vendredi 16 juillet 2021

Pemberontakan PKI Madiun 1948: Akar Konflik Islam Versus Komunis

 Geger PKI Madiun 1948 akan konflik selanjutnya Islam lawan komunis



Muhammad Subarkah *
Republika, 17 Jun 2020
 
Memang mengejutkan mengapa trauma konflik berdarah-darah kaum Muslim terhadap pengikut komunis tetap lestari atau laten sampai hari ini. Bayangkan, bila dilacak konflik ini sudah menginjak satu abad, yaitu semenjak para anggota Sarekat Islam Merah melakukan rapat-rapat di rumah  joglo milik saudagar kaya, H Rofi’i di Kotagede, Yogyakarta, yang kini dikenal warga sebagai rumah Ropingen.
 
Pada awalnya, anak muda SI Merah itu menganggap para seniornya di Sarekat Islam (kemudian disebut SI Hijau) kurang membela rakyat, dan terlihat pula kurang revolusioner atau radikal di dalam melawanan penjajah Belanda. Ini karena saat itu SI memilih masuk ke dewan rakyat (Volks Raads) bentukan pemerinah kolonial Belanda. Langkah Cokroaminoto dianggap lamban, dan ini makin menggebu setelah pengaruh ajaran komunis yang dibawa ke Henk Sneevliet dari Belanda kemudian bisa masuk ke organisasi massa yang kala itu punya masa dan kepengurusan terbesar di Hindia Belanda.
 
Pada masa awal itu banyak sekali tokoh Sarekat Islam masuk ke SI. Salah satu diantaranya adalah H Misbah, saudagar kaya asal Solo yang kala itu juga kader Muhammadiyah. Ia terpengaruh dengan SI Merah, bahkan menjadi pengikutnya dan oleh pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai salah satu otak pemberontakan PKI 1926. Misbah kemudian dibuang di Digul, Papua, dan meninggal di sana.
 
Dan memang letupan pertama dari percikan konflik antara PKI dan Sarekat Islam kala itu masih biasa saja. Sekedar perang kata dan sibuk berbantah soal berbagai tuduhan, misalnya soal jalannya roda organisasi yang dikelola Cokroaminoto. Bahkan awal pendirian PKI pun suasana unik. Kecenderungan ikon perjuangan lokal melawan penjajah yang pada awalnya 1900-an  mulai dimunculkan berkat Sarekat Dagang Islam dan Sarekat Islam, masih terbawa dalam Kongres PKI pertama di Semarang. Simbol perang Jawa, misalnya Pangeran Diponegoro dan Sentot Ali Basyah, gambarnya terpampang pada dinding gedung yang dipakai dalam kongres pertama PKI. Gambar Diponegoro dan Sentot kala itu bersanding dengan gamar tokoh PKI misalnya Karl Marx, Lenin serta Stalin.
 
Tapi ketegangan makin hari makin bertambah. Menjelang pemberontakan PKI terjadi perpecahan internal dengan sosok seperti Tan Malaka. Ini lebih karena para pengurus PKI kala itu melihat dia berubah haluan: lagi-lagi tak terlalu revolusiner. Sebelum itu pihak Komunis Internasional yang berpusat di Moskow marah karena Tan Malaka mengusulkan agar gerakan komunis menggandeng gerakan Islam ketika melawan penjahan. Perbedaan ini makin memuncak setelah Tan Malaka tidak setuju bila pada tahun 1926 PKI melakukan pemberontakan dengan alasan konsolidasinya belum kuat.
 
Dan setelah pemberontakan tersebut gagal, ternyata suasana persaingan antara Islam dan gerakan komunis masih terus berlangsung. Imbas lain, setelah peristiwa pemberontakan 1926 gagal, kala itu PKI kemudian menjadi partai terlarang dan para kadernya diawasi secara ketat oleh pemerintah Hindia Belanda. Dan situasi ini jelas menguntungkan bagi aktivis Islam yang lebih bisa bergerak leluasa karena bukan partai yang terlarang.
 
Situasi ini terus berlanjut hingga zaman Jepang. Waku itu umat Islam bahkan mendapat angin yang cukup. Para ulama oleh Jepang dimanfaatkan pengaruhnya sebagai basis kekuatan massa di dalam ikut serta memenangkan perang Asia Timur Raya. Situasi ini lagi-lagi berbeda dengan yang diterima kader komunis karena mereka terus diawasi dan menjadi partai terlarang. Musso, salah satu tokoh komunis yang terlibat pemberontakan PKI Madiun akhirnya tetap memilih berada di Uni Sovyet daripada pulang ke Jawa. Dia tahu bahwa situasi belum kondusif.
 
Angin segar kepada gerakan Islam kian menjadi ketika para tokoh Islam oleh pemerintah Jepang dibiarlan mulai menggagas organisasi politik yang kelak menjadi Partai Masyumi. Islam semakin mendapat angin karena mereka kemudian mendapat kesempatan duduk di lembaga yang oleh Jepang disebut sebagai lembaga untuk mempersiapkan datangnya kemerdekaan: BUPKI. Akibatnya, di lembaga ini nantinya hanya ada dua kelompok yakni nasionalis dan Islam saja. Kelompok sosilias tidak ada, karena kala itu melakukan gerakan bawah tanah alias tidak mau bekerja sama dengan pemerintah Jepang. Aktivis komunis tak ada di keanggotaan BPUPKI karena partai ini masih dalam status dilarang.
 
Akibat situasi ini maka masuk akal kemudian kecemburuan dan sikap panas atas perseteruan lama antara kaum komunis dan Islam meninggi. Elit politik kala itu tahu rapat-rapat pendirian embrio Masyumi ada di Pesantren Takeran Madiun. Maka wajar kiranya ketika pemberontakan PKI di Madiun, Musso bersama gerombolannya menarget pesantren ini sebagai 'sarang' lawan yang harus dihancurkan.
 
Pengaruh pesantren Takeran sebagai kekuatan politik Islam atau embrio Masyumi, diakui oleh Pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Mutaqin (PSM), KH Zakaria. Dalam sebuah percakapan di suatu sore bebera tahun silam, dia mengakui bila  pesantrennya menjadi target penghancuran PKI yang kala itu dipimpin Musso (Paul Mussotte, bernama lengkap Muso Manowar atau Munawar Muso).
 
“Saya yang melihat langsung peritiwa pada tanggal 17 September tahun 1948 itu, baru di kemudian hari sadar bila penculikan kyai dan pengepungan pesantren kami bukanlah aksi biasa yang tanpa tujuan. Para kader PKI kala itu benar-benar sudah mempersiapkannya dengan matang. Ini terbukti hanya dalam waktu singkat para pemberontakan tersebut mampu menguasai wilayah yang cukup luas, yakni meliputi Madiun, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Trenggalek, Ngawi, Purwantoro, Blora, Pati, Cepu, dan Kudus. Jadi, jelas ada persiapan matang mengingat pesantren kami adalah pusat gerakan Islam kala itu. Mereka pasti tahu di sinilah rapat-rapat awal Masyumi diselenggarakan,’’ katanya.
 
Lagi pula, lanjutnya sebelum meledak peristiwa pemberontakan itu, di sekitar Takeran beterbaran aneka pamflet tentang Musso yang kala itu baru pulang dari Moskow (Moscow). “Jadi pesantren Takeran dipilih untuk diserbu, karena saat itu menjadi tempat atau basis pergerakan Islam. Kiai kami, Kiai Mursyid mau diajak berunding dan bersedia dibawa pergi oleh orang-orang berpakaian merah —dan kemudian hilang—  karena sudah tahu pesantrennya terancam akan dibakar,'” tegas Zakaria.
 
Maka tak ayal lagi, Pesantren Takeran menjadi ajang pembantaian anggota Masyumi oleh PKI. Jejak ini terlacak pada daftar nama dan identitas afiliasi politik para korban yang tewas dengan cara dimasukan ke dalam sumur yang berada di tengah perkebunan tebu. Nama-nama korban ini kami dapat dari arsip yang tersimpan di Belanda yang dikumpulan DR Suryadi yang kini mengajar di Universitas Leiden.
 
Menurut Suryadi, sumber arsip dari nama-nama orang Masyumi yang menjadi korban dalam peristiwa Pembrontakan PKI Madiun tahun 1948 itu berasal dari artkel yang dimuat dalam majalah Aliran Islam. Suara Kaum Progresif Berhaluan Radikal No. 52, Tahun Ke VII, September 1953: 30, 31). Ejaan disesuaikan, tapi nama-nama orang, jabatan, dan tempat ditulis sebagaimana aslinya. Angka dalam tanda ‘{ }’ merujuk pada halaman asli majalahnya. (catatan tambagan, Mdn = Madiun; Mgt =Magetan).
 
1 Kjahi Barokah, Uteran Mdn, dibunuh. 2. Kjahi Zuber, Sewulan Mdn, dinunuh. 3 H. Sidik, Prambon Mdn, dibunuh. 4 Kjahi Abdulmalik, Sewulan Mdn, dibunuh. 5 S. Moeljono, Madiun, dibunuh, 6 Soenjoto, Madiun, dibunuh. 7 Soehadi, Madiun, dibunuh. 8 Sofwan Effendi, Seloporo Mdn, dibunuh. 9 Bawani, Seloporo Mdn, dibunuh. 10 Kober, Seloporo Mdn, dibunuh. 11 Poerwosoebeni, Tempursari, dibunuh. 12 Mu’in, Madiun, dibunuh. 13 Kjahi Soelaiman Effendi Modjopurno, Mgt, dibunuh. 14 Kjahi Imam Moersid Takeran, Mgt, dibunuh. 15 Kjahi Imam Faham Takeran, Mgt, dibunuh. 16 Kjahi Noor, Takeran Mgt, dibunuh. 17 Ardaba, Takeran Mgt, dibunuh. 18 Maridjo, Takeran Mgt, dibunuh. 19 Choesen, Takeran Mgt, dibunuh. 20 Roesdi, Gebung, dibakar. 21 Kjahi Dimjati, Ngumpak, dibunuh. 22 P. Tjipto, Kwandungan, dibunuh. 23 Muh, Tempurredjo, dibunuh. 24 Kjahi Koermen, Katerban, dibunuh. 25 Rachmat, Ponorogo, dibunuh. 26 Bazid, Ngunut, dibunuh. 27 Soewandi, Ponorogo, hilang. 28 Kidang, Ponorogo, hilang. 29 Blabur, Ponorogo, hilang. 30 Moechji, Ponorogo, hilang. 31 Koermen, Ponorogo, hilang. 32 Sarengat, Ponorogo, hilang. 33 Ismangil, Ponorogo, hilang. 34 Soemantri, Ponorogo, hilang. 35 Soemiran, Ponorogo, hilang. 36 Soeliman, Ponorogo, hilang. 37 Rigan, Ponorogo, hilang. 38 Dullah, Ponorogo, hilang. 39 Sabar, Ponorogo, dibunuh. 40 Asrori, Magetan, dibunuh. 41 Sjamsuri, Magetan, dibunuh. 42 Imam Pamoedji, Magetan, dibunuh. 43 Maharadjono, Magetan, dibunuh. 44 Oemardanoes, Magetan, dibunuh. 45 Soebari, Magetan, dibunuh {30} 46 Roda’i, Magetan, dibunuh. 47 Ropi’i Tjiptomartana, Magetan, dibunuh. 48 Gondosoewirjo, Magetan, dibunuh. 49 Badawi, Magetan, dibunuh. 50 Martosoewirjo, Magetan, dibunuh. 51 Imam Sahudi, Magetan, dibunuh. 52 Choesnoen, Magetan, dibunuh. 53 Achjar, Magetan, dibunuh. 54 Gimun, Magetan, dibunuh. 55 Achmad Soedjak, Magetan, dibunuh.
***
 
Adanya warisan perseturan antara umat Islam dengan komunis yang dimulai tahun 1920-an dan kemudian meledak dalam Peristiwa Pemberontaan PKI di Madiun tahun 1948 inilah dicatat oleh sejarawan Australia sebagai sebuah warisan terbangunnya antipati santri-abangan yang pada waktu selanjutnya. Bahkan situasi ini kemudian makin dipertegas dan dipupuk dalam persaingan partai politik selanjutnya.
 
Warisan peristiwa berdarah pembantain umat Islam di Madiun tersebut menurut Ricklefs mulai semenjak itu berimbas pula ke angkatan darat. Mereka mulai secara penuh memandang PKI sebagai musuh, karena dianggapnya menusuk Revolusi dari belakang, ketika keadaan tengah genting-gentingnya oleh upaya Belanda untuk kembali masuk ke Indonesia.
 
“PNI (kemudian, red) berada dalam posisi ambigu dalam persaingan ini. Para pemimpin dan kinstituen abangannya tidak tertarik pada Masyumi, mungkin karena agenda Islamisasi di dalamnya, tetapi mereka juga menjadi sasaran tindakan kekerasan PKI. Tahun-tahun berikutnya, PNI berusaha mengikuti arah angin politik, sebagaimana partai-partai lain, tetapi dengan sedikit banyak mengorbankan ideologi atau tujuan utamanya,’’ demikian tulis MC Riclefs dalam bukunya ‘Mengislamkan Jawa’.
***
 
*) Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.

http://sastra-indonesia.com/2021/07/pemberontakan-pki-madiun-1948-akar-konflik-islam-versus-komunis/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria