samedi 27 juin 2020

KAMPUNG DEUSTA

Jordaidan Rizsyah

Itu adalah perkampungan kecil jauh dari teknologi zaman. Berada di lereng gunung, di tengah hutan belantara. Penduduknya kurang dari 50 orang yang masing-masing terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu, anak-anak buta huruf.

Di tengah kampung itu dialiri sungai kecil menjorok ke barat. Di hilir sana, aliran jatuh membentuk air terjun. Di tebing air terjun terselip satu rumah kecil. Rumah itu milik seorang dukun dengan istri yang telah melahirkan dua anak. Di depan rumah itu ada dua pohon besar yang jadi penyangga rumah. Di pohon itulah si sulung laki-laki anak si dukun tidur, di dalam kain yang dililitkan ke pohon. Hebat sekali caranya tidur bergelantungan seperti kepompong.

Kampung ini bernama Deusta. Pemimpinnya, atau sebutlah kepala suku, bernama Jeuk Ismeut Jaleulah yang diangkat secara nasib. Yaitu, kebetulan dua tahun lalu Jeuk Ismeut Jalaleu pernah jatuh ke dalam sumur. Maka, atas kepercayaan turun-temurun; barangsiapa jatuh ke dalam sumur secara tidak sengaja dan ditemukan masih hidup, dia harus diangkat jadi pemimpin. Dewa telah memilihnya.

Di tengah kampung ada satu pendopo besar tempat warga mengadakan pertemuan, sebenarnya tidak pernah ada pertemuan penting. Pendopo fungsinya lebih ke tempat tidur warga.

Di sebelah barat pendopo ada sebuah ruangan panjang terbuat dari kayu. Itu tempat musyawarah sakral. Biasanya, kalau hendak memberi hukum, kepala suku atau orang terpilih akan menjalankan ritual di sana selama 2 hari 2 malam. Namun hebat, setelah kedatangan seorang mahasiswi dari Jakarta ruangan itu jadi seperti sekolah. Dipakai belajar anak-anak kampung yang sama sekali tidak ingin belajar. Rata-rata anak-anak itu datang-- atau sebutlah sekolah, hanya karena guru mereka, si mahasiswi itu sering mengiming-iming permen. Tentu anak-anak kampung tertarik. Selama hidup mereka belum pernah memakan batu yang rasanya manis, yang si mahasiswi mengenalkannya dengan sebutan permen dengan tambahan cinta. Permen cinta, katanya.

Di sebelah kiri pendopo ada saung kecil milik seorang pendatang. Kiayi Ali namanya. Sebenarnya itu bukan nama sesungguhnya. Warga kadung sering dengar orang itu cerita tentang sesosok guru di Jombang sana yang bernama kiayi Ali, warga pun menamainya kiayi Ali. Hebatnya, orang itu tidak keberatan namanya diganti tanpa peresmian masak bubur merah. Bahkan bisa dibilang kiayi Ali bangga bisa memiliki nama gurunya.

Nah, di samping saung kiayi Ali inilah si mahasiswi Jakarta itu tinggal. Dulu, pertama kali kedatangannya ke kampung ini, kiayi Ali-lah yang menyambutnya. Kiayi Ali juga yang membantu membuatkan saung untuknya. Alhamdulillah kiayi Ali diberi upah 10 permen tanda terima kasih.

Sedangkan kiayi Ali sendiri bisa tinggal di kampung ini-- dengan saung di sebelah pendopo itu, karena warga kampung kadung baiknya. Alias karena kiayi Ali sering ikutan tidur bersama di pendopo, warga merasa risih kepadanga. Kemudian terbesit di pikiran warga untuk menyingkirkan kiayi Ali dengan cara membikin tempat khusus untuknya. Maka, dibuatkanlah saung kecil seukuran mimbar masjid di samping pendopo itu. Jujur saja, warga kampung Deusta sebenarnya jijik kepada orang asing. Namun, mereka punya tradisi jangan menolak tamu.

Di ujung kampung, sekitar 500 meter dari tempat kepala suku, ada sebuah lapangan besar yang setiap sisinya dipagari kayu. Di sepanjang pagar itu tumbuh pohon ganja. Di kampung Deusta ganja tidaklah ada apa-apanya. Tidak pula bikin eufhoria. Dia cuma tanaman biasa, sama seperti pohon ubi kalau di tempat lain. Setiap hari ganja itu dijadikan teman makan. Tak ada masalah.

Lapangan itu, konon, bekas markas tentara gerilya. Kiayi Ali menyimpulkannya sendiri. Kemudian kesimpulannya diwartakan kepada si mahasiswi. Dan si mahasiswi percaya begitu saja tanpa investigasi lebih lanjut. Lagian, si mahasiswi malas debat soal benar atau tidak.

Di pojok lapangan terdapat saung besar yang bisa disebut rumah. Rumah ini tidak ada fungsinya. Tidak ada satu orang pun yang mau memasukinya. Konon, kata kepala suku, itu rumah para dewa. Barangsiapa masuk ke sana maka dia takkan pernah kembali. Kiayi Ali orangnya tidak mudah percaya. Maka demi membuktikan omongan si kepala suku, tengah malam ia mengendap masuk ke dalam. Tidak ada apa-apa. Tidak ada para dewa berbaris laiknya tentara gerilya. Tahu kenapa tidak ada? Karena, kiayi Ali lupa bawa obor. Dia tidak bisa melihat apa-apa, di dalam sana gelap. Tapi, lagi-lagi kiayi Ali bisa menyimpulkan sendiri, "Takhayuuul!" Katanya.

Kiayi Ali punya pembenaran kalau omongan si kepala suku benar-benar takhayul. Toh, dia bisa keluar tanpa kurang apa pun.

Tetapi, ketika Kiayi Ali tidur, kuntilanak berhasil menyambangi alam mimpinya.

Di tengah lapangan itu ada sumur besar. Di sumur inilah Jeuk Ismeut Jaleulah jatuh. Sejak dulu warga Deusta memang menjadikan sumur itu kramat. Ada yang bilang sumur itu tempat kencing para dewa. Sudah pasti! Kiayi Ali yang bilang begitu dengan maksud ingin meledek.

Di lapangan itu biasanya upacara dilaksanakan.

Kampung Deusta sering mengadakan upacara. Entah itu upacara penyambutan--yang sayang sekali kiayi Ali dan si mahasiswi tidak mendapatkannya. Upacara panen tosta. Dan upacara musim wanita. Dua upacara ini yang menarik, panen tosta dan musim wanita. Sebab, dua upacara ini mengilhami saya menceritakan kampung ini.

Sebelum saya ceritakan apa itu upacara panen tosta, ada baiknya diketahui dulu apa itu tosta. Di kampung ini ada satu tumbuhan langka yang tidak bisa tumbuh di tempat lain. Ya, tosta itu namanya! Tumbuhan ini sama persis seperti ganja. Bedanya, tosta memiliki buah yang apabila dimakan anak kecil bisa bikin muntah. Namun, bila dimakan orang dewasa bisa mengenyangkan. Warga kampung Deusta percaya kalau tosta tumbuhan surga yang ditanam dengan tangan dewa. Daun tosta bisa dibikin sayur. Bisa juga dikeringkan dan dijadikan rokok. Sama seperti ganja kalau dihisap makhluk lemah di tempat lain, bisa bikin euphoria. Batang pohon tosta bisa dibakar dan dijadikan teman makan sagu, atau kentang, rasanya tidak enak, kiayi Ali pernah mencobanya. Akar tosta bisa ditumbuk dan dijadikan teh. Pembuatan teh dicampur dengan daunnya yang sudah dikeringkan. Minuman ini biasanya diminum para lelaki karena punya efek menguatkan 'keperkasaan'.

Nah, pohon tosta ini biasa dipanen 2 kali dalam setahun. Berhubung kampung Deusta tidak punya kalender, maka menentukannya memakai pergerakan gajah nun jauh di sana. Apabila ada gajah bergerak dari hulu ke hilir, maka waktu panen sudah bisa dimulai. Setelah panen selesai, dengan maksud ingin bersukur, diadakanlah oleh warga satu upacara.

Upacaranya simple saja. Mereka berkumpul di lapangan bekas tentara gerilya sambil mengkonsumsi hasil panen tosta sepanjang 7 hari 7 malam. Mereka makan batang tosta yang rasanya tidak enak itu. Minum teh tosta. Dan mengisap rokok tosta yang kadar euphoria-nya lebih hebat dari ganja. Itu saja. Ya, begitu saja cara mereka bersukur.

Warga akan meninggalkan pendopo dan mulai bergeletakan di lapangan. Mereka menikmati hasil panen bersama-sama. Anak-anak bisa muntah-muntah, orangtua bisa [maaf: nge-sex sepanjang malam], sisanya makan batang tosta yang rasanya tidak enak, ini jadi bagian kiayi Ali dan si mahasiswi.

Warga kampung begitu mengagungkan tanaman ini. Tanaman para dewa. Tosta tumbuh nun jauh di sana, di tempat gajah lewat. Tak seorang pun ada yang boleh ke sana sebelum waktunya. Kalau ada yang nekat pergi ke sana, maka pelaku akan dihukum mati. Hebatnya, mayat korban tidak dikubur melainkan dimasukkan ke dalam sumur atau dijadikan makanan babi. Tergantung mandah hati yang diterima warga.

Upacara musim wanita adalah yang paling mengerikan, sekaligus seru. Karena didalamnya terdapat kekejian namun juga nikmat. Kiayi Ali akan geleng-geleng kepala bila upacara musim wanita sedang terjadi. Upacara ini berlangsung tidak menentukan hari atau bulan. Apabila kepala suku sudah berunding, maka upacara bisa dilangsungkan waktu itu juga. Di luar kampung Deusta mungkin upacara ini disebut perjodohan.

Laki-laki dan perempuan berkumpul di lapangan. Mula-mulanya si laki-laki akan memilih wanita, jika si wanita mau kepada si laki-laki, maka mereka sah jadi pasangan. Tak ada ikrar apa-apa, semuanya berjalan sesuai naluri. Aku suka kamu, kamu suka aku, maka mari kita hidup sama-sama. Hanya itu.

Kabar baiknya, di acara tak bermoral ini wanita diberi hak menolak. Dan laki-laki tidak boleh memaksa keputusan si wanita. Kabar buruknya, di upacara ini laki-laki bisa menukar wanitanya seperti barang. Si dukun pernah melakukannya. Orang lain pun!

Si dukun datang ke upacara bersama istrinya. Lalu istrinya diambil orang lain. Lalu, si dukun memilih anaknya untuk dijadikan istrinya. Hebatnya, si anak tidak menolak. Mengetahui ini, kiayi Ali kesal sendiri. Dia ingin melawan tradisi gila itu tapi tidak bisa.

Perkawinan ayah dan anak biasa terjadi di sini. Di kampung Deusta tak ada aturan soal perkawinan.

Kiayi Ali selalu merasa bersalah kepada dirinya sendiri karena belum menuntaskan misi yang diembannya. Ya, kiayi Ali palsu ini utusan kiayi Ali asli dari Jombang sana. Dia diberi tugas supaya mengajarkan nilai-nilai islam di kampung Deusta. Tetapi, dia belum berhasil. Sudah mau 3 tahun dia tinggal di kampung Deusta belum juga ada kemajuan. Barangkali hanya lafal 'bismillah' yang berhasil dia ajarkan kepada warga. Itu pun karena kiayi Ali mengiming-iming surga. Dia bilang ke warga kalau bismillah adalah kunci surga. Semua orang bisa masuk kalau sering mengucap bismillah, katanya. Warga tahu soal surga. Maka, ketika kiayi Ali menawarkan kuncinya, mereka tidak menolak. Mulailah warga rajin mengucap bismillah dalam setiap tindakan dan kesempatan. Malah, bismillah sering juga dijadikan kata celaan.

Pernah ada seorang istri kesal kepada suaminya. Dia berteriak kepada suaminya dengan makian, "Bismillaaaaah! Jangan kau sentuh-sentuh aku lagi. Dasar bismillah!"

Dari situ kiayi Ali geleng-geleng kepala. Dia merasa bersalah kepada dirinya sendiri, terutama kepada gurunya, kiayi Ali asli di Jombang sana.

Di lain kesempatan argumen warga Deusta soal bismillah itu lebih bijaksana. Katanya, "bismillah sajeu buat sayeu. Sisanyeu buat kiayi alieu sajeu." Dan kata-kata itu berhasil bikin kening kiayi Ali berkerut.

Kabar lainnya yang tidak kalah baik--mungkin bagi wanita saja, di kampung Deusta ini tak ada poligami atau perselingkuhan. Kalaupun ada, itu benar-benar tak terlihat.
***

Si mahasiswi itu setelah dua tahun hidup di kampung Deusta mengalami banyak hal. Namun, yang paling mencengangkan adalah peristiwa ketika dia jatuh ke sumur kramat. Entah apa yang terjadi kepadanya bisa sampai di sana malam-malam buta. Yang pasti, setelah peristiwa itu dia hamil. Orang kampung percaya kalau yang menghamilinya adalah dewa. Maka, warga kampung--sesuai tradisi mereka, harus mengangkat si mahasiswi menjadi kepala suku. Karena si mahasiswi adalah seorang perempuan, maka hak itu diberikan kepada anaknya, nanti. Kalau anaknya perempuan, maka warga Deusta akan membuat tatanan baru, yaitu kampung mereka bisa dipimpin oleh seorang perempuan.

Lagi-lagi kiayi Ali geleng-geleng kepala, bingung entah harus berbuat apa. Namun, dia tidak mau menyerah, kiayi ali tidak mau mengecewakan gurunya. Maka, di suatu malam kiayi Ali mendatangi si mahasiswi. Dia menanyai kebenaran soal kehamilan yang digadang-gadangkan benih dewa itu. Pertanyaan kiayi Ali dijawab si mahasiswi dengan jujur sejujur-jujurnya, "maafkan saya kiayi. Sebenarnya anak ini adalah anak Jeuk Ismeut Jalaleu."

Seketika kiayi Ali tersenyum. Dia mendapat pencerahan. Dia punya alasan untuk mengutuk warga kampung tentang dewa yang mereka maksud tidak benar-benar ada. Itu bohong. Itu takhayul. Itu tidak benar. Dewa itu tidak ada!

"Yang benar dan ada adalah islam. Islam rahmatan lil 'alamin, islam yang akan memperbaiki tatanan kampung menjadi lebih baik." Kiayi Ali dalam hati sambil tersenyum simpul membayangkan kemenangannya.

Kiayi Ali ingin memberitahu kehebatan islam kepada warga. Setelah cukup lama ia tidak diberi kesempatan, maka kehamilan si mahasiswi bisa dijadikan senjata. Maksud kiayi Ali, dia akan mengutuk kepala suku. Di lain hal, dia akan menjelaskan kejadian tak senonoh itu akibat tatanan yang tidak benar. Tentu tindak pemerkosaan tidak akan dibenarkan, bagi kampung tak bermoral sekalipun. Maka di sinilah kiayi Ali punya kesempatan mengenalkan tatanan islam. Pastinya, dengan harapan warga akan mengerti dan mau menerima islam.

"Bahwa islam bisa mencegah hal serupa takkan terjadi lagi." Argumen kiayi Ali waktu itu siap dilontarkan ke hadapan warga Deusta.

"Warga akan berpihak kepadaku" kata kiayi Ali. Namun, sebelum kiayi Ali bergerak, si mahasiswi menahannya, "jangan kiayi. Saya takut!" Si mahasiswi memelas. Dan kiayi Ali merasa kasihan.

"Lalu, bagaimana?" Tanya kiayi Ali.

"Kiayi sendiri yang tahu."

Sejenak kiayi Ali diam. Dia merenung. Anjing menggonggong.

"Harusnya saya pulang. Ini semua takkan terjadi." Si mahasiswi menangis. Kiayi Ali merasa iba.

"Jangan begitu. Kamu sudah berusaha kok. Saya juga merasakan apa yang kamu rasakan. Kegagalan itu." Kiayi Ali menghibur.

"Berusaha melahirkan anak haram? Haha." Si mahasiswi getir.

"Tidak! Dia bukan anak haram. Saya akan menikahimu. Dia akan lahir dan tumbuh jadi manusia normal. Bukan haram."
***

Begitulah akhirnya kiayi Ali menikah dengan si mahasiswi, tanpa wali dan tanpa saksi. Kecuali, anjing yang menggonggong di bawah saung.

Setelah anak itu lahir, kepala suku Jeuk Ismeut Jalaleu merasa tergugah. Ada kontak batin antara dirinya dengan anaknya. Dia melihat anaknya mirip dengan dirinya. Kemudian secara sadar si kepala suku memberikan info kepada warga kalau anak si mahasiswi adalah anaknya, dia yang telah menghamilinya. Salah satu dari warga pergi ke ruangan panjang di samping pendopo. Dia melakukan ritual minta petunjuk akan suatu kebenaran. Didapatlah mandah hati itu, si kepala suku telah melakukan pelanggaran. Dia harus dihukum mati dan jasadnya dikasih ke babi.
***

Anak si mahasiswi dijadikan kepala suku. Tapi tunggu ia besar. Sambil menunggu, tampuk kekuasaan kampung Deusta diserahkan kepada kiayi Ali--suami si mahasiswi. Tatanan baru kampung Deusta berada digenggamannya. Kiayi Ali tersenyum.

Bogor, 24 April 2020
http://sastra-indonesia.com/2020/06/kampung-deusta/

Aucun commentaire:

Publier un commentaire

A. Anzieb A. Muttaqin A. Syauqi Sumbawi A.P. Edi Atmaja A.S. Laksana Abdurrahman Wahid Acep Zamzam Noor Adhie M Massardi Adin Adrizas Afrilia Afrizal Malna Afrizal Qosim Aguk Irawan MN Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahmad Faishal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Jauhari Ahmadun Yosi Herfanda Aik R Hakim Akhmad Sekhu Akhudiat Akmal Nasery Basral Albert Camus Alex R. Nainggolan Amanche Franck Amien Kamil Aming Aminoedhin Ana Mustamin Andra Nur Oktaviani Andrenaline Katarsis Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Annisa Febiola Anton Wahyudi Aprinus Salam Arafat Nur Arie MP Tamba Arif Yulianto Arifi Saiman Arswendo Atmowiloto Arung Wardhana Ellhafifie Aryo Bhawono AS Dharta Asarpin Atok Witono Awalludin GD Mualif Ayesha B Kunto Wibisono Badaruddin Amir Balada Bambang Bujono Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bantar Sastra Bengawan Beni Setia Beno Siang Pamungkas Berita Berita Duka Berita Foto Bernadette Aderi Bernando J. Sujibto Binhad Nurrohmat Boy Mihaballo Budaya Budi Darma Bustan Basir Maras Catatan Cerbung Cerpen Chairil Anwar D. Zawawi Imron Daisy Priyanti Dareen Tatour Daru Pamungkas Dedy Tri Riyadi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dharmadi Dhenok Kristianti Dian Sukarno Didin Tulus Dina Oktaviani Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dwi Fitria Dwi Klik Santosa E. M. Cioran Ebiet G. Ade Eddi Koben Edi AH Iyubenu Edy A Effendi Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Permadi Eko Prasetyo Enda Menzies Ernest Hemingway Erwin Setia Esai Evan Gunanzar F. Rahardi Fadllu Ainul Izzi Fahrudin Nasrulloh Faidil Akbar Fairuzul Mumtaz Fajar Alayubi Farah Noersativa Faris Al Faisal Fatah Yasin Noor Fathoni Mahsun Fathurrozak Fauz Noor Fauzi Sukri Fazar Muhardi Feby Indirani Felix K. Nesi Franz Kafka FX Rudy Gunawan Gesang Gola Gong Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Guntur Budiawan Gus Noy Gusti Eka H.B. Jassin Hamka Hari Purwiati Haris del Hakim Hartono Harimurti Hasan Gauk Hasnan Bachtiar Henriette Marianne Katoppo Herry Lamongan HM. Nasruddin Anshoriy Ch Holy Adib Hudan Hidayat Humam S. Chudori I Nyoman Darma Putra Ida Fitri Idrus Ignas Kleden Ilung S. Enha Imam Muhayat Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indonesia O’Galelano Indra Tjahyadi Indria Pamuhapsari Irwan Apriansyah Segara Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Zulkarnain J Anto Jadid Al Farisy Jakob Oetama Jalaluddin Rakhmat Jamal T. Suryanata James Joyce Januardi Husin Jemi Batin Tikal Jo Batara Surya Johan Fabricius John H. McGlynn John Halmahera Jordaidan Rizsyah Juan Kromen Judyane Koz Junaidi Khab Jurnal Kebudayaan The Sandour Jusuf AN K.H. M. Najib Muhammad Kadjie Mudzakir Kahfie Nazaruddin Kamran Dikarma Kedung Darma Romansha KH. Ahmad Musthofa Bisri Khansa Arifah Adila Khoirul Anam Khulda Rahmatia Kiki Sulistyo Komunitas Sastra Mangkubumen Komunitas-komunitas Teater di Lamongan Kurniawan Kurniawan Junaedhie Kuswaidi Syafi’ie Lagu Laksmi Shitaresmi Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lely Yuana Leo Tolstoy Linda Christanty Linda Sarmili Lutfi Mardiansyah M Zaid Wahyudi M. Adnan Amal M’Shoe Maghfur Munif Mahamuda Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Maman S. Mahayana Maratushsholihah Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Magdalena Bhoernomo Mariana Amiruddin Mario F. Lawi Maroeli Simbolon Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Mbah Kalbakal Melani Budianta Mochtar Lubis Moh. Dzunnurrain Mohammad Bakir Mohammad Kasim Mohammad Tabrani Muhammad Ali Muhammad Idrus Djoge Muhammad Muhibbuddin Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhidin M. Dahlan Mukhsin Amar Mulyo Sunyoto Munawir Aziz Musafir Isfanhari Mustain Myra Sidharta N. Syamsuddin CH. Haesy Naim Nanda Alifya Rahmah Nara Ahirullah Naskah Teater Naufal Ridhwan Aly Nawangsari Nezar Patria Niduparas Erlang Nikita Mirzani Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Nur Wahida Idris Nurel Javissyarqi Observasi Ocehan Pameran Lukisan Panggung Teater Pentigraf Performance Art Pondok Pesantren Al-Madienah Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringgo HR Prosa Pudyo Saptono Puisi Pustaka Ilalang PUstaka puJAngga Puthut EA Putu Wijaya R. Toto Sugiharto Raedu Basha Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rama Prambudhi Dikimara Ratih Kumala Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Reko Alum Remy Sylado Resensi Reza Aulia Fahmi Ribut Wijoto Rikardo Padlika Gumelar Riki Dhamparan Putra Risang Anom Pujayanto Riska Nur Fitriyani Rofiqi Hasan Rokhim Sarkadek Roland Barthes Rony Agustinus Rosdiansyah Rozi Kembara Rx King Motor S Yoga S. Arimba S. Jai Sabda Armandio Sabine Mueller Sabine Müller Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sajak Samir Amin Samsudin Adlawi Samsul Anam Sapardi Djoko Damono Sasti Gotama Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Selendang Sulaiman Seno Gumira Ajidarma Shinta Maharani Sholihul Huda Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sosiawan Leak Sri Pudyastuti Baumeister Sugito Ha Es Sumani Sumargono SN Sunan Bonang Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Suripno Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Budiharto Sutrisno Buyil Syarif Hidayat Santoso T Agus Khaidir T.N Angkasa T.S. Eliot Tatan Daniel Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater ESKA Teater Pendopo nDalem Mangkubumen Teater Tawon Tedy Kartyadi Teguh Winarsho AS Teks Lagu Keroncong Bengawan Solo Tirto Suwondo Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widijanto Tjoet Nyak Dhien Toeti Heraty Toto Sudarto Bachtiar Tujuh Bukit Kapur Udin Badruddin Umbu Landu Paranggi Undri Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Vitalia Tata W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Hidayat Wahyudi Akmaliah Muhammad Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Jengki Sunarta Welly Kuswanto Wulansary Yasunari Kawabata Yeni Mulyani Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yonathan Rahardjo Yudha Kristiawan Yudhistira ANM Massardi Yukio Mishima Yusri Fajar Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zuhdi Swt Zuhkhriyan Zakaria