dimanche 5 septembre 2021

MENGENANG ULANG KISAH GERBONG MAUT

Mashuri
 
Indonesia memang belum lama merdeka. Baru 76 tahun! Namun, pengetahuan sejarah perjuangan seringkali naik-turun dalam ingatan kita. Banyak yang tercecer dari perhatian, dan tergilas roda di jalan-jalan keseharian. Salah satunya adalah Peristiwa Gerbong Maut pada tahun 1947 yang bermula dari Stasiun Bondowoso dan berakhir di Stasiun Wonokromo, Surabaya. Peristiwa memilukan yang merenggut nyawa 46 pejuang itu memang terjadi pada masa revolusi demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Mumpung masih Agustus, tidak ada salahnya, kita mengenang ulang peristiwa tersebut.
 
Dalam mengembalikan ingatan pada peristiwa tersebut, sekaligus mengingatkan bahwa meraih dan mempertahankan kemerdekaan itu tidak semudah membalik pakaian basah di jemuran. Berikut ini saya sajikan sebuah artikel yang ditulis oleh dua orang sejarawan, yaitu Dra. G.A. Ohorelle dan Drs. Restu Gunawan, berjudul “Sejarah lokal : Peranan Rakyat Besuki (Jawa Timur) Pada Masa Perang Kemerdekaan”. Buku itu diterbitkan Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional, Dirjen Kebudayaan, Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2001. Dengan cukup detail para penulis pendahulu kita itu menceritakan tentang peristiwa sejarah yang membuat hati kita trenyuh. Peristiwanya berdasarkan kesaksian seorang pelaku sejarah, yaitu Boehanuddin. Beginilah kisahnya.
 
Peristiwa gerbong maut diawali ketika pasukan Belanda telah berhasil menduduki Bondowoso pada tahun 1947. Tepat pada tanggal 22 Februari 1947, pasukan-pasukan Belanda menyerang Bondowoso dan berhasil menduduki kawasan yang dikenal dengan tape, kerajinan kuningan dan tinggalan Prasejarah tersebut. Pasukan Republik mundur ke gunung-gunung dan melanjutkan perjuangan secara gerilya. Para pemuda pejuang tidak tinggal diam. Hampir setiap malam mereka melakukan serangan-serangan ke markas VDMB (Veiliqheids Dienst Mariniers Brigade). Akibat serangan-serangan yang dilancarkan secara terus menerus itu, menyebabkan persediaan peluru pejuang semakin menipis. Untuk mencari peluru, mereka harus turun gunung atau pergi ke kota.
 
Oleh karena itu, Singgih seorang pimpinan Barisan Pemberontak Indonesia pergi ke kota dan berhasil menjalin hubungan dengan seorang anggota VDMB dan berhasil mendapatkan tambahan peluru. Meskipun kegiatan itu berlangsung secara rahasia, tetapi pihak Belanda berhasil mencium gelagat penyelewengan tersebut. Singgih berhasil disergap ketika sedang membagi-bagikan peluru di rumahnya. Ia gagal mengadakan perlawanan, karena rumahnya telah dikepung Belanda dengan ketat. Singgih dan kawan-kawannya ditangkap pukul 09.00 pagi, tanggal 20 September 1947. Sejak hari itu Singgih dan kawan-kawannya mengalami siksaan berat di tahanan. Mula-mula mereka disekap dalam WC selama beberapa hari, setelah itu mereka baru dipindahkan ke penjara Bondowoso.
 
Selain Singgih, pejuang Boerhanuddin mempunyai pengalaman yang lain bagaimana ia bisa ditangkap Belanda. Pada saat itu Boeharnuddin dengan para pejuang lainnya berusaha meninggalkan kota Jember untuk melakukan perang gerilya di hutan. Berbulan-bulan ia melakukan penyerbuan dan menghadang tentara Belanda, maju untuk mengadakan penyergapan Belanda dan mundur setelah berhasil mengadakan penyergapan.
 
Boerhanuddin bukan saja bertugas mengadakan penyerangan, tetapi juga mencari senjata dan bahan makanan untuk para pejuang. Yang berjuang di hutan bersama Boerhanuddin, diantaranya R. Badroessapari, Sutjipto Yudo Dihardjo, Majend Magenda. Naas terjadi pada tangal 23 November 1947. Ketika mereka sedang beristirahat setelah gerilya, secara mendadak, mereka disergap oleh Belanda. Boeharnuddin bersama-sama sekitar 100 orang pejuang ditangkap, mereka lalu disiksa di tahanan.
 
Berawal dari sanalah, peristiwa Gerbong Maut bermula. Pukul 15.00, para tawanan digiring dengan berbaris menuju Stasiun Bondowoso untuk diangkut ke suatu tempat yang masih dirahasiakan. Mereka menunggu di stasiun, hingga kereta api dari Banyuwangi tiba pukul 19.00. Para tawanan kemudian digiring ke dalam gerbong barang tertutup dan dibagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama terdiri atas 24 orang, kedua 36 orang, dan kelompok ketiga sejumlah 40 orang, termasuk Boeharnuddin.
 
Setelah itu, kereta api bergerak. Dalam perjalanan, dengan gerbong tertutup dan udaranya pengap, tragedi pun dimulai. Banyak para tawanan yang tidak tahan lagi menahan rasa haus. Mereka mulai menggendor pintu kereta untuk minta minum. Namun, jawaban yang diterima dari penjaga: “Boleh minum peluru!”.
 
Suasana dalam gerbong pun berlangsung memilukan. Sungguh, tidak dapat dibayangkan. Satu demi satu mulai berguguran. Yang masih bertahan hidup adalah yang minum air kencingnya sendiri. Begitu memasuki stasiun Pasuruan, para tawanan sudah tak bisa berdiri. Yang masih kuasa bergerak adalah mereka yang dapat memeras keringatnya untuk diminum, termasuk Boeharnuddin. Ia selalu memeras keringatnya untuk diminum.
 
Menjelang stasiun Bangil, Boeharnuddin mencoba menggelundungkan diri di lantai gerbong untuk mencari sesuatu. Namun hanya menemui mayat-mayat kawannya yang sudah bergelimpangan. Dalam kondisi antara sadar dan tidak, Boeharnuddin meraba sesuatu benda yang bulat, yang ketika ditimbang dan diraba ternyata rambutan. Ia pun memasukkan sebiji rambutan itu ke dalam mulutnya untuk menahan rasa haus dan itu bertahan sampai memasuki stasiun Wonokromo. Kereta api sampai di stasiun Wonokromo sekitar pukul 13.00. Dengan demikian, kereta api sudah menempuh perjalanan sekitar 19 jam dari stasiun Bondowoso.
 
Memasuki stasiun Wonokromo, gerbong para tawanan dibuka. Ternyata, tak seorang pun yang keluar karena tak kuasa untuk berdiri. Boeharnuddin bersama Karsono dengan sisa-sisa kekuatan merangkak keluar dan mulai berteriak-teriak kepada tentara Belanda dan mengatakan bahwa semua orang telah tewas. Namun Belanda tidak mempercayainya. Semua tawanan mulai disepak untuk dikeluarkan dari gerbong. Yup, ternyata semua tawanan sudah tidak ada yang bisa berdiri, sekarat, bahkan sebagian mati.
 
Merasa sebagai tentara, Boerhanuddin lari mencari air tanpa mempedulikan bahaya apa yang akan menimpa dirinya. Ia mendapatkan air dari talang kereta api. Dengan sisa-sisa kekuatannya, ia memberikan air kepada tawanan lainnya yang masih tergeletak. Dengan kekuatan ala kadarnya, para tawanan disuruh untuk mengumpulkan tawanan yang sudah meninggal dunia. Tawanan yang sudah meninggal dunia berjumlah 46 orang, sedangkan yang sekarat berjumlah 56 orang. Mayat dikumpulkan dan ditumpuk di depan stasiun Wonokromo, seperti onggokan barang. Setelah itu, semua mayat diangkut dengan truk militer ke rumah sakit Karang Menjangan.
 
Para tawanan yang masih hidup digiring ke penjara Bubutan. Karena Boehamuddin yang semula mengaku sebagai tentara, bersama Karsono, mereka diserahi sebagai kepala tawanan yang bertugas memegang kunci dan melayani para tawanan. Selama setengah bulan para tawanan menjadi penghuni penjara Bubutan. Mereka dijaga keras dan tidak diperbolehkan berkumpul dengan tawanan lain. Barang siapa mendekati mereka dalam jarak 10 meter akan ditembak mati.
 
Mengenai mayat-mayat korban gerbong maut tidak diketahui dengan pasti mereka dikuburkan di mana. Ada sumber yang mengatakan, jenazah mereka dibuang ke Sungai Wonokromo, ada pula yang mengatakan bahwa jenazah mereka dikuburkan di Sidoarjo.
 
Peristiwa itu awalnya dirahasiakan pihak Belanda. Tetapi, beberapa hari kemudian Radio Australia menyiarkan tragedi itu, sehingga dunia internasional mengetahui kekejaman tentara Belanda terhadap rakyat Indonesia yang secara sah telah merdeka. Penyiaran itu membuat perubahan sedikit pada perilaku Belanda dalam memperlakukan tawanan. Selanjutnya, Belanda tidak lagi mengangkut tawanan dengan pengangkutan tertutup tetapi pengangkutan terbuka, meskipun para tawanan tetap saja dikerangkeng dan diborgol.
 
Di penjara Bubutan, ke-54 tawanan disekap selama 5 bulan, lalu dipindahkan ke penjara Klakah hingga penyerahan kedaulatan RI dari Belanda pada 1949. Sepulang dari penjara Klakah, Boeharnuddin mulai kehilangan keseimbangan fisik. Ia sudah tidak dapat bekerja. Sehari-harinya, ia makan dari pemberian saudara-saudara dan teman-temannya yang simpatik atas perjuangannya.
 
Demikianlah pemaparan artikel yang terbit pada 2001, dengan penyuntingan di sana-sini, yang membentang peristiwa tragis dalam mempertahankan kemerdekaan di kawasan bekas Karesidenan Besuki. Hanya saja, dalam kesempatan ini, ada tambahan data terkait dengan peristiwa Gerbong Maut lebih kongkrit penggambarannya. Penyebutan beberapa lokasi berbeda dengan kesaksian Boerhanuddin, termasuk penyebutan nama penjara legendaris di Surabaya, yaitu Penjara Kali Sosok, yang disebut Penjara Bubutan. Begitu pula dengan soal waktu keberangkatan kereta api.
 
Data yang dimaksud adalah 100 orang pejuang ditangkap dan diangkut dengan Gerbong No. GR. 10152 berisi 30 orang. Gerbong No. GR. 446 berisi 32 orang dan No. GR. 5769 berisi 38 orang dari stasiun kereta api Bondowoso pada pukul 03.00 dini hari menuju Penjara Kali Sosok Surabaya, para pejuang atau tahanan diangkut dengan gerbong tua  yang rapuh atau keropos dalam keadaan tertutup yang mengakibatkan 46 orang dari 100 orang pejuang atau tahanan gugur.
 
Adapun nama-nama tawanan yang dianggap terlibat dalam peristiwa gerbong maut sebagai berikut. 1. Mohammad Alwi, 2. Soewandono, 3. Soeparto, 4. Rasmin, 5. Rasimin, 6. Sidik, 7. Ismail alias P Wir, 8. Satamin alias Brotojoyo, 9. P. Sami alias Dulhakar, 10. Abdulrachman, 11. P. Tayib alias Adam, 12. Ali, 13. Parto, 14. Soewardi, 15. P. Singgih, 16. Pasik, 17. P. Tima alias Duramaan, 18. Sadang Radikin, 19. Hasan Assagaf, 20. Sahar alias S. Abdoer, 21. Endin 22. Astrodiredjo, 23. P. Arjono, 24. Misradin, 25. Abd. Maksar, 26. Arnimo, 27. Niman, 28. R. Koesmar alias Nyotoprawiro, 29. Soekawi, 30. P. Yahya alias Matra’is, 31. Tallip, 32. P. Mochdar alias Saleh, 33. Koestidjo, 34. Oewi, 35. Asmawi, 36. Pangemanan alias Longkang Hendrik, 37. Soeharto, 38. P. Kamar alias Sahri, 39. Arijadi, 40. Wiroto, 41. Moegiman alias Hadiwarsito, 42. Sajidiman, 43.Sali alias Suryopranowo, 44. Wirjopranoto alias Safiuddin, 45. Sahawi alias P. Noorsid, 46. Awi, 47. P. Rose alias Mistar, 48. Soeparjomo alias Dirjoatmojo, 49. Soetedjo, 50. Asboen alias Samak, 51. Sidin, 52. Roemin, 53. Akmi alias Sariman, 54. P. Hun alias Sarman, 55. P. Aris alias Abdulgafar, 56. P. Soesman alias Soeri, 57. P. Beng ‘alias Soebahar, 58. Sihat alias P. Supar, 59. P. Hari alias Sahwi,  60. P. Soewoto alias Sishadi, 61. Asmono alias Durachman, 62. P. Soewoto alias Sishadi, 63. P. Soerakmo alias Djatim, 64. P. Soewarti alias Djono, 66. P. Pakmina alias Djami, 67. P. Soeadri alias Mojo, 68. P. Satomo alias Dulkali, 69. P. Marjani ali, 65. Koes alias Durachim as Mai, 70. P. Rais alias Sahi, 71. H. Anwar alias Ali, 72. P. Murtami alias Maria, 73. P. Mistam alias sarbudin, 74. P. Achamad alias Ramidin, 75. P. Ti alias Misnadin, 76. Anwani alias Yahya, 77. Salim 78. Gadang Tawar, 79. P. Soenandar alias Soedarmo, 80. Reksowono alias, P. Dahnan, 81. Dai 82. H. Syamsuri, 83. Soedarjo, 84. Koeswari, 85. Dullah, 86. Abduljaman, 87. Tajib, 88. Masdar, 89. P. Soewari alias Asim, 90. P. Soetijo, 91. P. Soedjino, 92. P. Soewari alias Soemarto, 93. P. Roe alias Moenawar, 94. P. Pasmon alias Tahir, 95. Soewardi, 96. Sa’id, 97. Moesappa, 98. Moestapa.
 
Nama-nama tersebut oleh Belanda divonis bersalah karena dianggap bertindak subversif dan membahayakan kedudukan pemerintahan Belanda. Mereka ini semua kemudian ditahan oleh Belanda dengan dikeluarkannya surat penahanan oleh Dinas Keamanan Militer.
 
Untuk mengenang peristiwa tersebut telah dibangun “Monumen Gerbong Maut” di jantung kota Bondowoso tepatnya di depan Kantor Pemerintah Kabupaten Bondowoso. Demikianlah, mudah-mudahan perngorbanan mereka diterima dan kematian mereka dicatat sebagai sahid.
 
MA, On Sidoardjo, 2021 (Teks mengacu pada beberapa sumber).

http://sastra-indonesia.com/2021/09/mengenang-ulang-kisah-gerbong-maut/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria