jeudi 15 juillet 2021

TEATER SURABAYA DI TENGAH KRISIS PENGAMATAN

Rakhmat Giryadi *
 
Kalau kita hitung, berapa jumlah teater nonkampus –untuk tidak menyebut profesional- di Surabaya? Kalau kita hitung-hitung tak melebihi jumlah jari tangan. Sementara yang masih eksis ‘berproses’ barangkali cuma berjumlah separuhnya. Beberapa bisa kita sebut, Teater Tobong, Teater Api Indonesia (TAI), Teater Jaguar, dan –mungkin- Bengkel Muda Surabaya, Teater Ragil. Untuk sementara kelompok-kelompok inilah yang masih memiliki greget menggairahkan perteateran di Surabaya. Bahkan mereka bisa diklaim sebagai rujukan eksistensi teater Surabaya di tingkat nasional.
 
Namun beberapa kelompok yang saya sebut di atas, menurut pengamatan saya, dalam periode awal tahun 2000-an hanya TAI dan teater Tobong yang memiliki vitalitas yang tinggi untuk berproses. Bahkan mereka juga menciptakan pengaruh -wacana teater- yang berorientasi pada eksperimen dan ekplorasi tubuh aktor.
 
Dua kelompok teater tersebut di atas terdiri dari anak-anak muda yang tidak berorientasi pada formaliseme teater yang hanya berkutat pada tontonan. Mereka lebih mengedepankan proses yang berkesinambungan sambil menebarkan ‘virus’ kepada sesama generasi. Barangkali kalau boleh saya simpulkan, ideologi mereka adalah ideologi proses. Jadi, untuk sementara proses bagi generasi teater paska generasi Akhudiat adalah persoalan yang mengedepan. Meski demikian demi pencapaian ideologi artistik, kelompok teater ini juga menawarakan berbagai gagasan yang diwujudkan dalam beberapa pagelarannya.
 
Ruang Dialog
 
Bila dibandingkan dengan generasi Akhudiat, pencapaian-pencapaian artistik dan unsur pertunjukan lainnya, oleh generasi saat ini bisa dinomer duakan. Artinya perwujudan gagasan mereka tidak hanya berhenti saat pertunjukan itu digelar, tetapi pada tahapan pencapaian berikutanya yang semua itu berada di luar pertunjukan.
 
Inilah yang harus dicermati. Sebenarnya sebuah gagasan teater tidak berhenti pada saat pertunjukan itu digelar atau bagaimana sebuah kelompok teater mengorganesasi sebuah ivent. Tetapi seberapa jauh gagasan itu membuat ruang dialog teater menjadi terbuka sehingga memungkinkan gagasan-gagasan lain tumbuh.
 
Inilah yang bisa membuat peluang teater –di Surabaya- tumbuh dengan sehat. Jadi tidak hanya sekedar membuat dikotomi, siapa yang bodoh dan siapa yang pintar, seperti dicontohkan Akhudiat dalam Kompas (29/12/03), untuk menggambarkan betapa sulitnya memahami teater modern.
 
Kalau ruang dialog terbuka, barangkali dikotomi siapa bodoh dan siapa pintar menjadi bisa dinetralisir dan menjadikan batas antara penonton dan pelaku semakin nisbi (baca : tidak terbatas). Namun demikian keterbukaan ini tidak longgar, tentu dalam hal ini ada etika-etika atau bentuk pertanggungjawaban oleh sebuah kelompok atas gagasan yang telah ditawarkan.
 
Kebingungan penonton untuk menangkap –makna- teater modern tidak sepenuhnya salah di antara ke duanya (penonton dan pelaku). Tetapi bisa jadi unsur lain yang tak kalah penting adalah tidak adanya pengamat yang bisa menjembatani kerentanan ini. Saya membayangkan, bila seandainya pra pentas sebuah kelompok teater ada semacam pra wacana yang diaktualisasikan oleh pengamat dalam bentuk diskusi atau tulisan-tulisan di media massa, barangkali pertunjukan akan lebih menarik dan merangsang untuk tidak sekedar menjadi penonton yang dibutakan matanya tetapi penonton yang dihidupkan otaknya –multi tafsir-, oleh berbagai unsur yang telah menjembataninya. Sehingga dikotomi (yang kadaluwarsa) seperti dicontohkan Akhudiat tidak terjadi.
 
Profesionalisme
 
Kalau kita berbicara profesioanalisme atau amatiran, seperti yang terungkap dalam wawancara Kompas (29/12/03 ) dengan Akhudiat –salah seorang yang telah menjadi bagian dari sejarah teater di Surabaya- ketika mengomentari pertunjukan Laboratorium Gila oleh Teater Api Indonesia (27-28/12/03), tidak sesederhana yang diungkapkan Akhudiat dengan mencontohkan profesional ala Bengkel Muda Surabaya yang telah –berhasil- mengeksplorasi besutan, pontomim, ataupun penggabungan bentuk drama-musik.
 
Saya kira Akhudiat hanya menyederhanakan persoalan. Bahwa memaknai profesional hanya sebatas pencapaian artistik sebuah kelompok saja. Ada berbagai sebab kalau teater di Surabaya disebut tidak profesional dan masih bersifat amatiran. Ada ruang lain yang tidak tergarap, ketika teater membutuhkan ruang profesional. Berbagai ruang itu masih nampak kosong melompong dan tidak merangsang orang-orang yang berkecimpung di teater menjadikan teater sebagai ruang profesi, tetapi bisa jadi hanya sekedar menjadi tempat numpang lewat.
 
Salah satu ruang yang teramat longgar dan tampak sudah banyak dilupakan adalah ruang pengamat yang serius dan utun untuk mempresentasikan gagasan-gagasan baru di jagad teater baik itu pra pentas maupun paska pentas. Unsur ini penting ketika profesionalisme dituntut. Kehadiran seorang pengamat sekaliber Akhudiat misalnya, dibutuhkan untuk membedah secara obyektif gagasan-gagasan yang ditawarkan teater –modern- di Surabaya.
 
Unsur lain adalah keterlibatan media massa yang membuka ruang promosi dengan tidak sekedar mencatat tanggal dan jam pentas saja, tetapi juga mengaktualisasikan gagasan teater melalui wawancara khusus dengan pelaku teater yang bersangkutan. Ketika dua ruang ini tergarap, saya kira kesenjangan sedikit diminimalisir dan kerja teater bisa dipertanggungjawabkan secara profesional pula.
 
Tentu persolan di atas sangat sederhana. Yang menjadi persoalan sekarang, sudahkah kerja di luar panggung itu maksimal? Saya kira, kita –Surabaya- perlu introspeksi. Teater Surabaya sedang dalam krisis pengamatan. Tampaknya teater Surabaya membutuhkan ruang dialog –masyarakat, pengamat, media massa, pelaku- yang obyektif agar ruang profesional itu terbuka. Bagaimana, profesionalisme dituntut bila unsur yang lain tidak sejalan, bahkan cenderung menutup dan kontraproduktif?
 
Untuk menjadikan teater Surabaya profesional memang tidak kerja sederhana, karena butuh dukungan berbagai pihak yang bisa mewadahi teater ini bisa profesional. Bagaimana bisa profesional kalau pengamat sendiri memandang sinis –terlalu subyektif-sebuah pertunjukan ketika masyarakat –penonton- membutuhkan keterangan diluar subyektifitas pengamatan?
 
Pengamat yang kita butuhkan saat ini adalah pengamat yang tidak hanya sekedar mang-amini sejarah. Masyarakat teater –modern- di Surabaya membutuhkan pemikiran-pemikiran segar yang membuka jalan (avant gard).
 
Namun demikian pekerja-pekerja teater memang tidak bisa berpangku tangan ketika teater sedang terjadi krisis pengamatan. Teater tidak hanya sekedar melontarkan gagasan pertunjukan tetapi artikulasi gagasan dalam bentuk kerja intelektual –riset, menulis, dan yang lainnya- diperlukan. Sehingga ketika terjadi gesekan antara penonton, pengamat, media massa, dan pelaku masih terjembatani.
***
 
*) R. Giryadi, Sutradara Teater Institut Unesa, tinggal di Sidoarjo.

http://sastra-indonesia.com/2009/02/teater-surabaya-di-tengah-krisis-pengamatan/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria