dimanche 5 septembre 2021

TAKJUB

Taufiq Wr. Hidayat *
 
Konon puncak ketidaktahuan melahirkan ketakjuban. Sesuatu yang sesungguhnya tak terjelaskan, hanya mungkin dihayati dengan rasa takjub.
 
Bagi Ismail Marzuki, yang cerlang dan gemilang tak harus berada dalam terang. Yang cerlang dan gemilang hanya tampak di dalam kegelapan. Lalu kenapa orang mencari terang benderang? Bukankah di dalam terang benderang itu, segala yang cerlang dan gemilang tak pernah tampak untuk membangkitkan ketakjuban?
 
“Engkau gemilang,” katanya. Tetapi di dalam “malam cemerlang”. Di dalam malam yang diliputi kegelapan itulah, yang gemilang membaut malam menjadi cemerlang. Bukan terang. Kecemerlangan barangkali melampaui segala yang terang. Lantaran yang gemilang itu “bagaikan bintang timur sedang mengambang”. Di dalam malam yang gelap itu pulalah, yang gemilang menampakkan pesonanya yang tak mudah dijelaskan. Yang membuat seseorang yang takjub itu “tak jemu-jemu mata memandang”. Dan dengan hati yang bergetar, “aku namakan dikau juwita malam”.
 
Dan di dalam malam yang gelap dan dalam itu, “sinar matamu menari-nari”. Begitu tajam menusuk gulita yang dalam, hingga “masuk menembus ke dalam jantung kalbu”. Ketakjuban membuat “aku terpikat”, bagai mangsa yang “masuk perangkap”. Di dalam perangkap ketakjuban itu, “apa daya asmara sudah melekat”.
 
Kita pun tak mengerti, dari mana muasal takjub. Tatkala ia takjub, ia pun tak berdaya. Rela segala rela demi mereguk ketakjuban itu. Ketakjuban adalah yang spiritual, mungkin juga yang aktual. Ia melampaui yang benda-benda, atau melampaui---atau bahkan, yang aktual dan spiritualitas itu sendiri, meski ia menemukan benda-benda di dalam keniscayaan. Keheranan itu melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang sukar dijelaskan. Membuatnya tak kuasa menahankan tanya: “siapakah gerangan tuan?”. Dan apakah ia yang gilang gemilang di dalam malam itu jatuh dari langit sebagai mukjizat? “Juwita malam, dari bulankah tuan?” tanyanya. Alangkah heran dan tak mengerti, sehingga ia yang duduk di sana, disapanya:  “apakah Tuan datang dari bulan?”
 
Di dalam kegelapan, di dalam ketidaktahuan, ia ingin mengenali. Ingin mengenali juwita malam yang ditemukannya di dalam sebuah kereta---sebuah ruang dan waktu, yang akan segera tiba memisahkannya dari ketakjuban. Dalam lagu “Juwita Malam”-nya Ismail Marzuki, ada semacam cemas yang menindas. “Kereta kita segera tiba,” ujarnya. Tiba pada tujuan yang berbeda, ruang dan waktu yang berbeda; “di Jatinegara kita kan berpisah”. Ketakjuban selalu ingin mengarifi kedalaman dengan sebuah nama. “Berilah nama, alamat serta” harapan dalam kemungkinan-kemungkinan “esok lusa boleh kita jumpa pula”.
 
Di dalam kegelapan, yang gilang itu begitu memesona. Ada kesunyian yang sahdu. Di dalam gelap, ia yang bagai cahaya bintang timur yang mengambang hadir, sampai ke dalam hati. Ada rahasia yang tersembunyi di dalam gulita. Rahasia ketakjuban yang memikat jiwa. Tapi kenapa orang menyalakan lampu listrik yang terang benderang? Sehingga segala yang tersembunyi tampak begitu jelasnya, segala yang sahdu buyar begitu saja. Kenapa orang gemar ingin tahu segala yang tak seharusnya ia ketahui? Menyalurkan tenaga listrik pada benda-benda, sehingga sunyi pecah oleh bunyi-bunyi keras yang merobek telinga. Dan segala yang dialiri listrik, membuat segalanya jelas, tampak pasti, dan sangat pintas. Agaknya di dalam terang, segalanya menjadi kepastian. Lantaran segalanya pasti, jelas, dan tidak meragukan, maka tak mungkin ada ketakjuban yang dibangun dari ketidakpastian dan ketidaktahuan di dalamnya. Barangkali Ismail Marzuki hendak menyampaikan sebuah pertanyaan; bagaimana mungkin meraih yang gilang gemilang atau yang cerlang cemerlang dengan meniadakan kegelapan? Bukankah yang gilang-cerlang hanya mungkin bernama kecerlangan dan kegemilangan lantaran ia berada di dalam gelap yang begitu dalam? Dan bukankah keimanan---jika kita andaikan, yang selalu mencari jalan terang, sejatinya adalah kegelapan? Iman mengandung kepastian, tetapi juga memendam ketidakpastian-ketidakpastian yang meragukan, cemas, dan berharap-harap. Lalu bagaimana ia dapat menuju terang, jika ia tak pernah merendah hati berhikmat pada kegelapan?
 
Tembokrejo, 2021

*) Taufiq Wr. Hidayat dilahirkan di Dusun Sempi, Desa Rogojampi, Kab. Banyuwangi. Taufiq dibesarkan di Desa Wongsorejo Banyuwangi. Menempuh pendidikan di UNEJ pada fakultas Sastra Indonesia. Karya-karyanya yang telah terbit adalah kumpulan puisi “Suluk Rindu” (YMAB, 2003), “Muncar Senjakala” [PSBB (Pusat Studi Budaya Banyuwangi), 2009], kumpulan cerita “Kisah-kisah dari Timur” (PSBB, 2010), “Catatan” (PSBB, 2013), “Sepotong Senja, Sepotong Malam, Sepotong Roti” (PSBB, 2014), “Dan Badut Pun Pasti Berlalu” (PSBB, 2017), “Serat Kiai Sutara” (PSBB, 2018). “Kitab Iblis” (PSBB, 2018), “Agama Para Bajingan” (PSBB, 2019), dan Buku terbarunya “Kitab Kelamin” (PSBB, 2019). Tinggal di Banyuwangi, Sekarang Sebagai Ketua Lesbumi PCNU Banyuwangi. http://sastra-indonesia.com/2021/09/takjub/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria