Jordaidan Rizsyah
Itu adalah perkampungan kecil jauh dari teknologi zaman. Berada di lereng gunung, di tengah hutan belantara. Penduduknya kurang dari 50 orang yang masing-masing terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak buta huruf.
Di tengah kampung itu dialiri sungai kecil menjorok ke barat. Di hilir sana, aliran jatuh membentuk air terjun. Di tebing air terjun terselip satu rumah kecil. Rumah itu milik seorang dukun dengan istri yang telah melahirkan dua anak. Di depan rumah itu ada dua pohon besar yang jadi penyangga rumah. Di pohon itulah si sulung laki-laki anak si dukun tidur, di dalam kain yang dililitkan ke pohon. Hebat sekali caranya tidur bergelantungan seperti kepompong.
Kampung ini bernama Deusta. Pemimpinnya, atau sebutlah kepala suku, bernama Jeuk Ismeut Jaleulah yang diangkat secara nasib. Yaitu, kebetulan dua tahun lalu Jeuk Ismeut Jalaleu pernah jatuh ke dalam sumur. Maka, atas kepercayaan turun-temurun; barangsiapa jatuh ke dalam sumur secara tidak sengaja dan ditemukan masih hidup, dia harus diangkat jadi pemimpin. Dewa telah memilihnya.
Di tengah kampung ada satu pendopo besar tempat warga mengadakan pertemuan, sebenarnya tidak pernah ada pertemuan penting. Pendopo fungsinya lebih ke tempat tidur warga.
Di sebelah barat pendopo ada sebuah ruangan panjang terbuat dari kayu. Itu tempat musyawarah sakral. Biasanya, kalau hendak memberi hukum, kepala suku atau orang terpilih akan menjalankan ritual di sana selama 2 hari 2 malam. Namun hebat, setelah kedatangan seorang mahasiswi dari Jakarta ruangan itu jadi seperti sekolah. Dipakai belajar anak-anak kampung yang sama sekali tidak ingin belajar. Rata-rata anak-anak itu datang-- atau sebutlah sekolah, hanya karena guru mereka, si mahasiswi itu sering mengiming-iming permen. Tentu anak-anak kampung tertarik. Selama hidup mereka belum pernah memakan batu yang rasanya manis, yang si mahasiswi mengenalkannya dengan sebutan permen dengan tambahan cinta. Permen cinta, katanya.
Di sebelah kiri pendopo ada saung kecil milik seorang pendatang. Kiayi Ali namanya. Sebenarnya itu bukan nama sesungguhnya. Warga kadung sering dengar orang itu cerita tentang sesosok guru di Jombang sana yang bernama kiayi Ali, warga pun menamainya kiayi Ali. Hebatnya, orang itu tidak keberatan namanya diganti tanpa peresmian masak bubur merah. Bahkan bisa dibilang kiayi Ali bangga bisa memiliki nama gurunya.
Nah, di samping saung kiayi Ali inilah si mahasiswi Jakarta itu tinggal. Dulu, pertama kali kedatangannya ke kampung ini, kiayi Ali-lah yang menyambutnya. Kiayi Ali juga yang membantu membuatkan saung untuknya. Alhamdulillah kiayi Ali diberi upah 10 permen tanda terima kasih.
Sedangkan kiayi Ali sendiri bisa tinggal di kampung ini-- dengan saung di sebelah pendopo itu, karena warga kampung kadung baiknya. Alias karena kiayi Ali sering ikutan tidur bersama di pendopo, warga merasa risih kepadanga. Kemudian terbesit di pikiran warga untuk menyingkirkan kiayi Ali dengan cara membikin tempat khusus untuknya. Maka, dibuatkanlah saung kecil seukuran mimbar masjid di samping pendopo itu. Jujur saja, warga kampung Deusta sebenarnya jijik kepada orang asing. Namun, mereka punya tradisi jangan menolak tamu.
Di ujung kampung, sekitar 500 meter dari tempat kepala suku, ada sebuah lapangan besar yang setiap sisinya dipagari kayu. Di sepanjang pagar itu tumbuh pohon ganja. Di kampung Deusta ganja tidaklah ada apa-apanya. Tidak pula bikin eufhoria. Dia cuma tanaman biasa, sama seperti pohon ubi kalau di tempat lain. Setiap hari ganja itu dijadikan teman makan. Tak ada masalah.
Lapangan itu, konon, bekas markas tentara gerilya. Kiayi Ali menyimpulkannya sendiri. Kemudian kesimpulannya diwartakan kepada si mahasiswi. Dan si mahasiswi percaya begitu saja tanpa investigasi lebih lanjut. Lagian, si mahasiswi malas debat soal benar atau tidak.
Di pojok lapangan terdapat saung besar yang bisa disebut rumah. Rumah ini tidak ada fungsinya. Tidak ada satu orang pun yang mau memasukinya. Konon, kata kepala suku, itu rumah para dewa. Barangsiapa masuk ke sana maka dia takkan pernah kembali. Kiayi Ali orangnya tidak mudah percaya. Maka demi membuktikan omongan si kepala suku, tengah malam ia mengendap masuk ke dalam. Tidak ada apa-apa. Tidak ada para dewa berbaris laiknya tentara gerilya. Tahu kenapa tidak ada? Karena, kiayi Ali lupa bawa obor. Dia tidak bisa melihat apa-apa, di dalam sana gelap. Tapi, lagi-lagi kiayi Ali bisa menyimpulkan sendiri, "Takhayuuul!" Katanya.
Kiayi Ali punya pembenaran kalau omongan si kepala suku benar-benar takhayul. Toh, dia bisa keluar tanpa kurang apa pun.
Tetapi, ketika Kiayi Ali tidur, kuntilanak berhasil menyambangi alam mimpinya.
Di tengah lapangan itu ada sumur besar. Di sumur inilah Jeuk Ismeut Jaleulah jatuh. Sejak dulu warga Deusta memang menjadikan sumur itu kramat. Ada yang bilang sumur itu tempat kencing para dewa. Sudah pasti! Kiayi Ali yang bilang begitu dengan maksud ingin meledek.
Di lapangan itu biasanya upacara dilaksanakan.
Kampung Deusta sering mengadakan upacara. Entah itu upacara penyambutan--yang sayang sekali kiayi Ali dan si mahasiswi tidak mendapatkannya. Upacara panen tosta. Dan upacara musim wanita. Dua upacara ini yang menarik, panen tosta dan musim wanita. Sebab, dua upacara ini mengilhami saya menceritakan kampung ini.
Sebelum saya ceritakan apa itu upacara panen tosta, ada baiknya diketahui dulu apa itu tosta. Di kampung ini ada satu tumbuhan langka yang tidak bisa tumbuh di tempat lain. Ya, tosta itu namanya! Tumbuhan ini sama persis seperti ganja. Bedanya, tosta memiliki buah yang apabila dimakan anak kecil bisa bikin muntah. Namun, bila dimakan orang dewasa bisa mengenyangkan. Warga kampung Deusta percaya kalau tosta tumbuhan surga yang ditanam dengan tangan dewa. Daun tosta bisa dibikin sayur. Bisa juga dikeringkan dan dijadikan rokok. Sama seperti ganja kalau dihisap makhluk lemah di tempat lain, bisa bikin euphoria. Batang pohon tosta bisa dibakar dan dijadikan teman makan sagu, atau kentang, rasanya tidak enak, kiayi Ali pernah mencobanya. Akar tosta bisa ditumbuk dan dijadikan teh. Pembuatan teh dicampur dengan daunnya yang sudah dikeringkan. Minuman ini biasanya diminum para lelaki karena punya efek menguatkan 'keperkasaan'.
Nah, pohon tosta ini biasa dipanen 2 kali dalam setahun. Berhubung kampung Deusta tidak punya kalender, maka menentukannya memakai pergerakan gajah nun jauh di sana. Apabila ada gajah bergerak dari hulu ke hilir, maka waktu panen sudah bisa dimulai. Setelah panen selesai, dengan maksud ingin bersukur, diadakanlah oleh warga satu upacara.
Upacaranya simple saja. Mereka berkumpul di lapangan bekas tentara gerilya sambil mengkonsumsi hasil panen tosta sepanjang 7 hari 7 malam. Mereka makan batang tosta yang rasanya tidak enak itu. Minum teh tosta. Dan mengisap rokok tosta yang kadar euphoria-nya lebih hebat dari ganja. Itu saja. Ya, begitu saja cara mereka bersukur.
Warga akan meninggalkan pendopo dan mulai bergeletakan di lapangan. Mereka menikmati hasil panen bersama-sama. Anak-anak bisa muntah-muntah, orangtua bisa [maaf: nge-sex sepanjang malam], sisanya makan batang tosta yang rasanya tidak enak, ini jadi bagian kiayi Ali dan si mahasiswi.
Warga kampung begitu mengagungkan tanaman ini. Tanaman para dewa. Tosta tumbuh nun jauh di sana, di tempat gajah lewat. Tak seorang pun ada yang boleh ke sana sebelum waktunya. Kalau ada yang nekat pergi ke sana, maka pelaku akan dihukum mati. Hebatnya, mayat korban tidak dikubur melainkan dimasukkan ke dalam sumur atau dijadikan makanan babi. Tergantung mandah hati yang diterima warga.
Upacara musim wanita adalah yang paling mengerikan, sekaligus seru. Karena didalamnya terdapat kekejian namun juga nikmat. Kiayi Ali akan geleng-geleng kepala bila upacara musim wanita sedang terjadi. Upacara ini berlangsung tidak menentukan hari atau bulan. Apabila kepala suku sudah berunding, maka upacara bisa dilangsungkan waktu itu juga. Di luar kampung Deusta mungkin upacara ini disebut perjodohan.
Laki-laki dan perempuan berkumpul di lapangan. Mula-mulanya si laki-laki akan memilih wanita, jika si wanita mau kepada si laki-laki, maka mereka sah jadi pasangan. Tak ada ikrar apa-apa, semuanya berjalan sesuai naluri. Aku suka kamu, kamu suka aku, maka mari kita hidup sama-sama. Hanya itu.
Kabar baiknya, di acara tak bermoral ini wanita diberi hak menolak. Dan laki-laki tidak boleh memaksa keputusan si wanita. Kabar buruknya, di upacara ini laki-laki bisa menukar wanitanya seperti barang. Si dukun pernah melakukannya. Orang lain pun!
Si dukun datang ke upacara bersama istrinya. Lalu istrinya diambil orang lain. Lalu, si dukun memilih anaknya untuk dijadikan istrinya. Hebatnya, si anak tidak menolak. Mengetahui ini, kiayi Ali kesal sendiri. Dia ingin melawan tradisi gila itu tapi tidak bisa.
Perkawinan ayah dan anak biasa terjadi di sini. Di kampung Deusta tak ada aturan soal perkawinan.
Kiayi Ali selalu merasa bersalah kepada dirinya sendiri karena belum menuntaskan misi yang diembannya. Ya, kiayi Ali palsu ini utusan kiayi Ali asli dari Jombang sana. Dia diberi tugas supaya mengajarkan nilai-nilai islam di kampung Deusta. Tetapi, dia belum berhasil. Sudah mau 3 tahun dia tinggal di kampung Deusta belum juga ada kemajuan. Barangkali hanya lafal 'bismillah' yang berhasil dia ajarkan kepada warga. Itu pun karena kiayi Ali mengiming-iming surga. Dia bilang ke warga kalau bismillah adalah kunci surga. Semua orang bisa masuk kalau sering mengucap bismillah, katanya. Warga tahu soal surga. Maka, ketika kiayi Ali menawarkan kuncinya, mereka tidak menolak. Mulailah warga rajin mengucap bismillah dalam setiap tindakan dan kesempatan. Malah, bismillah sering juga dijadikan kata celaan.
Pernah ada seorang istri kesal kepada suaminya. Dia berteriak kepada suaminya dengan makian, "Bismillaaaaah! Jangan kau sentuh-sentuh aku lagi. Dasar bismillah!"
Dari situ kiayi Ali geleng-geleng kepala. Dia merasa bersalah kepada dirinya sendiri, terutama kepada gurunya, kiayi Ali asli di Jombang sana.
Di lain kesempatan argumen warga Deusta soal bismillah itu lebih bijaksana. Katanya, "bismillah sajeu buat sayeu. Sisanyeu buat kiayi alieu sajeu." Dan kata-kata itu berhasil bikin kening kiayi Ali berkerut.
Kabar lainnya yang tidak kalah baik--mungkin bagi wanita saja, di kampung Deusta ini tak ada poligami atau perselingkuhan. Kalaupun ada, itu benar-benar tak terlihat.
***
Si mahasiswi itu setelah dua tahun hidup di kampung Deusta mengalami banyak hal. Namun, yang paling mencengangkan adalah peristiwa ketika dia jatuh ke sumur kramat. Entah apa yang terjadi kepadanya bisa sampai di sana malam-malam buta. Yang pasti, setelah peristiwa itu dia hamil. Orang kampung percaya kalau yang menghamilinya adalah dewa. Maka, warga kampung--sesuai tradisi mereka, harus mengangkat si mahasiswi menjadi kepala suku. Karena si mahasiswi adalah seorang perempuan, maka hak itu diberikan kepada anaknya, nanti. Kalau anaknya perempuan, maka warga Deusta akan membuat tatanan baru, yaitu kampung mereka bisa dipimpin oleh seorang perempuan.
Lagi-lagi kiayi Ali geleng-geleng kepala, bingung entah harus berbuat apa. Namun, dia tidak mau menyerah, kiayi ali tidak mau mengecewakan gurunya. Maka, di suatu malam kiayi Ali mendatangi si mahasiswi. Dia menanyai kebenaran soal kehamilan yang digadang-gadangkan benih dewa itu. Pertanyaan kiayi Ali dijawab si mahasiswi dengan jujur sejujur-jujurnya, "maafkan saya kiayi. Sebenarnya anak ini adalah anak Jeuk Ismeut Jalaleu."
Seketika kiayi Ali tersenyum. Dia mendapat pencerahan. Dia punya alasan untuk mengutuk warga kampung tentang dewa yang mereka maksud tidak benar-benar ada. Itu bohong. Itu takhayul. Itu tidak benar. Dewa itu tidak ada!
"Yang benar dan ada adalah islam. Islam rahmatan lil 'alamin, islam yang akan memperbaiki tatanan kampung menjadi lebih baik." Kiayi Ali dalam hati sambil tersenyum simpul membayangkan kemenangannya.
Kiayi Ali ingin memberitahu kehebatan islam kepada warga. Setelah cukup lama ia tidak diberi kesempatan, maka kehamilan si mahasiswi bisa dijadikan senjata. Maksud kiayi Ali, dia akan mengutuk kepala suku. Di lain hal, dia akan menjelaskan kejadian tak senonoh itu akibat tatanan yang tidak benar. Tentu tindak pemerkosaan tidak akan dibenarkan, bagi kampung tak bermoral sekalipun. Maka di sinilah kiayi Ali punya kesempatan mengenalkan tatanan islam. Pastinya, dengan harapan warga akan mengerti dan mau menerima islam.
"Bahwa islam bisa mencegah hal serupa takkan terjadi lagi." Argumen kiayi Ali waktu itu siap dilontarkan ke hadapan warga Deusta.
"Warga akan berpihak kepadaku" kata kiayi Ali. Namun, sebelum kiayi Ali bergerak, si mahasiswi menahannya, "jangan kiayi. Saya takut!" Si mahasiswi memelas. Dan kiayi Ali merasa kasihan.
"Lalu, bagaimana?" Tanya kiayi Ali.
"Kiayi sendiri yang tahu."
Sejenak kiayi Ali diam. Dia merenung. Anjing menggonggong.
"Harusnya saya pulang. Ini semua takkan terjadi." Si mahasiswi menangis. Kiayi Ali merasa iba.
"Jangan begitu. Kamu sudah berusaha kok. Saya juga merasakan apa yang kamu rasakan. Kegagalan itu." Kiayi Ali menghibur.
"Berusaha melahirkan anak haram? Haha." Si mahasiswi getir.
"Tidak! Dia bukan anak haram. Saya akan menikahimu. Dia akan lahir dan tumbuh jadi manusia normal. Bukan haram."
***
Begitulah akhirnya kiayi Ali menikah dengan si mahasiswi, tanpa wali dan tanpa saksi. Kecuali, anjing yang menggonggong di bawah saung.
Setelah anak itu lahir, kepala suku Jeuk Ismeut Jalaleu merasa tergugah. Ada kontak batin antara dirinya dengan anaknya. Dia melihat anaknya mirip dengan dirinya. Kemudian secara sadar si kepala suku memberikan info kepada warga kalau anak si mahasiswi adalah anaknya, dia yang telah menghamilinya. Salah satu dari warga pergi ke ruangan panjang di samping pendopo. Dia melakukan ritual minta petunjuk akan suatu kebenaran. Didapatlah mandah hati itu, si kepala suku telah melakukan pelanggaran. Dia harus dihukum mati dan jasadnya dikasih ke babi.
***
Anak si mahasiswi dijadikan kepala suku. Tapi tunggu ia besar. Sambil menunggu, tampuk kekuasaan kampung Deusta diserahkan kepada kiayi Ali--suami si mahasiswi. Tatanan baru kampung Deusta berada digenggamannya. Kiayi Ali tersenyum.
Bogor, 24 April 2020
http://sastra-indonesia.com/2020/06/kampung-deusta/
samedi 27 juin 2020
S'abonner à :
Publier des commentaires (Atom)
A. Anzieb
A. Muttaqin
A. Syauqi Sumbawi
A.P. Edi Atmaja
A.S. Laksana
Abdurrahman Wahid
Acep Zamzam Noor
Adhie M Massardi
Adin
Adrizas
Afrilia
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Aguk Irawan MN
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahmad Faishal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Jauhari
Ahmadun Yosi Herfanda
Aik R Hakim
Akhmad Sekhu
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Albert Camus
Alex R. Nainggolan
Amanche Franck
Amien Kamil
Aming Aminoedhin
Ana Mustamin
Andra Nur Oktaviani
Andrenaline Katarsis
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Annisa Febiola
Anton Wahyudi
Aprinus Salam
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arif Yulianto
Arifi Saiman
Arswendo Atmowiloto
Arung Wardhana Ellhafifie
Aryo Bhawono
AS Dharta
Asarpin
Atok Witono
Awalludin GD Mualif
Ayesha
B Kunto Wibisono
Badaruddin Amir
Balada
Bambang Bujono
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bantar Sastra Bengawan
Beni Setia
Beno Siang Pamungkas
Berita
Berita Duka
Berita Foto
Bernadette Aderi
Bernando J. Sujibto
Binhad Nurrohmat
Boy Mihaballo
Budaya
Budi Darma
Bustan Basir Maras
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
D. Zawawi Imron
Daisy Priyanti
Dareen Tatour
Daru Pamungkas
Dedy Tri Riyadi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dharmadi
Dhenok Kristianti
Dian Sukarno
Didin Tulus
Dina Oktaviani
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dwi Fitria
Dwi Klik Santosa
E. M. Cioran
Ebiet G. Ade
Eddi Koben
Edi AH Iyubenu
Edy A Effendi
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Permadi
Eko Prasetyo
Enda Menzies
Ernest Hemingway
Erwin Setia
Esai
Evan Gunanzar
F. Rahardi
Fadllu Ainul Izzi
Fahrudin Nasrulloh
Faidil Akbar
Fairuzul Mumtaz
Fajar Alayubi
Farah Noersativa
Faris Al Faisal
Fatah Yasin Noor
Fathoni Mahsun
Fathurrozak
Fauz Noor
Fauzi Sukri
Fazar Muhardi
Feby Indirani
Felix K. Nesi
Franz Kafka
FX Rudy Gunawan
Gesang
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Guntur Budiawan
Gus Noy
Gusti Eka
H.B. Jassin
Hamka
Hari Purwiati
Haris del Hakim
Hartono Harimurti
Hasan Gauk
Hasnan Bachtiar
Henriette Marianne Katoppo
Herry Lamongan
HM. Nasruddin Anshoriy Ch
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S. Chudori
I Nyoman Darma Putra
Ida Fitri
Idrus
Ignas Kleden
Ilung S. Enha
Imam Muhayat
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indonesia O’Galelano
Indra Tjahyadi
Indria Pamuhapsari
Irwan Apriansyah Segara
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Zulkarnain
J Anto
Jadid Al Farisy
Jakob Oetama
Jalaluddin Rakhmat
Jamal T. Suryanata
James Joyce
Januardi Husin
Jemi Batin Tikal
Jo Batara Surya
Johan Fabricius
John H. McGlynn
John Halmahera
Jordaidan Rizsyah
Juan Kromen
Judyane Koz
Junaidi Khab
Jurnal Kebudayaan The Sandour
Jusuf AN
K.H. M. Najib Muhammad
Kadjie Mudzakir
Kahfie Nazaruddin
Kamran Dikarma
Kedung Darma Romansha
KH. Ahmad Musthofa Bisri
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anam
Khulda Rahmatia
Kiki Sulistyo
Komunitas Sastra Mangkubumen
Komunitas-komunitas Teater di Lamongan
Kurniawan
Kurniawan Junaedhie
Kuswaidi Syafi’ie
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Leo Tolstoy
Linda Christanty
Linda Sarmili
Lutfi Mardiansyah
M Zaid Wahyudi
M. Adnan Amal
M’Shoe
Maghfur Munif
Mahamuda
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Maman S. Mahayana
Maratushsholihah
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Magdalena Bhoernomo
Mariana Amiruddin
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Mbah Kalbakal
Melani Budianta
Mochtar Lubis
Moh. Dzunnurrain
Mohammad Bakir
Mohammad Kasim
Mohammad Tabrani
Muhammad Ali
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhidin M. Dahlan
Mukhsin Amar
Mulyo Sunyoto
Munawir Aziz
Musafir Isfanhari
Mustain
Myra Sidharta
N. Syamsuddin CH. Haesy
Naim
Nanda Alifya Rahmah
Nara Ahirullah
Naskah Teater
Naufal Ridhwan Aly
Nawangsari
Nezar Patria
Niduparas Erlang
Nikita Mirzani
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Nur Wahida Idris
Nurel Javissyarqi
Observasi
Ocehan
Pameran Lukisan
Panggung Teater
Pentigraf
Performance Art
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringgo HR
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Pustaka Ilalang
PUstaka puJAngga
Puthut EA
Putu Wijaya
R. Toto Sugiharto
Raedu Basha
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rama Prambudhi Dikimara
Ratih Kumala
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Reko Alum
Remy Sylado
Resensi
Reza Aulia Fahmi
Ribut Wijoto
Rikardo Padlika Gumelar
Riki Dhamparan Putra
Risang Anom Pujayanto
Riska Nur Fitriyani
Rofiqi Hasan
Rokhim Sarkadek
Roland Barthes
Rony Agustinus
Rosdiansyah
Rozi Kembara
Rx King Motor
S Yoga
S. Arimba
S. Jai
Sabda Armandio
Sabine Mueller
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Samir Amin
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sapardi Djoko Damono
Sasti Gotama
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Selendang Sulaiman
Seno Gumira Ajidarma
Shinta Maharani
Sholihul Huda
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sosiawan Leak
Sri Pudyastuti Baumeister
Sugito Ha Es
Sumani
Sumargono SN
Sunan Bonang
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Suripno
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Budiharto
Sutrisno Buyil
Syarif Hidayat Santoso
T Agus Khaidir
T.N Angkasa
T.S. Eliot
Tatan Daniel
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater ESKA
Teater Pendopo nDalem Mangkubumen
Teater Tawon
Tedy Kartyadi
Teguh Winarsho AS
Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo
Tirto Suwondo
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widijanto
Tjoet Nyak Dhien
Toeti Heraty
Toto Sudarto Bachtiar
Tujuh Bukit Kapur
Udin Badruddin
Umbu Landu Paranggi
Undri
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Vitalia Tata
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Hidayat
Wahyudi Akmaliah Muhammad
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Jengki Sunarta
Welly Kuswanto
Wulansary
Yasunari Kawabata
Yeni Mulyani
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yonathan Rahardjo
Yudha Kristiawan
Yudhistira ANM Massardi
Yukio Mishima
Yusri Fajar
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zuhdi Swt
Zuhkhriyan Zakaria
Aucun commentaire:
Publier un commentaire