peristiwa
saat matahari mencair dan terbelah
kurangkam ajal kota-kota
(2005: 59).
 
Sebagai seorang penyair yang karya-karyanya banyak bergelut dengan tema-tema seputar maut dan kematian, apa yang terjadi pada Aceh telah menimbulkan semacam enerji inspirasi bagi W. Haryanto. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan yang terjadi pada Ida N. Chazanah. Bagi Ida, apa yang menimpa Aceh telah menimbulkan semacam rasa prihatin dan belasungkawannya, hal ini pada akhirnya membawa dirinya sampai pada kritisisasi keberadaan Tuhan, dunia dan dirinya sebagai manusia di dunia. Seperti yang dapat dilihat pada larik-larik puisinya yang berjudul “Renungan Bencana Tsunami”:
 
Ya Allah…
tanda-tanda apakah ini?
semua kau hancurkan
luluh lantak tak berkeping!
Kecuali Masjid-Mu!
(2005: 26).
 
Semangat yang sama juga dapat dilihat pada puisi “Divine Tragedy” karya Mashuri. Dalam puisinya tersebut, begitu terbaca betapa Mashuri melalui aku-lirik larik puisinya, berusaha untuk melakukan kritisisasi atas keberadaan Tuhan, dunia dan manusia. Dan dalam konteks ini kritisisasi tersebut muncul mula-awalnya disebabkan oleh bencana ataupun malapetaka yang terjadi di Aceh. Seperti yang terlihat pada larik-larik puisinya tersebut:
 
2
bumi tak pernah bulat tuk dipahami
karena kaki
tak pernah berjejak
di sini
 
3
ah, mungkinkah tuhan alpa mencatat
(2005: 33).
 
Demikianlah, meskipun sebuah puisi merupakan sebentuk ekspresi individual, akan tetapi ia, bisa jadi, masih saja terikat dengan solidaritas kesadaran kolektif personal penciptanya sebagai bagian dari dunia. Dan apa yang muncul dan menimpa Aceh, sedikit banyak, telah ikut serta menumbuh-kembangkan serta menajamkan enerji artistik dan pengetahuan seorang penyair dalam kepekaannya terhadap diri, dunia dan Tuhan.
***

*) Penulis adalah penyair, esais, staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo. http://sastra-indonesia.com/2009/03/puisi-ekspresi-dan-kesadaran-kolektif-personal/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria