jeudi 19 août 2021

Cara Felix K. Nesi Melahirkan Orang-Orang Oetimu

Dikirim dari E-Mail Yahoo ke Google 

Indria Pamuhapsari *
Jawa Pos, 31 Okt 2019
 
Orang-Orang Oetimu lahir lewat kertas folio, lalu dipindah ke laptop pinjaman, dicetak, diedit ulang, kemudian diketik lagi. Karena tak ada uang, tumpukan dokumen awal novel pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta itu sudah habis dikilokan.
***
 
SEMBARI duduk, Felix K. Nesi langsung mengangkat tangan kanan. Hampir setinggi dagu.
 
”Ya segini kira-kira,” kata dia dengan tersenyum.
 
Segini yang dimaksud penulis 31 tahun itu adalah tumpukan draf awal Orang-Orang Oetimu yang dia tulis di kertas folio. Ditambah ketikan awal yang dia print untuk kemudian diedit ulang.
 
Dokumen proses kreatif yang tentunya sangat berharga. Apalagi setelah novel pertama Felix itu juara sayembara tahunan edisi 2018 dan ramai menuai apresiasi positif.
 
Baik karena sudut pandang cerita, plot, maupun pilihan tema dan latar.
 
Di Museum of Innocence, Istanbul, Turki, miliknya, Orhan Pamuk mengabadikan draf, tulisan awal, serta gambar. Dipampang pula di sana coretan tangan nobelis sastra tersebut.
 
Tapi, bagaimana dengan dokumen-dokumen Felix tadi? ”Hahaha… Sudah saya kilokan,” katanya enteng.
 
Reaksi yang membuat semua peserta diskusi santai di lounge Graha Pena, Surabaya, pada Selasa sore lalu (29/4) itu mendelik. Nyaris tak percaya.
 
”Nggak nyesel?” tanya Candra Kurnia, salah seorang peserta diskusi. ”Ya, habis mau gimana. Saya butuh uang dan tumpukan kertas itu kan bisa jadi uang,” lanjutnya.
 
Draf dan hasil print yang sudah dikilokan itu bagian dari proses panjang penulisan Orang-Orang Oetimu. Proses berliku selama dua tahun yang banyak melewati proses ”tak lazim”.
 
Felix mengaku tak bisa menulis cerita sembari mengetik di laptop. ”Alasan utamanya ya karena sebenarnya waktu itu saya tidak punya laptop,” kata alumnus Fakultas Psikologi, Universitas Merdeka, Malang, Jawa Timur, itu.
 
Jadi, lanjut Felix, novel tersebut dia tulis tangan di kertas folio. Baru kemudian diketik di laptop pinjaman. ”Waktu itu saya pinjam (milik) adik kelas. Biasa. Atas nama senioritas,” ujar dia, lalu disambut tawa belasan peserta diskusi.
 
Jika tidak ada laptop pinjaman, Felix mengetik di warnet (warung internet). Karena itu, penting baginya untuk menuliskan naskah dengan rapi di folio.
 
Sebab, naskah itu nanti yang dia pindahkan ke bentuk digital lewat laptop adik kelas atau komputer sewaan di warnet. ”Nah, saya juga waktu itu tidak punya flash disk. Jadi, ketikan itu saya kirim dari e-mail saya di Yahoo ke e-mail saya di Google agar tersimpan,” paparnya.
 
Karena perfeksionis, Felix tak cukup hanya memindahkan tulisan dari kertas ke teks digital. Dia tetap merasa perlu mengedit ulang tulisannya.
 
”Saya print tulisan saya, lantas saya edit manual. Saya corat-coret bagian yang tidak cocok dan harus disesuaikan,” katanya.
 
Para peserta diskusi kembali melongo. Sungguh proses yang melelahkan. Menulis naskah dengan tangan, mengetik, mencetak tulisan, dan mengedit dengan pena lagi. Setelah itu, naskah editan diketik lagi untuk menjadi draf final.
 
Tapi, tidak bagi Felix. Dia sungguh menikmati proses itu. Bagi dia, proses menulis, mengetik, dan mengedit itu menyenangkan.
 
Dia memang lebih akrab dengan tulis-menulis secara manual. Dengan tangan. Sejak kecil, sejak duduk di bangku sekolah dasar.
 
”Dulu (waktu setingkat SMP dan SMA) saya juga suka mengerjakan mading (majalah dinding, Red),” katanya. Agar mading terlihat elok, tutur Felix, kreatornya tidak bisa sekali jadi membuat karya. Harus berulang. Jika itu puisi, puisinya perlu ditulis dulu sebagai draf di kertas HVS berwarna.
 
Lantas, puisi itu ditulis lagi dengan huruf-huruf yang lebih tebal, lebih rapi, dan lebih artistik. Artinya, pembuat mading akan berkali-kali menulis atau berkreasi untuk menghasilkan karya yang layak dipajang.
 
Dari sanalah rupanya proses kreatif ”mbulet” Orang-Orang Oetimu tadi berakar. ”Justru di situlah bagian yang paling seru,” ucapnya.
 
Tapi, meski ”resminya” hanya memindahkan tulisan, tak selalu pria yang kini bergiat bersama Komunitas Leko di Kupang, NTT, itu taat pada rancangan. ”Ya sering berubah. Apa yang saya ketik kadang tidak sama dengan apa yang ada di tulisan saya di kertas folio,” katanya.
 
Tokoh-tokoh dalam bukunya itu pun mengalami penambahan dan pengurangan. Demikian juga kisah-kisah pendukung di dalamnya.
 
Tokoh Silvy, misalnya. Dalam novelnya, Felix menggambarkan gadis yang masih duduk di bangku SMA itu sebagai pusat semesta. Semua pria –tua, muda, anak-anak– tergila-gila kepadanya.
 
”Bicaranya santun, tubuhnya wangi, dan parasnya sungguh menawan. Setiap pemuda bercita-cita mempersuntingnya, dan setiap anak mengalami mimpi basahnya.” Demikian deskripsi Felix tentang Silvy yang ditulisnya pada halaman 60.
 
Tapi, ketika dibacakan ulang karakter Silvy itu di sela diskusi, Felix malah heran. ”Ah, masak? Saya tulis begitu, ya? Lebay sekali,” seru Felix.
 
Felix yang lahir di Nesam-Insana, NTT, itu menyelesaikan Orang-Orang Oetimu pada 2018. Setelah memenangi sayembara Dewan Kesenian Jakarta pada tahun yang sama, novel diterbitkan Marjin Kiri pada semester dua tahun ini.
 
Oetimu, menurut Felix, sejatinya nama ladang sang ayah. Letaknya di belakang rumah. Lengkap dengan pohon cemara dan danau.
 
Bagi Felix, Oetimu adalah keindahan Timur. Karena itu, pemilik sebuah toko buku sederhana di Kupang tersebut mengabadikannya sebagai judul. Dia ingin membuka wawasan para pembaca tentang orang-orang Timur. Sekaligus, memperkenalkan budaya dan keindahan NTT ke seluruh penjuru tanah air.
 
Dalam buku setebal 220 halaman tersebut, lulusan seminari di Atambua, NTT, itu memang mengungkapkan banyak kegelisahan. Mulai soal dominasi Jawa, ke-lebay-an orang-orang kampung, hingga kemanusiaan para pastor yang hidup selibat.
 
Dengan kata lain, Orang-Orang Oetimu adalah jejak berharga sebagai penyeimbang perspektif di tengah Indonesia yang sangat Jawa-sentris. Meski, sayangnya, dokumen awal penyusunnya telah lama dikilokan.
 
”Kok, bisa sih, masak nggak ada yang tersimpan sama sekali,” tanya Diar Candra, peserta diskusi lainnya.
 
Felix berpikir sejenak. ”Coba nanti saya cari di kos. Sepertinya masih ada sebagian,” ucapnya ragu.
***
 

Felix K. Nesi (dua dari kiri) saat berdiskussi di lounge Graha Pena, Surabaya

*) INDRIA PAMUHAPSARI, Surabaya, Jawa Pos. http://sastra-indonesia.com/2021/08/cara-felix-k-nesi-melahirkan-orang-orang-oetimu/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria