dimanche 15 août 2021

Selaksa Celurit Menggantung di Sebalik Dinding

Mahwi Air Tawar
cerpenkompas.wordpress.com
 
Bulan, selaksa celurit menggantung di dinding, bilik-bilik kandang. Segaris cahaya menelusup, rebah di halaman. Bayang-bayang pohon siwalan memanjang. Terang, di belakang rumah serupa gubuk, tempat tinggal Madrusin, sepetak ladang rimbun ilalang pucuknya turut bergoyang diayun angin. Cericit tikus, decak cicak, krik-jangkrik, kecipak air dari padasan. Lenguh sapi menggaung, kemerisik angin menyisir pelepah janur pohon berayun, melambai menimbulkan komposisi bunyi dan gerak; saling berpaut. Serupa tarian rombongan seronen; beriringan, menuju arena kerapan sapi.
 
Bulan sabit sepadan celurit itu kian susut, bergerak diarak angin mengantarkan lelaki yang sedang duduk di sisi lincak pada serajut pertalian kenangan manis yang tanggal. Bulan, perlahan redup, menepikan bayang. Garis-garis cahaya kian menipis di seruas jalan hingga pematang. serupa pengembara letih; tak sanggup melanjutkan perjalanannya hingga tujuan. Begitu pun, Madrusin. Tatap matanya lelap. Ia terdiam. Diam-diam arakan awan yang terus bergerak, bulan yang terus redup dan menepi mengantarkannya pada sebuah kenangan yang kadang menyakitkan. Pada Asnain, calon istrinya yang telah raib. Pada Gani, yang belum lama ini, hampir memisahkan kepala dan tubuhnya. Beruntung, Madrusin bisa mengelak, sabetan celurit Gani disebuah pematang sawah selepas lotreng[1] sapi senja hari.
 
Ya, ketika itu, Madrusin, baru saja pulang dari lotreng kerapan sapi. Sengaja, waktu itu, ia tidak langsung menuju rumahnya. Memang tidak pulang. Ia tunggui Asnain calon istrinya yang ikut nonton lotrengan. Namun entah. Nasib tak bisa ditimang, jodoh pun tak bisa ditebak datang dan pulang. Di benaknya, terus terngiang kalimat-kalimat yang diucapkan Gani, di tempat yang sama, di pematang sawah tak jauh dari tempat tinggalnya. Gani, bersama Luki, Mail, Musdar, kala itu, tanpa sebab-musabab jelas, Gani langsung memutuskan hubungan pertunangan Asnain dan Madrusin.
 
”Kamu, tidak pantas jadi suami Asnain. Eppak-Embukmu[2]…” Madrusin tergagap, atas keputusan Gani.
 
”Bagaimana mungkin. Cobalah sedikit sopan. Hubunganku dengan Asnain. Tak ada hubungannya dengan kekalahan sapi kerapan, Paman. Hubungan kami berdua tak bisa begitu saja Paman, campuri. Kami tak ada masalah. Kok, tiba-tiba…” Gani seperti dipecundangi oleh ponakannya. ”Dulu, paman, merebut dan merampas tanah dari Eppak-Embuk, yang sudah jelas-jelas oleh kae[3] diwariskan kepada, eppak-embuk. Dan sekarang, Paman, mau merampas hak kami, mencintai dan dicintai. Kalau, Paman, kecewa kepada eppak-embuk. Kenapa mesti dihubung-hubungkan dengan hubungan kami berdua, yang tidak bersalah apa-apa?!” Beberapa kanca Gani, hanya bergidik menyaksikan pertengkaran dua lelaki sefamili itu.
 
”Lancang benar mulutmu.” Gani mengeluarkan sebilah celurit dari balik pinggang yang sungging, menyabitkannya ke arah perut Madrusin. Madrusin segera menghindar, tak menyia-nyiakan kesempatan, dilepaslah baju hitam Madrusin. Beruntung, beberapa kanca Gani, memegang tangan, merampas dan segera menyeret keduanya. Lalu, masing-masing dibawa pulang. ”Bilang sama eppakmu, Gani belum kalah.” Gani geram, berontak.
 
Langit tampak lebih cerah. Madrusin pun gairah. Ia nikmati secangkir kopi, sebelum akhirnya berangkat menyabit rumput untuk pakan sapi kerapannya. Bahkan, bisa dibilang, baginya pagi tanpa kopi kurang lengkap. Entahlah, apa maksud dari semua itu. Yang jelas baginya dan bagi warga kampung kami, secangkir kopi tak ubahnya sebuah spirit untuk bekerja, menyabit rumput sebagai pakan sapi. (Tapi tidak.) Sepagi ini, Madrusin tidaklah segairah seperti hari-hari kemarin. Madrusin benar-benar gelisah. Raut wajahnya yang hitam legam seperti sedang dihinggapi sesuatu yang membuatnya tak nyaman untuk tidak terus menggerakkan jemarinya; mengusap, menggaruk. Sesekali, berjalan mengitari sekitar halaman panjang rumahnya.
 
Terasa, sepanjang ruas jalan kampung menuju ladang, kandang dan pematang, lengang. Hijau daun-daun, ilalang bagi Madrusin, sepagi ini, tak ubahnya seperti seseorang yang hendak berkabar tentang sesuatu yang mesteri. Samar terdengar kicau burung dari sela rerimbun pelepah pohon siwalan. Madrusin terpaku, ingatannya kembali pada beberapa tempo lalu; di sela rerimbun pelepah pohon dan ilalang itu pernah tercipta sebuah tali ikat kasih asmara. Pertengkaran. Keputusan sepihak. Ya, sebuah tali ikat kasih bersama seorang gadis yang kini raib tak bisa diharap lagi untuk dirajut kembali sebagaimana dulu. Asnainkah, yang membuatnya gelisah sepagi ini?
 
Angin pagi menyisir rambutnya yang tidak tertata, mengantarkannya pada masa kanak-kanak, bersama seorang gadis yang telah menjadi tunangannya, semenjak ia berusia sepuluh tahun. Asnain, bunga desa yang pernah menjadi calon istrinya? Kini, raib dari harap untuk dijadikan seorang istri. (sebagaimana kebanyakan orang- orang kampung kami; tunangan adalah hal pasti untuk menjadi seorang istri). Atau, Madrusin, sepagi ini gelisah lantaran pesan dari Paman Asnain, yang mesti disampaikan kepada Eppaknya; perihal kerapan sapi?
 
Pagi yang cerah. Madrusin yang gelisah. Ia mengernyitkan dahi, mengingat pesan dari Gani, beberapa tempo lalu yang harus disampaikan kepada bapaknya: Bilang, kepada Eppakmu. Kalau Gani, belum kalah! Gani memalingkan muka. Kita bertemu beberapa bulan lagi. Siapkan sapi-sapi andalannya, kalau perlu sekalian dengan dukun-dukunnya!
 
Kenapa Gani sekasar itu? Eppak, salah apakah Eppak? Tak puaskah ia menyakiti, eppak-embuk, aku? Madrusin duduk terpaku tak beranjak.
 
Ya, seumur hidup baru kali ini, bapak Madrusin dipanggil untuk menemui Gani, di belakang kandang yang penuh rerimbun ilalang, tepat pada tanggal lima belas saat bulan purnama. Atau jangan-jangan Gani berkehendak menyambung kembali pertunangan kami yang telah putus? Madrusin tersenyum simpul. Tapi benarkah? Bukankah bapak ibu Madrusin dengan keluarga Gani tidak begitu rukun lantaran sengketa tanah. Hubungan Madrusin? Pertunangan Madrusin dengan Asnain yang diputus lantaran Gani kecewa perihal kekalahan sapinya. Masih dendamkah Madrusin sebagaimana peristiwa dipetang sawah hingga kedua pihak terjadi pertengkaran hebat. Terang, Gani kala itu berang. Dikeluarkannya sebilah celurit yang diselinapkan di balik pinggang yang sungging lalu disabitkan celurit yang keperakan itu hingga merunduklah serimbunan ilalang.
 
Untunglah, Madrusin, cepat menghindar. Karuan celurit itu luput sasaran, segeralah Madrusin melepas bajunya yang berwarna hitam lalu dikibaskan ke arah tangan Gani. Baju itu menggulung celurit Gani hingga celurit lepas dari tangan Gani. Kontan Madrusin tak menyiakan kesempatan, dijemputlah celurit.
 
Madrusin duduk terpaku di sisi lincak, apa gerangan yang membuat Gani, memanggil Eppak? Menemuinya saat bulan purnama? Bisik, Madrusin penuh tanya.
 
Almanak di pojok dinding yang tak jauh berjejer dengan sebilah celurit lekat ditatap. Madrusin mendesis di antara kebingungannya, ingatannya menerawang pada ibunda tercinta yang mati sebab ditabrak sepasang sapi Gani, ketika hendak dikerap di lapangan Trunojoyo. Pada Asnain mantan tunangannya. Sementara, kegetiran menemui Gani lebah di antara pori-pori, menjalar pada saluran darah yang berkejaran dengan angka almanak: tanggal lima belas bulan purnama. Kapan?
 
Madrusin seperti diburu rasa takut. Tidak. Bukannya ia takut dibunuh, tapi Madrusin khawatir ikatan kekeluargaan antara Gani dan keluarganya yang sudah tidak rukun lagi selama bertahun-tahun sejak duel, akan lebih berkepanjangan dan tak kunjung usai untuk berukun kembali sebagaimana tahun-tahun silam. Ia gugup bagaimana nanti kalau Gani, Paman Asnain akan menyambung kembali hubungannya.
 
Ah, kenapa musti tanggal lima belas dan saat bulan purnama tiba? Bukankah tanggal lima belas adalah waktu yang tepat untuk berkumpul dengan keluarga, saling meminta maaf, mengadakan acara ritual sekeluarga? Bisik, Madrusin. Selang beberapa saat, tiba-tiba, di sela kegelisahannya, terdengar suara Imron yang fals dari luar pagar: ”Sin, cepat ditunggu kakek.” Madrusin tergagap.
 
”Asytaga,” desisnya. ”Waktunya sekarang?” teriak Madrusin dari dalam.
 
”Ya,” imbuh Imron.
 
Tentu saja Madrusin tak ingin, Gani menunggu terlalu lama, apalagi sampai ia kecewa, meski sebenarnya ia ragu dan curiga, namun tak membuatnya menyalakan api dendamnya untuk membalas kekecewaannya kepada Gani. Madrusin segera mengambil celurit yang menggantung di dinding, lalu ia selipkan ke balik pinggangnya. Sebagaimana tradisi di kampung kami. Ia kenakan peci dan baju hitam, celana komprang berlapis sarung.
 
Senja beringsut dari bibir awan yang menawan, langsat warnanya keemasan, orang-orang berjalan bersama, beriringan menuntun sapi, ada pula yang memasukkan anggas dan jerami ke dalam karung, di antara mereka sudah akrab dengan alam.
 
Beberapa ekor sapi dari dalam kandang Luki melenguh. Kunang-kunang berkelabat hanya sesaat, bulan menancapkan cahayanya pada hamparan ilalang, pada batang pohon dan buah siwalan, sesaat terdengar lenguh sapi dari sebrang yang tak jauh dari sekitar. Anak-anak seusia sepuluh tahunan berjalan bersama, berjejer sepanjang jalan dengan sangat rapi tanpa ada yang memandu. Sebagian di antara mereka membawa obor, ditangan kirinya sebuah kitab didekap dan pada barisan belakang terlihat bapak ibunya mengiring mengantarnya ngaji ke langgar.
 
Lampu teplok menyala remang, menggantung pada batang bambu atap kandang. Terlihat seorang lelaki seperti tengah menunggu sesuatu, ia duduk, tubuhnya agak bungkuk, separuh wajahnya yang keriput terkipas cahaya bulan.
 
”Itu, Kakek, menunggumu,” ujar Imron.
 
Sesaat tubuh Madrusin tersentak, melihat Gani, barangkali sudah lama menunggu. Tentu ia akan marah-marah. Beribu tanya berdesak dalam benak Madrusin.
 
”Sebenarnya, ada apa, Ron?”
 
”Barangkali, ada yang perlu dibicarakan denganmu.”
 
”Tentang, Asnain?”
 
”Tidak mungkin, Asnain sudah ada yang meminang.” Mendadak, Madrusin tergagap. Sepoi angin menyisir luka masa lalunya. Ranting-ranting pohon menggantung, tak kunjung jatuh. ”Tapi, tenang, Sin. Asnain tak suka kepada tunangannya. Ia masih ingin kamu jadi suaminya,” imbuh, Imron.
 
Mata Madrusin nanar, wajahnya berkerut, menampakkan seseorang yang sedang patah hati. Tidak, ia harus tenang. Tenang menghadapi seseorang menyebabkan hubungannya bersama Asnain putus. Pelan, Madrusin mendekati Gani, yang tengah duduk menunggu. Terbesit dalam benak Madrusin: Tanggal lima belas saat bulan purnama? Bimbang; benarkah Asnain sudah ditunangkan kembali? Bisiknya dalam hati. Ah, tidak. Madrusin, seraya meminta maaf didekatinya Gani.
 
”Maaf, terlambat,” suara Madrusin ramah.
 
”Tak apa-apa.” jawabnya.
 
”Ada yang perlu kubantu, Man?”
 
”Ya, sapi kita.”
 
”Ada apa dengan sapi, kita?”
 
”Bulan depan, tanggal lima belas akan ada pertandingan besar-besaran.”
 
”O, ya?”
 
”Kita nego, saya berharap, kau dapat membujuk Eppakmu, agar tidak mengikutkan sapinya dalam pertandingan kerapan bulan depan,”
 
Sejenak Madrusin, bernafas lega. Diliriknya Gani yang sedang menggulung kelobot.
 
”O, kalau soal itu maaf, Man.”
 
”Memang kenapa?”
 
”Asnain.” desis Gani. Madrusin tergagap.
 
”Kenapa dengan, Asnain?”
 
”Taruhannya.”
 
”Eppak, tak bakal mau. Beliau, sangat kuat dengan prinsipnya, dia tak ingin dalam pertandingan ada kongkalikong dikhawatirkan akan terjadi pertandingan yang tidak sehat. Apa artinya sebuah permainan?” Gani menatap Madrusin, tajam. ”Naif benar. Kalau Asnain harus menjadi taruhan permainan.”
 
”Bukankah sekarang setiap permainan harus dinegosiasi? Apalagi sekedar kerapan sapi, yang hanya sisa tradisi.”
 
Madrusin, naik pitam, ingin menampar mulut Gani. Namun, Madrusin terus menjaga dirinya, mengendalikan emosi. Tak seperti biasa, Madrusin yang selalu bersikap ramah:
 
”Maaf, Man.”
 
”Sin. Lancang benar kamu. Dasar tidak tahu tata krama”
 
”Siapa yang mengajari?!”
 
Mendengar jawaban Madrusin yang singkat, Gani pun naik pitam. dikeluarkan sebilah celurit dari pinggangnya yang sungging, lalu ditodongkan kearah perut Madrusin, untung saja Madrusin segera menghindar. Secepat kilat ia segera menangkap tangan Gani, dan merubuhkannya ke tanah sembari ia mengucapkan satu kalimat. Asnain tetaplah akan menjadi istriku, Paman. Percayalah.
 
Jogja 2004-2006
 
Catatan:
[1] Lotreng sapi, uji coba pertandingan kerapan sapi.
[2] Eppak Embuk. Bapak Ibu.

[3] Kae. Kakek. http://sastra-indonesia.com/2012/05/selaksa-celurit-menggantung-di-sebalik-dinding/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria