samedi 3 juillet 2021

Puisi yang Kukuh Merengkuh Realitas

Alex R. Nainggolan *
Lampung Post, 4 Nov 2012
 
Puan dan tuan yang terhormat,
Membaca puisi adalah membaca kata. Ketika isi kepala bercampur dengan segala pengetahuan, menyulingnya dari segala macam kisah, mendedahkan makna yang terkandung di dalamnya. Semacam masuk labirin yang panjang. Mengetuk di pelbagai pintu. Syukur bisa masuk dan bertemu dengan ragam makna dan kisah. Itulah, terkadang saat membaca sebuah puisi terasa berbeda antarpribadi untuk meresapinya. Mulanya adalah rasa, kemudian berlanjut dengan ketegangan. Jarak antarkata yang rapat, sepenggal paragraf yang sekejap menggugah kesadaran. Tak heran, setiap kali membaca sebuah puisi, justru pembaca menciptakan dunianya sendiri. Dunia yang dibangun dari pusaran kata-kata itu sendiri.
 
Pun sebuah puisi tak pernah alpa atau dusta pada realitas. Bahkan ketika imajinasi atau metafora yang disuguhkan begitu melebar, ia tetap menguntit realitas tersebut. Hamparan imaji yang terangkum dalam diksi seperti sebuah selimut, membingkai peristiwa -yang hendak diungkapkan. Sebuah karya mungkin bergerak seperti Sokrates yang senantiasa tampil sebagai sosok yang tak tahu dan senantiasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada lawan bicaranya (si pembaca) agar terus mencari dan mengolah pengertian yang lebih dalam tentang diri dan dunia yang dialaminya. Dengan kata lain, setiap sajak memang tak mesti mutlak mengatakan dengan pasti. Bisa saja, ia bermaksud begini, tapi maunya begitu. Dan segala macam bentuk tafsiran bebas ketika sajak dibaca. Pembaca dengan segenap pengetahuannya bisa mengembara dengan sendirinya.
 
Ia, sebagaimana yang pernah diungkap Goenawan Mohammad dalam sajak Kwatrin pada Sebuah Poci -berusaha untuk tidak retak, tampil sempurna dengan kependekan kata yang dimilikinya tapi berusaha menjadi abadi. Puisi yang baik memang berusaha untuk melawan lupa itu sendiri. Dengan gaung kata yang terasa ganjil dan gigil, ia memaknai segala yang terkandung di dalamnya. Dan perjuangan si penyair untuk menuliskannya memang dipenuhi dengan misteri yang ajaib pula, kerap dihantui oleh keganjilan itu sendiri.
 
Akhirnya, puisi memang tetap kukuh bersama realitas. Ia menempuh segala jazirah kata yang dimilikinya untuk tetap terkayuh, luruh tanpa mesti bersikap verbal terhadap bahasa. Dengan meneguhkan realitas, setidaknya puisi akan menjadi sebuah dermaga lalu memandang arah perjalanan selanjutnya. Puisi semacam biduk yang berlayar sendirian di antara samudera kata-kata. Meskipun banyak yang berharap bisa sampai di tempat tujuan dengan selamat.
 
Membaca antologi puisi yang ditulis oleh rekan-rekan FLP (Forum Lingkar Pena) se-Sumatera, saya seperti diajak tamasya ke banyak peristiwa. Sejumlah kata yang hadir seperti tergelincir, lalu mengalir. Saya takjub, jika ternyata tradisi “bercerita” bahkan dalam puisi kita seperti abadi. Sebagian besar, puisi-puisi dalam kumpulan ini mendedahkan gaya bertutur. Karya yang terangkum semacam ingin menyuguhkan suatu kisah, yang mungkin luput bagi orang kebanyakan.
 
Saya memilih membaca puisi-puisi dalam kumpulan ini secara acak. Simak dalam puisi Alizar Tanjung, Menunggu Ibu (1):
 
Aku kelas dua, Bu, menyusun kursi, bangku,
menata bunga, vas kaca, alas, menanti riang
senyummu dan riak-riak bahasa “selamat pagi nak.”
 
Aku kelas dua, Bu, mengatur bahasa, “pagi bu.”
 
Membaca alif dan ya, menata “a” dan “z”,
di pinggiran bibir ibu, di kedalaman rindu.
 
Aku kelas dua, Bu, yang menanti hujan penuh pelangi
di matamu, di bibir pintu tanpa dada di tangan,
mengecup punggung tanganmu. “Harum” seruku
pada Tut Wuri Handayani di bibir Hadjar
di ruang itu, aku menunggumu, Bu, sendirian,
di meja, kursi: buku penuh coretan, puisi-puisi
yang kau ajarkan.
 
Terasa sekali apa yang hendak disampaikan dalam puisi ini. Seperti sebuah penebalan yang tak terengkuh, Alizar bertutur dengan cara yang sederhana. Bahasa keseharian, tapi yang tergambar banyak makna terengkuh di sana. Puisinya tidak menjelma khotbah. Namun, nuansa yang dibangun, dari imajinasi tentang seorang anak yang menunggu “ibunya” begitu kentara. Ada gigil kerinduan yang dalam terbangun di sana. Pemungutan realitas yang tampak dipungut dari keseharian. Dengan bahasa yang sederhana, justru bagi saya puisi ini memunculkan “bunyi”-nya sendiri.
 
Ada banyak kerinduan yang dibangun dalam kumpulan ini. Kerinduan pada Ibu, kekasih, kota atau Tuhan/religi. Untuk kerinduan pada Tuhan, saya teringat pada sejumlah puisi dari Amir Hamzah yang begitu takjub dan takzim dengan segala baitnya. Pula pada beberapa puisi yang ditulis Muhammad Asqalani eNeSTe dan Muhammad Hadi. Betapa penyair ini menjabarkan masalah hubungannya dengan Tuhan tanpa mesti verbal sehingga gerak kata yang termaktub di dalamnya begitu cair. Semacam dalam puisi Ayat-ayat Iftitah 23-24, Metamarfosa Sajadah dan puisi Muhammad Hadi, Empat Riwayat Merapal Zikir.
 
Wilayah religi yang dibangun pada sejumlah puisi di kumpulan ini, mengisyaratkan bahwa pada mulanya seorang penyair hanyalah sebutir debu, yang tak berarti -meskipun dalam memandang hidup secara penuh ia menjaga irama kata-kata puisinya. Mengabarkan sejumlah kenyataan yang tersirat, yang mungkin ditemui di keseharian pada perjalanan kehidupan itu sendiri.
 
Ihwal menunggu juga hadir di dalam puisi Skylastar Maryam, Kita Berdua di Gerbong Kereta.
 
Sampai saat ini, saya percaya jika karya sastra yang baik -entah bagaimana ia menuliskannya, dengan metode apa- akan meninggalkan serat pencerahan. Setidaknya seseorang ketika berhadapan dengan teks tersebut dapat merenggut, memeras intisari kandungan cerita. Ia bisa saja mempercakapkan hal-hal yang dipenuhi nilai positif dan aturan norma, sebaliknya ia bisa muskil, gelap, dipenuhi dengan hal-hal yang negatif. Memang segalanya terletak di tangan pembaca. Bagaimana pembaca bertemu hilir-mudik teks dalam karya sastra lalu mengambil kandungannya. Dan si pengarang turut berproses, tentunya dengan kekayaan literer, sejumlah imajinasi, mengambil awang-awang- yang sebagaimana Sutardji Calzoum Bachri sebutkan dalam pelbagai tulisannya, tetap berpijak pada realitas. Demikian dalam kumpulan ini, begitu nyata dan kentara pijakan realitas yang melingkupinya.
 
Puan dan Tuan yang terhormat,
Akhirnya saya mesti menutup sekadar catatan ini. Ini merupakan salah satu sisi membaca puisi. Memang tak semua puisi saya jabarkan, beberapanya saya pilih secara acak. Pada dasarnya puisi-puisi di kumpulan ini adalah suatu upaya memandang realitas dengan pintu imaji yang lain. Dengan pelbagai khasanah yang melingkupinya, telah menunjukkan kerja kreatif untuk tidak mengebiri kata-kata. Semacam yang terjadi di dunia keseharian kita, begitu banyak kata-kata yang ternyata berubah jadi slogan ataupun juru kampanye bagi kekuasaan. Selebihnya memang kembali pada pembaca. Semua puisi di kumpulan ini bisa dimasuki dari ruang mana saja. Anggap saja tulisan ini hanya bualan belaka -yang bisa diabaikan. Dan kita berharap dapat menemukan puisi-puisi yang lain dengan gairah yang berbeda dan kata-kata menjelma cahaya.
***

*) Alex R. Nainggolan, penyair. http://sastra-indonesia.com/2021/06/puisi-yang-kukuh-merengkuh-realitas/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria