mercredi 28 juillet 2021

Tuhan Mengutus Tikus, Manusia Menjadi Tikus

Muhammad Yasir
 
Seorang hakim telah mengetuk palu tiga kali di ruang pengadilan yang lembab. Seorang lelaki berkulit hitam-legam menatap pijar wajah hakim yang tidak menerima pembelaannya. Kemudian dia bangkit dan mengatakan kepada hakim untuk kembali mempertimbangkan. Apa peduli hakim kepada seorang petani seperti dirinya, hakim itu keluar dengan pengawalan ketat aparatur pengadilan. Jadilah, petani itu diseret seperti seekor bangkai anjing liar yang perutnya mulai menggelembung seakan segera pecah.
***
 
“Ya Tuhan!” Gumam seorang petani karena kehilangan cara untuk marah ketika menyaksikan padi-padi di sepetak sawahnya ludes dimakan tikus. “Tikus-tikus sialan!” Lanjutnya. Kemudian, di hari yang sama, semua petani berkata sama seperti petani sebelumnya: “Tikus-tikus sialan!”
 
“Baiknya,” kata seorang petani dalam rapat dadakan di kampung bisu itu, “kita harus mengadukan permasalahan ini kepada balai pertanian, siapa tahu mereka bisa menghubungkan ke kota kepada para petinggi secepatnya.”
 
Semua petani yang berkumpul, bersitatap dan mendukung usulan itu.
 
“Kalau demikian, besok aku sendiri dan beberapa orang dari kalian, jika bersedia, ikut bersamaku!”
 
Para petani ketinggalan zaman ini kembali bersitatap satu sama lain. Sesungguhnya, selain petani yang memberikan usulan itu, mereka tidak memiliki keberanian untuk menghadap tuan kepala balai pertanian. Semua orang tahu betapa galak dan rakusnya dia.
 
“Dasar pengecut! Kalian hanya mau hasilnya saja tanpa bekerja sama! Lihat saja. Aku tidak akan membela kalian! Ha-ha!” Gumam petani yang tadi. Kemudian dia melanjutkan, “Baiklah, Saudara-saudara sekalian, aku akan pasang badan demi kesejahteraan bersama!”
“Ya!” Kata seseorang yang duduk paling belakang.
 
“Bagus itu!” Kata yang lain.
 
“Kau pantas diandalkan!” Demikianlah para petani ketinggalan zaman ini menumpahkan kepengecutan mereka kepada rekannya.
 
Tiba-tiba, seorang penggede, seorang rente, hadir ditengah-tengah riuhnya tepuk tangan para petani ketinggalan zaman itu. Kedatangannya tidak lain dan tidak bukan untuk menawarkan kebaikan; memberikan pinjaman hutang kepada para petani dengan bunga yang lebih rendah dari biasanya, karena dia sadar bahwa Tuhan mengutus tikus untuk membuat para petani di kampung segera bertobat dan menjalankan ajarannya.
 
“Bagi yang ingin, silakan datang ke rumahku. Aku akan menerima dan menjamu kalian. Perkara sekarang ini, jangan diselesaikan dengan cara ketinggalan zaman. Bukan demikian?
 
Tidak seorang pun menggubris. Begitulah, bau pagi mulai terendus dalam desir angin.
 
Keesokan hari, berangkatlah petani itu menghadap kepala balai pertanian. Dan, nasib baik baginya, kepala balai pertanian berada di kantornya pagi itu. Setelah menjelaskan semuanya, petani itu merasa lega, kepala balai pertanian pun bahagia. Betapa tidak? Di tengah kegagalan Nyonya Gubernur seperti sekarang ini, proyek-proyek nyaris tidak ada.
 
“Aku akan menyusun strategi pembasmiannya khusus untuk kalian! Tapi... itu tidak murah. Pastikan, satu orang dua juta. Tidak harus cepat-cepat. Aku akan menjelaskan strategi itu setelah semua uang terkumpul.
 
Petani itu mengangguk dan mengatakan, “Aku percayakan kepada Tuan Kepala. Tapi... ah! Masak, tidak ada untukku?!”
 
“Dasar petani ketinggalan zaman! Bodoh!” Gumamnya. Kemudian menjawab, “Ya. Nanti aku akan atur itu.
 
Tetapi, ingat katakan kepada mereka bahwa pemerintah telah memprediksi bahwa wabah tikus akan lebih mengerikan. Dari tikus sawah, curut, dan selokan akan kembali menyerang jika tidak menuruti apa kata kepala balai!”
 
“Baik, Tuan Kepala. Aku akan mengatakannya!”
 
Dalam dua minggu, terkumpullah semua uang yang dibutuhkan. Oh! Betapa bahagianya kepala balai pertanian menerima uang itu. Dan kepada petani itu, dia diberi uang lima juta rupiah, kemudian disuruh pulang.
 
Dan, di inilah sebab-musababnya.
***
 
“Tuan Hakim yang terhormat... tidaklah aku terlibat dalam kasus ini. Aku hanya disuruh oleh Tuan Kepala untuk mengumpulkan sejumlah uang dari petani yang terdampak wabah tikus. Dan, bukankah pemerintah akan segera mengumumkan akan ada serangan wabah tikus besar-besaran?! Karena itu, tanpa pikir panjang, aku mengiyakan apa yang disuruh Tuan Kepala.”
 
“Apa bukti dan siapa saksi bahwa kepala balai pertanian yang memerintahkan itu?!” Tanya hakim.
 
“Ada, Tuan Hakim. Bukan begitu...” Dia terkejut, karena petani yang semula hadir untuk sekadar melihat persidangan telah pergi dan tertinggal seorang anak lelaki, cucunya, sembari memakan jagung bakar buatan ibunya.
 
“Bukankah saudara sendirian yang meminta uang itu kepada para petani?!”
 
“Benar, Tuan Hakim.”
 
“Engkau pula yang mengantar sendiri uang itu?!”
 
“Benar, Tuan Hakim.”
 
“Kepada siapa engkau memberikan uangnya?!”
 
“Tuan Kepala, Tuan Hakim.”
 
“Jangan berbohong dalam pengadilan!”
 
Sebentar. Sepertinya, petani itu mengenali suara hakim itu. Mirip...
 
“Jangan bengong, jawablah!”
 
Petani itu semakin mengenali suara itu, “Ya... tidak salah lagi. Aku... menge...”
 
“Nah! Kalian, Hakim Anggota dan para jaksa, mendengar?!”
 
Semua pasang mata menatap petani itu, kemudian menggelengkan kepala mereka.
 
“Sekarang akan kubacakan hukumanmu, dengarlah baik-baik: “Dengan diakuinya tindak pemerasan terhadap para petani di kampung bisu, maka petani ketinggalan zaman ini...”
 
Petani itu bangkit dan sangat yakin bahwa hakim itu adalah kepala balai pertanian.
 
“Kau... Tuan Kepala Balai!” Teriaknya. Sontak, hakim itu mulai gugup karena memang dia adalah kepala balai – hakim yang bertugas telah menerima amplop sakti dan properti berbentuk beberapa petak sawah.
 
“Petugas! Tolong tertibkan petani ketinggalan zaman ini.”
 
Setelah kepala balai selesai membacakan putusan hakim, dia tertawa kecil nyaris tak bersuara. Dan para hakim anggota dan para jaksa yang memang merasakan terhadap sesuatu yang berbeda dari hakim agung, memilih bungkam.
 
“Kau! Kau adalah Tuan...” Kata petani itu tidak selesai, karena trali besi penjara dan para sipir, sudah lama menahan birahi mereka. Selamat datang, tikus!

Lamongan-Gresik-Surabaya, 2021. http://sastra-indonesia.com/2021/07/tuhan-mengutus-tikus-manusia-menjadi-tikus/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria