samedi 28 août 2021

Kidung Puisi untuk Para Kiai

Judul: Hadrah Kiai
Penulis: Raedu Basha
Prolog: Acep Zamzam Noor
Epilog: Jamal D. Rahman
Penerbit: Ganding Pustaka
Terbit: November, 2017
Peresensi: Iskandar Zulkarnain *
radarmadura.jawapos.com, 25/2/2018
 
KITA mengenal penyair ialah orang yang sekadar mengandalkan imajinasi dan secangkir kopi. Melamun dan merenungkan sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, atau merespons segala semesta. Sehingga pada titik jenuh yang telah ditentukan oleh penyair, jadilah sebuah karangan puisi.
 
Namun, ketika membaca Hadrah Kiai tidak bisa mengatakan seorang penyair seperti halnya di atas. Raedu Basha mengajak pembaca mengembara dalam samudra suci para aulia dan kiai. Dari itu, penulis Hadrah Kiai tidak lepas dari historis para aulia atau kiai. Dan, keberadaan kultur pesantren merupakan lembaga pendidikan paling berpengaruh di Nusantara ini.
 
Minderop (2010) Psikologi Sastra menyatakan, karya akan mencerminkan jiwa seorang pengarang. Itu terbukti jelas ketika saya membaca karangan Raedu Basha yang mencerminkan jati dirinya sebagai santri. Kehidupan dalam keseharian santri, karakter serta sikap mental santri yang semuanya tidak pernah lepas dari takzim atau rasa hormat pada seorang guru.
 
Mayoritas menggunakan kitab klasik sebagai pedoman keilmuan tauhid, fikih, tarikh, dan akhlak. Sehingga dalam salah satu puisinya yang berjudul Di Hadapan Mbah Moen; di jantungku yang basah/ berdegup dingin dan pasrah/ kibasan serbanmu memoles jiwa/ keringlah sejarah kelam/ yang terkapar deru hujan/ menghantamkan pasal keperihan/ dan murung nazam//.
 
Cuplikan bait puisi tersebut menggambarkan seorang penulis yang takzim terhadap Kiai Maimun Zubair sebagai salah satu guru besar NU yang marwahnya tidak diragukan sampai detik ini. Penulis menunjukkan karakter kesantriannya manakala berhadapan dengan kiai. Dilanjutkan dalam bait keduanya;  dadi wong iku kudu dewe/ kalambi jobo lan kalambi jero/ (orang harus punya baju perisai/ baju luar dan baju dalam)/ ujar engkau/ aku sunyi/ seperti jantungku//. Dalam lanjutannya ini semakin memperkuat jati dirinya sebagai seorang santri, yang tak berani sedikit bergerak saja manakala berhadapan dengan guru. Layaknya jantung yang sunyi bahkan detaknya sulit untuk diketahui orang lain.
 
Hadrah Kiai dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi pepujian bagi wali Allah dan kiai yang sudah meninggal. Pengarang menamainya Hadrah Arwah. Sementara bagian kedua adalah puisi pepujian bagi kiai yang masih hidup Hadrah Hayah. Kedua puisi ini amat lekat dengan puisi-puisi pesantren, nusantara secara umum.
 
Semua puisi hampir mirip dengan syi’ir, tembang, pepujian, dan barzanji atau burdah, dan diba’ yang merupakan model puisi Timur Tengah yang banyak dijadikan tradisi, di pesantren nusantara. Puisi yang laksana tembang atau syi’ir begitu sangat mengangkat kultur pesantren. Puisi yang tertib dan teratur. Apalagi, disokong dengan karakteristik kepesantrenan seperti tawaduk, takzim, dan khidmat serta mengharap berkah pada ucapan berbentuk kata maupun kalimat.
 
Pada bagian Hadrah Arwah para tokoh agama Islam, baik yang menyebarkan maupun yang membesarkan, dinarasikan dalam bentuk puisi begitu indah dan telaten. Bagian pertama yang sangat menggugah ketika seorang penulis mencoba berdialog mistis dengan seorang sufi Siti Jenar.
 
Puisi ini dikemas dengan judul Gerbang Siti Jenar dalam bait ketiga; gerbang terbuka belum tutup/ sampai tiba mata terkatup/ khusyuk/ masuk/ dekaplah/ merasuk/ dekaplah/ lepaslah/ pulang arah hilang/ pulang hilang arah/ hilang arah pulang/ hilang pulang arah/ arah pulang hilang/ aku tahu apa yang kutahu/ aku tak tahu apa yang kutahu/ aku tahu apa yang tak kutahu/ aku tak tahu apa yang tak kutahu/ biar hanya zat yang tahu//.
 
Begitu kata per kata dimainkan dengan indah, per kalimat dirangkai begitu apik. Dari sajian puisi tersebut tidak lepas dengan pesan yang ingin disampaikan, sehingga puisi yang serupa dialog bersama Siti Jenar ini mengalir layaknya air. Tidak pernah bisa dipisah layaknya Siti Jenar yang tak dapat membedakan dirinya dengan zat.
 
Puisi bagian Hadrah Hayah juga tidak jauh beda dengan bagian pertama. Mengangkat corak tradisionalisme Islam. Para kiai-kiai nusantara yang berpengaruh banyak dijabarkan dalam narasi, baik digali secara historis maupun pemikiran. Termaktub dalam puisi ini ekspresi para kiai, wajah santri, dan nilai tradisi.
 
Puisi Raedu Basha hampir mirip dengan puisi-puisi pepujian Sunda yang maknanya tidak jauh beda dengan nazam atau kasidah. Sehingga, sentuhan tradisional begitu lekat dan seakan-akan abai terhadap keberadaan modern. Akan tetapi, karangan Raedu Basha yang berjudul Hadrah Kiai ini amatlah sangat menarik dibaca. Membacanya seperti membaca biografi para kiai nusantara yang tidak akan pernah lepas dengan pahala dan barokah yang akan siap mengalir.
***

*) ISKANDAR ZULKARNAIN, Wartawan Freelance Institut Keislaman Annuqayah (Instika). http://sastra-indonesia.com/2021/08/kidung-puisi-untuk-para-kiai/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria