mercredi 4 août 2021

Kesatuan

Agus R. Sarjono *
Majalah Tempo, 11 Jul 2011
 
“Wahai pemuda Indonesia, jika Tunku Abdul Rahman bertanya kepadamu, ‘Berapa jumlah pemuda Indonesia?’, jawablah: ‘Satu!’” Demikian gelegar pidato Bung Karno saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia. Jawaban “satu!” yang diberikan Bung Karno tentu bukan karena beliau malas menghitung berapa persisnya jumlah pemuda Indonesia saat itu. Juga bukan berarti Bung Karno kalah soal berhitung dibanding Rhoma Irama hanya karena Bang Haji melantunkan “Seratus tiga puluh lima juta/Penduduk Indonesia….”
 
“Satu!” adalah jawaban kuat Bung Karno untuk menekankan karakter pemuda Indonesia yang tak mudah tercerai-berai.
 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jawaban Bung Karno tersebut sepadan dengan “satu bahasa”, yakni satu anggapan (pikiran, pandangan, dsb); sedangkan kata “satu” dalam KBBI adalah:
 
1 bilangan yg dilambangkan dng angka 1 (Arab) atau I (Romawi); 2 nama bagi lambang bilangan asli 1 (angka Arab) atau I (angka Romawi); 3 urutan pertama sebelum ke-2; 4 bilangan asli terkecil sesudah 0.
 
Tentu Bung Karno bukan maestro pidato kalau bersedia ikut kamus dan mengubah ungkapannya menjadi: “Jawablah: ‘Satu bahasa!’” Selain tidak lucu dan kehilangan daya gugah, jawaban demikian akan digugat oleh aktivis bahasa daerah yang kerap mengingatkan bahwa Sumpah Pemuda bukan berisi “Satu bahasa: bahasa Indonesia”, melainkan “Menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia”.
 
Kata “satu” di atas erat kaitannya dengan kata “kesatuan”, yang dalam KBBI: ke·sa·tu·an n 1 perihal satu; 2 keesaan; sifat tunggal: demi- dan persatuan bangsa; 3 satuan;
 
– penggiling padi mesin pengolah padi yg dilengkapi dengan pemecah kulit padi, pemisah gabah, dan pemutih beras; – sosial 1 unsur studi dl kemasyarakatan yg diberi batasan tertentu dan yg secara relatif bersifat konstan, spt individu, keluarga, taraf hidup; 2 kesatuan orang yg terikat atas ciri-ciri tertentu dl kehidupan masyarakat.
 
Jika kita menyebut Indonesia sebagai negara kesatuan, lazim disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia, pengertian manakah dalam KBBI yang cocok untuk itu? Jika tidak ada pengertian yang cocok dalam Kamus Besar bagi kata “kesatuan” yang dimaksudkan dalam NKRI, berarti kata “kesatuan” sudah dianggap dipahami dan dihayati segenap rakyat Indonesia hingga tidak perlu lagi dinyatakan dalam kamus. Ia dianggap hadir secara implisit mendarahi segenap pengertian kata “kesatuan”. Urusan ini bolehlah kita anggap beres.
 
Masalahnya, pada zaman multipartai, multitafsir, multi-interest, dan berbagai multi lainnya, bisa saja muncul kelompok eksplisit yang menggugat sikap implisitisme kaum implisit. Mereka akan menuduh bahwa tidak adanya pengertian “kesatuan” dalam kamus sebagaimana dimaksudkan oleh kata “kesatuan” dalam NKRI merupakan bukti bahwa pada dasarnya Indonesia sebagai negara kesatuan belum merupakan fakta, melainkan baru imajinasi belaka. Mereka yang implisit akan menekankan, meski tidak ada pengertian resmi dalam Kamus Besar, bangun Indonesia sebagai negara kesatuan adalah nyata, hidup, tak terbantah, bahkan tak bisa ditawar.
 
Kaum eksplisit tentu menghendaki segala sesuatunya relatif eksplisit, sedangkan kaum implisit beranggapan semua yang dihayati dan diketahui bersama tentu diketahui dan dihayati bersama, tak perlu dieksplisitkan, alias “tahu sama tahu”. Masalah akan menjadi rumit jika kedua kelompok itu mulai saling memamerkan bukti. Pasalnya, kedua kubu ini punya fakta.
 
Ibu-ibu yang tengah dipusingkan oleh pencarian sekolah bagi anak mereka pada dasarnya tidak peduli dengan perdebatan ini. Biaya pendidikan yang menggila sudah membuat mereka frustrasi, apalagi jika pendidikan supermahal itu hanya berujung di lembah pengangguran yang menganga. Namun, tatkala lulusan sekolah di Depok, yang jaraknya selangkah dari DKI, tidak bisa masuk sekolah di DKI karena dibatasi kuota lima persen untuk siswa dari luar Jakarta, mereka mulai panik. Anak mereka yang sudah lulus ujian akhir nasional (manifestasi negara kesatuan) harus berhadapan dengan kuota (manifestasi negara federasi).
 
Mereka mungkin penasaran dan mulai membuka Kamus Besar untuk melihat makna kata “kesatuan”. Mereka mungkin tidak paham hukum tata negara, tapi mereka dapat merasakan bahwa negara bukanlah negara kesatuan jika penduduk suatu kota tidak diperlakukan sama di kota lain dalam negara kesatuan tersebut.
 
Bagi kaum eksplisit, sebuah negara kesatuan haruslah mengumumkan secara eksplisit bahwa warga negara pemegang kartu tanda penduduk NKRI mendapat perlakuan yang sama dan dapat berada di mana saja di seluruh wilayah negara kesatuan Indonesia. Seorang beretnis Papua dapat berada di tempat yang 99,99 persen penduduknya berbeda agama, etnis, bahkan sikap politik dengan dia, dan hak-hak serta keselamatannya dijamin negara kesatuan kita sejauh dia tidak melanggar hukum. Maka lulusan sekolah di mana saja di seluruh pelosok Indonesia harus diperlakukan sama saat ia mendaftar sekolah di mana pun di wilayah Indonesia tanpa dikenai diskriminasi asal daerah.
 
Saudara-saudara sekalian, siapa bilang kamus tidak penting? Kalau negara kesatuan menjalankan prinsip federasi, kamus memang dibutuhkan, bukan?
***

*) Agus R. Sarjono, Penyair, Pemimpin Redaksi Jurnal Kritik. http://sastra-indonesia.com/2017/09/kesatuan/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria