vendredi 27 août 2021

Parasite Sastra Taik Kucing: Sutardji ft. Maman, Enyah Kau!

Muhammad Yasir
 
Sastra Indonesia sudah rusak! Tetapi bukan lantas kita membiarkannya rusak begitu saja, karena kerusakan Sastra Indonesia tidak terjadi begitu saja. Ada individu atau kelompok, lembaga, dan sistem yang mendesain kerusakan itu demi kepentingan estetika individual atau kelompok dan kapitalisme perbukuan. Kerusakan ini semakin parah, ketika orang-orang yang melakukan klaim sebagai Pegiat Sastra (?), Penulis Sastra (?), Aktivis Sastra (?), Akademisi Sastra (?), Dosen Sastra (?) tidak memiliki kepekaan terhadap kerusakan Sastra Indonesia yang disebabkan oleh kealpaan mereka sendiri! Apakah mereka benar-benar mencintai Sastra Indonesia? Ataukah Sastra Indonesia terlalu murah dan rendah sehingga setiap orang bisa menjadi apa saja yang mereka inginkan tanpa perlu susah-payah berjuang menyelamatkan Sastra Indonesia? Atau mungkin keuntungan-keuntungan dalam Sastra Indonesia harus dijaga, sekali pun keterpelacuran intelektual individu atau kelompok menjadi pilihan satu-satunya? Tidak ada jawaban untuk pertanyaan ini, karena orang-orang lebih doyan berbelasungkawa untuk seorang atau dua orang Sastrawan yang meninggal dunia daripada menyelamatkan Sastra Indonesia yang membuat mereka jadi Sastrawan itu! Dan pagi ini, aku terpaksa meninggalkan pekerjaanku menata buku di Toko Buku Dalam Gang, Surabaya, demi membaca satu tulisan kolot tentang hubungan pertemanan dua orang yang biasa-biasa saja, tapi sesungguhnya terkandung pembodohan di dalamnya.
 
“Sepuluh Pesan Sutardji” begitulah tajuk tulisan kolot karya Maman S. Mahayana; salah satu orang yang berjasa atas lahirnya buku Pembodohan Sejarah Sastra Indonesia, “33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh” yang dibuat seorang Filantropis, Denny JA(NCUK). Karena komitmen Maman S. Mahayana di dalam Sastra Indonesia buruk, maka tidak salah jika dia membuka tulisan kolotnya ini seperti mahasiswa Sastra Indonesia semester satu yang diberikan tugas menulis esei sastra. Perhatikan dua paragraf pertama ini: “Mengawali perbincangan tentang “Sepuluh Pesan Sutardji,” saya kutip terakhir Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri (SCB) yang bertarikh 30 Maret 1973, hampir setengah abad yang lalu. [1] -> “Menulis puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata pada awal-mulanya. Pada mulanya--adalah Kata. Dan Kata Pertama Adalah Mantra. Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra.” Jika Maman benar-benar seorang intelek sastra yang cerdas, harusnya dia merombak pernyataan bodoh Sutardji yang dia kutip. Sejak kapan “Kata adalah Mantra”? Bukankah, dalam ilmu linguistik, telah dijelaskan bahwa kata lahir dari interpretasi individu terhadap suatu objek, subjek, benda, suasana, dan seterusnya yang kemudian disepakati oleh kelompok mereka?! Bukankah, “mantra” terbentuk setelah lahir kata-kata yang disepakati?!
 
Namun bukannya memberikan gambaran bagaimana proses “Kata adalah Mantra” seperti menjadi poin penting tulisannya, Maman malah terjebak dalam pola pembodohan yang dilancarkan Sutardji untuk birahi estetikanya. Karena itu pada paragraf berikut ini, tampak bahwa Maman tidak politis dalam menulis. Melainkan apolitis dan cenderung memberhalakan Sutardji. Baca paragraf ini dengan seksama: “Wilayah mantra--ternyata lagi, jauh lebih luas. Masyarakat di belahan dunia mana pun, punya mantranya masing-masing. Berbeda dengan pantun yang cenderung hadir menyelinap antara kegiatan sehari-hari, mantra punya dimensi vertikal dan horizontal. Dalam hubungan dengan penguasa jagat raya, dunia supranatural, dan kekuatan gaib, mantra terhubung dengan perkara sakralitas, maka ia bersifat sakral, khas, dan unik. Diyakini juga mengandung dan mengundang kekuatan magis. Dalam konteks ini, mantra hanya dapat dibacakan orang-orang tertentu, tokoh-tokoh pilihan masyarakat yang dianggap punya kemampuan dan kesaktian. Jadi, tidak setiap orang boleh membacakan mantra yang sakral. Lantaran mantra itu disampaikan sebagai media komunikasi dengan makhluk entah-berantah, maka banyak kosa kata dalam mantra itu tidak dapat dipahami maknanya.”
 
Jenis paragraf apa yang ditulis Maman ini? Apa ide atau gagasan yang ingin dia sampaikan? Betapa jeleknya paragraf dari seorang yang menjual dirinya ke Denny JA ini! Untuk paragraf ini, aku membaca berkali-kali untuk mencoba menemukan poin pentingnya. Tetapi, nihil. Aku hanya menemukan kejujuran bahwa Maman memberhalakan Sutardji yang disembunyikannya dalam paragraf itu. Kenapa dalam tulisannya, Maman tidak berani menyandingkan Puisi Mantra norak karya Sutardji dengan Mantra sesungguhnya?! Apa dia hanya tipu-tipu saja agar tampak intelek sebagai seorang Kritikus Sastra? Atau, dia pemalas?! Untuk pertanyaan ini, aku akan coba menyandingkan “Tragedi Winka dan Sinkha” karya Sutardji yang diklaim orang-orang aneh sebagai “Tragedi Pernikahan” itu dengan salah satu mantra milik leluhurku (Bangsa Dayak) bertajuk “Mohing Asang” atau “Genderang Perang” jika diartikan ke dalam Bahasa Indonesia.
 
Puisi Tragedi Winka dan Sinkha:
 
Kawin/kawin/kawin/kawin/kawin/ka/win
Ka/win/ka/win/ka/win/ka/win/ka/win/ka/winka
Winka/winka/sihka/sihka/sihka/sih
Ka/sih/ka/sih/ka/sih/ka/sih/ka/sih/ka/sih
Sih/sih/sih/sih/sih/ka/ku
 
DI MANA SAKRALITASNYA, MAMAN?! Tipu-tipu saja kau! Klaim bahwa puisi ini menggunakan pola zig-zag, benar. Akan tetapi inikah puisi mantra atau kata adalah mantra itu?! Oh Tuhan, betapa bobroknya kau dan para pemuja kalian! Coba kau baca, kau resapi, dan kau dengarkan bagaimana “Mohing Asang” ini:
 
Mohing bola ta mohing
(Kalau pulang, biarkanlah mereka pulang)
Mohing naing manok, lewe weung…
(Sudah nyaring kokokan ayam kampung itu)
Boso boko hang a boso
(Entah kenapa aku harus kembali)
Boso naing aping, tingang
(Karena burung enggang sudah bersuara)
 
Neng, neng, neng, neng, neng...
(Suara burung enggang)
 
Hawoi homat tak a hawoi
(Ingin aku memberi hormat tapi tidak kutahu pada siapa)
Hawoi neko kolo, hambong
(Ingin aku berbalik tapi bagaimana aku sudah terlanjur)
Ngindoko o mandau sipet, t’lawang, damek, neko tuntang, telep
(Kuambillah mandau, sumpit, perisai, dan anak sumpitnya)
Tejep pono pangkih siipet neng… neng, neng…
(Tusuk, bunuh, tebas, dan sumpitlah)
 
Kuberitahu kau, Maman. Mantra ini akan dinyanyikan oleh panglima perang Bangsa Dayak, terkhusus Dayak Ot Danum di Kalimantan bagian Tengah. Bila mantra ini dinyanyikan, setelahnya akan terdengar selentak tujuh kali. Dan, itulah tanda kami harus menyerang. Jadi, Maman, hentikan manipulasi pengetahuan tentang kata dan mantra yang kau lancarkan yang sesungguhnya hanyalah pemujaanmu kepada Sutardji belaka. Jangan membohongi orang-orang bodoh dengan permainan kuasa pengetahuan! Jangan pula membuatku melihatmu seperti melihat tissue toilet yang fungsinya hanya membersihkan kotoran manusia! Jika ingin berbohong, silakan. Tetapi, kau tidak akan selamanya melakukan itu. Jika ingin memberhalakan sesuatu, berhalakan. Tetapi, jangan ajak orang lain atau pengikutmu dengan tulisan jelek sok intelek itu! Pergilah sendiri dengan ide dan gagasan keterpelacuranmu. Bukankah Denny JA(NCUK) masih membuka pintu lebar-lebar untukmu dan parasite sastra lainnya. Mak, enyahlah kau dan berhalamu itu!
 
Surabaya, 2021.
 
Link terkait: https://pustakakabanti.wordpress.com/2021/08/24/sepuluh-pesan-sutardji-2/
http://sastra-indonesia.com/2021/08/parasite-sastra-taik-kucing-sutardji-ft-maman-enyah-kau/

http://sastra-indonesia.com/2021/08/denny-ja-kejahatan-intelektual-pembodohan-sejarah-sastra-indonesia-perusak-peradaban/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria